Tinggal di Desa Kosaba dengan cuaca siang itu yang cukup menyengat. Benar saja karena memang kosaba terkenal dataran rendah, bahkan sekalipun mandi dipagi hari masih terasa begitu gerah. Keringat yang keluar tak seperti biasanya, karena hari itu memang cukup membuat merasa lelah bagi laili. Beberapa waktu sebelum itu terjadi. Sesekali sebelum tarhim berkumandang, laili bergegas menuju gerabah yang berisikan air suci. Dua rakaat disepertiga malam tak pernah ia lewatkan. kedua mata yang masih belum terbuka lebar, serta badan yang masih terasa berat mengharuskan laili untuk segera meraih air suci untuk mengingat Tuhannya. Sepeninggalnya bersuci dan ditemani sayup sayup terdengar suara jangkrik "krik...krik..krik" , sesekali deru angin menyapu pelataran surau dipinggir gubuknya. Kesendirian dalam doanya, laili menengadahkan kedua tangan sambil dalam hatinya berkata "aku rindu dengan ibuku Tuhanku, berikan tempat yang layak untuknya". tetesan air matanya kian deras dalam irama yang terpola. Suara amin mengakhiri munajat sepertiga malamnya. Segera bergegas merapikan alas untuk ibadah sekaligus meletakan mukenah pemberian almarhum ibunya di pojok surau. Kembalinya laili ke gubuknya, sambil menatap ayahnya yang tertidur dikursi. Seolah menambah keharuan dikeheningan malam. Namun inilah sebuah kenyataan yang harus laili jalani. Dalam hatinya merasakan bahwa inilah suratan takdir meski yang terasa hanyalah getir. Sambil memeluk ayahnya, laili membenahi selimut yang terjatuh ke lantai ubin yang tidak rata. Bergegas dengan tanpa ada keterpaksaan dalam dirinya untuk menuju ke dapur. Dibantu dengan penerangan yang seadanya, namun cukup untuk membantunya menyiapkan keperluan memasak nasi bungkus. Biru kemerahan perpaduan nyala api telah siap menantikan periuk yang ingin diisi. iya benar saja, laili telah bersahabat sejak lama dengan periuk itu, disaat hari-harinya berwarna ditemani sang ibu. Periuk tua yang selalu menemani laili memasak. Orang lain yang melihat nampak sinis ketika melihat laili memasak. " laili yang baik, belum cukupkah usangnya periuk itu. lihatlah saking usangnya berubah hitam" sahut tetangganya seolah menghina samar terdengar menuju ke pasar. Namun laili hanya tersenyum tipis tanpa membalas ucapan julid tetangga. Laili tahu betul hanya dialah yang memahami betapa beratnya ditinggal ibu. Hanya periuk usang yang mampu menghidupkan kembali memori lampau bersama ibunya. Dia kumpulkan empon-empon, kacang panjang, tempe, mie & telur. Nasi bungkus buatan ibunya laili dahulunya terkenal karena cirikhas rasa sambal dipadukan bungkus daun pisang. Terkesan sederhana namun didukung rasa yang enggan untuk dilupakan. Ketika dikunyah rasa sambalnya beraneka ragam manis, pedas dan asin saling beradu kuat. Pelanggannya mulai dari kalangan bawah hingga menegah atas. Bahkan pula om tante dengan tampilan parlente rela berhenti dari sedan mercy. Sengaja ingin tahu seberapa otentik rasa nasi bungkus buatan ibunya laili. Kembali pada jari jemari laili yang mungil nan terampil mengolah bumbu tumis kacang dan tempe. Tak lupa perpaduan mie dan telur dadar yang disuwir suwir. Menambah warna kuning yang cerah sebagai pasokan energi untuk menyambut awal hari. Sambal terasi dengan racikan murni tanpa campur tangan pabrik, membuat mata terbelalak ketika merasakannya. Pagi yang menjelang takkan bisa membuat pelanggan berpaling sebelum merasakan nasi bungkus laili. Setelah kepergian ibunya, ayah laili sempat berujar " Laili, ayah sudah cukup renta dan lelah. Ayah tak mampu menyekolahkanmu lagi nak". Laili pun terdiam membisu sambil menahan haru " tak apa ayah, biar aku saja yang melanjutkan usaha nasi bungkus ibu. lagipula aku tahu perananku sebagai anak pertama" sahut laili kepada ayahnya dengan penuh sesenggukan. Seperti hari biasanya, perlahan namun pasti laili mulai menikmati pekerjaan ibunya. Pukul 5.30 pagi itu menggelar dagangannya di utara Stasiun Bakosa. Jarak dari Desa Kosaba menuju Stasiun Bakosa tidak cukup jauh. Ibarat kita menyalakan rokok kretek, tidak sampai setengah batang setelah dihisap kita sudah tiba. Utara Stasiun Bakosa terdapat jalan antar kota yang cukup ramai. Posisi yang dipilih cukuplah strategis, karena posisi jualan nasi bungkus ditemukan secara tak sengaja. Dibawah pohon trembesi berusia puluhan tahun, cukup sejuk untuk menyantap hidangan nasi bungkus dipagi hari. Laili pula menyediakan air mineral secara gratis bagi pelanggannya. Bukan sekedar trik marketing, namun itu bagian dari pesan dari ibunya. Bahwa sejauh dirimu melangkah, jangan pernah lupa untuk menggapai berkah. Bukankah berkah itu esensi dari saling berbagi. Bus antar kota tiba-tiba berhenti tidak jauh dari dagangan laili. Tentu saja awak bus rela berhenti, untuk mengganjal isi perut dengan nasi bungkus buatan laili. "mbak, seperti biasa tiga bungkus " pak kondektur menyapa si laili. Laili pun segera meraih nasi bungkus tak lupa dengan sendok plastiknya. Tiga bungkus yang dibeli bukan untuk pak kondektur saja, melainkan untuk pak sopir beserta kernetnya. Pelan namun pasti perlahan mulai terisi, terang saja kapasitas bus tersebut berisi 55 penumpang. Sementara dari terminal induk hanya berisikan 7 penumpang. "Apapun kondisinya isi perut harus diutamakan, karena logika tanpa logistik takkan bisa berjalan" Sahut pak sopir melempar candaan kepada rekannya. Laili menimpalinya dengan tawa yang cukup lepas. Sambil meneguk air mineral yang dibawanya dari rumah, laili melempar senyum kepada setiap pelanggannya. Bukan bergaya centil nan genit yang ia tampilkan, namun senyum sapa lembut yang ia tawarkan terhadap pelanggan. Tentu saja kaidah pelanggan adalah raja tetap berlaku dalam pikiran laili. Suara knalpot bus yang kian membesar dan berulang, menandakan bus berangkat meninggalkan pemberhentian. Tinggal segelintir tukang ojek dan tukang becak menemani laili diatas kursi singgasananya. Pastilah kalian tahu, singgasana laili berisikan kursi plastik, meja rajutan bambu serta sajian nasi bungkus nan berselera. Gelak canda tawa laili melayani pelanggan, menghilangkan sejenak imajinasi tentang ibunya dulu. Ditambah lagi kondisi ayah laili yang berusia senja, sehingga membuat ayahnya sakit sakitan. Semuanya bersatu mengisi di ruang kalbu. Diiringi alunan irama gitar, seolah duka itu perlahan mulai pudar. Benar saja gitar yang dipetik melantunkan alunan melodi rindu. Seolah pengamen tersebut tahu suasana hati laili. "Tak perlu kau bermuram durja" sapa pengamen bertopi hitam dan bercelana pensil. Sontak laili pun terhenyak dari lamunan duka. "Ah sok tahu kamu, gayamu ala peramal" sahut laili dengan penuh canda. Bus kedua perlahan mulai tiba, sama seperti sebelummnya. Awak bus turun dan melanjutkan sarapan nasi bungkus yang dijajakan oleh laili. Terlihat berbeda dari sebelumnya, karena jumlah penumpang lebih banyak. Bahkan sebagian penumpang rela antri membeli nasi bungkus laili. Ada yang duduk dikursi, beberapa ada yang makan sambil berdiri dan sebagian penumpang membawa nasi bungkus kedalam bus lagi. Sederhana lauknya, tak sesederhana suasana pagi itu. Sinar sang surya perlahan mulai sedikit menyengat, tak terasa sudah pukul sembilan. Benar saja, jumlah nasi bungkusnya mulai berkurang. "Alhamdulillah" ucap laili dengan lirih penuh syukur. Laili mengingat-ingat kembali bahwa dengan periuk usang itulah nasi yang ia masak terasa lebih nikmat. Entah teori darimana ia berkeyakinan tentang periuk itu. Jelas dan lugas sang ibu dulunya mengamanatkan periuk itu pada laili. Untuk terus menjaga dan memanfaatkannya. Selain karena lebih merata, hasil dari memasak menggunakan periuk cenderung menciptakan rasa yang lebih bercirikhas. Pengamen bertopi hitam dan bercelana pensil penuh semangat menghibur pengunjung nasi bungkus laili. Sementara pak kondektur menyandarkan tubuhnya dipohon trembesi nan rimbun sambil berteriak "berangkat berangkat langsung" . Para awak maupun penumpang segera masuk kedalam kendaraan berbentuk kotak persegi panjang. Â Sepeda unta milik laili seolah bersuara mengajak laili untuk pulang. Terang saja sepeda itu bersuara karena bel dibunyikan oleh para tukang becak "krining krining krining". Laili meyakinkan diri bahwa dirinya takkan pulang sebelum nasi bungkusnya habis tak bersisa. Kendaraan bermotor lalu lalang, sementara laili masih terbayang. Angannya tentang sang ibu mencoba ia kalahkan dengan mengalihkan pandangannya menuju Stasiun Bakosa. Setengah sepuluh kurang biasanya kereta dari timur akan tiba. Aspal jalanan dari kejauhan terlihat fatamorgana yang kian terang. Namun bukan tentang fatamorgana yang ia risaukan, melainkan penumpang yang turun di Stasiun Bakosa. Laili dengan penuh harap, semoga penumpang banyak yang turun disana, anggap saja ini pertaruhannya dengan ketidakpastian. Kereta api yang sarat penumpang dan semboyang 41 pun dibunyikan. Pertanda kereta wajib diberangkatkan, "prit..prit...prit...." pak kondektur meniup peluitnya. Masinis membalasnya dengan memberangkatkan kereta. Nampak sekilas penumpang berjubel di pintu keluar. Sebagian menunggu jemputan dan adapula yang berjalan kaki menuju singgasana laili untuk membeli nasi bungkus. Para pengemudi becak yang sebelumnya menemani laili, sontak berlari menuju stasiun menghampiri para penumpang kereta yang baru tiba. Kejadian ini membuat laili tersenyum lepas melihat penumpang dan pengemudi becak bertukar posisi menemani laili. "mari pak bu nasi bungkusnya lima ribuan saja" laili penuh semangat menawarkan dagangannya. Setelah dilayani satu persatu, ternyata dagangan laili tak bersisa. Bahagia menjelang siang tersirat di rona wajahnya yang perlahan kemerahan. Raut bahagia yang terpancar bukan karena dagangannya habis tak bersisa, namun terlebih sepeninggalnya kereta. "fiuh..hmmm" laili mencoba menghela nafas, kereta tadi mengembalikan memorinya tentang sang kekasih. Laili enggan menyebutnya sebagai mantan, dia memilih memanggilnya dengan istilah alumni. Tentu saja istilah "alumni" menurutnya lebih sopan, karena siapa tahu bisa reunian kembali. Penyebutan "mantan" menurutnya kurang pantas karena cenderung perpisahannya meninggalkan luka. Dulunya dengan sang kekasih, laili rela pergi berdua ke ibukota hanya untuk menonton bioskop. Mana mungkin ada di tempat laili tinggal terdapat tayangan bioskop. Bukan menolak perkembangan jaman, terlebih karena tempat tinggal laili dianggap tempat religius bagi kalangan disana. Film yang ditontonnya mengenai drama romantis horor, seolah menambah gairah dalam memadu kasih. Lamunannya mengenai kisahnya tiba tiba terhenti, ketika teriakan dari seberang jalan. "Laili.. laili..laili" teriak pemuda dari seberang jalan. Pemuda tadi berlari sambil tersengal nafasnya, memberi kabar bahwa ayah laili kondisinya sedang sakit parah. Raut wajah laili berubah 180 derajat menjadi sedih, cemas dan meneteskan air mata. Dagangannya segera dirapikan dan dikemas. Sambil ditemani pemuda tadi, laili naik sepeda tua menuju rumahnya. Ditengah perjalanannya laili mengingat kembali bahwa ayahnya memiliki riwayat hipertensi, ditambah dulunya sang ayah perokok berat. Suara batuk menghiasi hari harinya merawat sang ayah. Berbagai macam obat herbal dan resep dari dokter tak kunjung juga bisa menyembuhkan. Entahlah yang mendorong parahnya kondisi sang ayah, karena faktor psikis ataukah yang lainnya. Imajinasi laili tak ingin berkelana terlalu jauh, tujuannya hanya satu. Semoga sang ayah bisa pulih seperti sedia kala. Setibanya di teras rumah, laili segera berlari memeluk sang ayah. Sang ayah hanya tersenyum " ayah tidak apa-apa nak" sang ayah mencoba menghibur laili. Laili terisak tangisnya cukup kencang. Siapa lagi yang menemaninya selain ayahnya dan periuk nasi. Batinku terpukul ketika sang ibu telah meninggal, sedangkan sang adik pergi merantau namun tak pernah ada kabar. Kemanakah laili akan menyandarkan diri, selain kepada Sang Illahi. Berjuang seorang diri menjadi tulang punggung keluarga, inilah sebab utamanya. Bukan keterpaksaan namun merupakan keadaan yang harus dilakukan. "Ayah segera sehat ya yah, laili tak punya siapa siapa lagi" sahut laili membisikkan lirih pada sang ayah. "Kamu harus kuat ya nak, ayah percaya kamu" sahut ayah menimpali sambil memberinya semangat. Siang hari yang dipenuhi fatamorgana menjadi saksi atas kasih sayang anak kepada orang tuanya, meskipun tidak semua anak akan sekuat laili. Entah sekuat apa nantinya, ketika sang ayah telah tiada. Sejauh apapun melangkah hidup ini hanyalah sebuah pilihan yang diikuti konsekuensi yang harus dijalani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H