Mohon tunggu...
Bhisma Pristawa
Bhisma Pristawa Mohon Tunggu... -

Pembaca filsafat, pelajar antropologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Golput Jadi Solusi?

8 April 2014   18:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13969308031841095774

[caption id="attachment_330764" align="aligncenter" width="300" caption="(sumber foto: media.viva.co.id)"]
[/caption]

Pemilihan legislatif (pileg) tinggal sehari lagi. Semakin dekat ke hari H, semakin santer saya dengar kawan atau kenalan di sekitar saya bilang akan golput pada pileg 9 April ini, meski banyak dari mereka yang mengaku kemungkinan bakal kasih suara dalam pemilihan presiden (pilpres) nanti. Agak dirisaukan dengan banyaknya orang-orang sekitar yang mau golput, terpikir juga untuk cari tahu, apa sih pengaruhnya kalau kita golput? Adakah manfaatnya?

Lantas, sebelum membuat tulisan ini saya berselancar sebentar di Kompasiana, dan baca beberapa artikel perihal golput. Kesimpulan saya sejauh ini: banyak orang “memilih” golput karena mereka tak lihat ada pilihan. Dari pemilu ke pemilu, setidaknya sejak 2004 lalu, prestasi DPR/DPRD tak kunjung membaik. “Paling baik”, cuma sekitar seperempat target legislasi mereka yang terpenuhi. Dan di saat yang bersamaan angka korupsi anggota DPR/DPRD pun semakin tinggi. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir, 2009-2013, parlemen kita selalu nangkring di urutan pertama lembaga negara paling korup. Jadi minimal, dua “prestasi” ini yang dari waktu ke waktu berhasil dipertahankan parlemen kita: rendahnya produktivitas legislasi plus tingginya angka korupsi.

Setelah melihat rekam jejak yang demikian, wajar jika apatisme tumbuh di tengah masyarakat kita. Apalagi 507 dari 560 anggota DPR RI saat ini ternyata nyaleg lagi. Dan sebagai petahana, peluang mereka amat tinggi untuk terpilih kembali. Belum lagi anggota DPRD yang maju lagi, atau caleg DPRD yang sekarang nyaleg untuk kursi DPR RI. Dengan kata lain, lagi-lagi kita disuguhi “stok lama” yang sebenarnya sudah tak layak pilih, tapi peluang terpilihnya justru amat besar.

Dalam situasi seperti ini, sepertinya pilihan paling masuk akal adalah: “gagalkan” naiknya muka-muka lama di pileg kali ini. Tapi bagaimana caranya? Apakah dengan golput atau sama sekali tak memberikan suara sah kita, kita bisa “menggagalkan” maksud mereka untuk nongkrong lagi di Senayan? Jawabannya: tidak! Kenapa?

Sebanyak apa pun orang yang golput, sekalipun sampai 50% pemilih golput misalnya, kursi DPR RI yang sebanyak 560 itu tetap harus terisi penuh. Begitulah peraturannya. Justru, dengan semakin tingginya angka golput, yang berarti semakin rendahnya jumlah suara sah, jumlah suara yang mesti diraih seorang caleg sebagai syarat untuk menjadi anggota DPR juga semakin sedikit. Dengan kata lain, semakin tinggi angka golput malah meningkatkan peluang caleg-caleg yang ada sekarang untuk terpilih menjadi legislator. Bagaimana bisa demikian?

Ilustrasi sederhananya begini:

Agar dapat terpilih, seorang caleg harus mengumpulkan suara minimal sejumlah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP ini sendiri dihitung dari jumlah pemilih dibagi jumlah kursi. Jika jumlah pemilih di DPT 10 juta, sementara jumlah kursi 500, maka BPP-nya 20 ribu. Jadi, 20 ribu itu target “ideal” yang mesti dicapai seorang caleg. Kenapa saya katakan “ideal”?

Karena pada kenyataannya seorang caleg tak harus mengumpulkan suara sebanyak itu untuk bisa jadi. Sebabnya: jika dari 10 juta pemilih itu yang memberikan suara sahnya hanya 5 juta, maka BPP-nya pun turun. BPP yang pada kenyataannya berlaku bukanlah jumlah pemilih di DPT dibagi jumlah kursi, melainkan jumlah suara sah dibagi jumlah kuota kursi. Dengan kata lain, jika dari 10 juta pemilih itu 5 juta di antaranya golput atau memilih secara tidak sah, maka angka BPP-nya turun jadi 5 juta : 500 = 10 ribu. Ini artinya, caleg yang tadinya mesti mengumpulkan 20 ribu suara, lantaran separuh jumlah pemilih golput, kini cuma harus meraih 10 ribu suara untuk bisa duduk di parlemen.

Ilustrasi saya di atas memang menyederhanakan proses penghitungan suara dan penentuan kursi DPR/DPRD. Tapi begitulah logikanya. Dan dari ilustrasi itu saja kita bisa melihat, jika kita golput, kita justru “mempermudah” peluang caleg untuk sampai ke Senayan. Dan karena lebih dari 90% anggota DPR petahana saat ini juga nyaleg lagi, berarti kita pun memperbesar peluang mereka untuk kembali duduk di Senayan jika kita golput.

Nah, banyak kawan saya yang bilang, dengan golput setidaknya mereka tidak ikut bertanggung jawab atas terjadinya “kezaliman-kezaliman” yang diperbuat anggota parlemen karena mereka tidak pernah memilih wakil-wakil rakyat ini. Tapi setelah kita melihat efek dari golput sebagaimana sudah saya ilustrasikan, justru kawan-kawan yang golput ini ikut bertanggung jawab atas naiknya caleg-caleg “zalim” itu.

Sekarang pertanyaannya, jika kita ingin “menggagalkan” naiknya “stok basi” yang ingin kembali ke parlemen, bagaimana caranya? Apakah dengan golput? Tentu bukan. Tapi pilihlah caleg selain mereka. Jika apes-apesnya kita tak bisa cari tahu seluk beluk dan latar belakang semua caleg di dapil kita, cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah cari tahu siapa yang “muka lama”, siapa yang “muka baru”, lalu pilih yang “muka baru”.

Memang, caleg baru bukan jaminan mereka lebih baik atau setidaknya tak seburuk caleg muka lama, tapi setidaknya memilih muka baru itu “lebih aman”. Alasannya:

Caleg muka lama, semakin berpengalaman di parlemen bukannya semakin membaik kinerja mereka, tapi justru semakin lihai “akal-akalan”. Mereka sudah “pengalaman” dalam menyelewengkan uang negara, melakukan nego-nego politik ketika menggodok undang-undang, “main belakang” dalam proyek-proyek pembangunan, dan perilaku-perilaku koruptif lainnya. Sementara caleg baru belum jago dalam hal-hal begini. Jadi setidaknya, sembari belajar memproduksi legislasi, mereka pun “masih harus belajar” jika mau mencurangi uang negara. Jika 5 tahun lagi orang-orang baru ini sudah pula “mahir” dan akrab dengan “jalan-jalan tikus” di DPR, kita pilih saja orang yang baru lagi. Begitu seterusnya. Mudah-mudahan dengan selalu memasang orang-orang baru 15 atau 20 tahun lagi bilik parlemen kita takkan lagi jadi “sekolahan” yang mengajarkan perilaku-perilaku curang dan koruptif.

Jadi, jika kita memang muak dengan tabiat wakil-wakil kita di parlemen, 9 April nanti lebih baik memilih caleg yang memang kita tahu prestasinya atau caleg baru sekalian, daripada golput dan membuat anjlok angka BPP.

Rujukan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun