"Mau bikin apa, Dek?" tanya seorang petani.
"Mau bikin kebun organik, Pak," jawab saya.
Dia jawab, ”Oh…,” sambil berlalu.
Itu pertanyaan pertama dari tetangga sebelah tentang aktivitas yang saya lakukan di sawah. Mungkin dia penasaran karena ada 'orang baru' berada di areal persawahan, apalagi mengajak anak-anak.
Di kesempatan yang lain ada juga petani yang menghampiri dan bertanya apa yang mau saya lakukan terhadap lahan yang sedang dibersihkan.
Jawaban saya masih sama, ”Membuat kebun organik.”
Sambil melihat ke arah saya, seakan tidak percaya dengan apa yang saya katakan. Dia berkata, “Serius mau menjadi petani?"
Belum sempat saya jawab dia melanjutkan perkataannya, "Ngapain sudah enak jadi orang kantoran mau jadi petani?"
Hasil jadi petani tidak akan bisa menghidupi keluarga. Petani itu identik dengan dekil, kotor, miskin, tidak berpengetahuan dan mirisnya lagi sering hanya menjadi objek penderita, diperhatikan dan didatangi apabila ada mau dari pihak lain selebihnya sering dianggap tidak ada.
Seakan tidak mau disela, dia melanjutkan ngomong, ”Jangankan bertani organik, bertani seperti sekarang saja (maksudnya bertani dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia) susah. Bahkan sering ruginya. Untuk mengairi sawah harus begadang semalaman, pupuk mahal dan kadang susah didapat. Sudah kebayang kan susahnya jadi petani? Apalagi organik? Bertani organik itu sering tidak menghasilkan karena diserang hama serta pertumbuhannya lama, kalaupun menghasilkan tidak akan optimal baik dari segi jumlah maupun bentuk. Sudah susah menanam, memerlukan waktu dan proses yang lama, hasil sedikit, harganya pun di pasaran masih diminta sama dengan hasil pertanian dari proses biasa.
Orang kita masih banyak yang tidak peduli dengan makanan sehat, masih banyak yang beli sayur mayur dan buah-buahan dengan prinsip asal mulus dan harga murah tanpa ingin mengetahui bagaimana proses penanaman, panen dan pengawetannya Nah, masih ingin jadi petani dan bertani organik?" Diberi ceramah seperti itu saya tarik nafas, baru mau menjawab, eh dianya malah bangun dan meninggalkan saya, “...adoh…,” kata saya dalam hati.
Yang masih terekam dengan jelas di kepala yaitu ketika kakek mengajak saya menangkap ikan yang ada di dalam persawahan yang ada padinya, membersihkan, membakar dan setelah matang dibagikan ke petani sebelah serta makan rame-rame. Ditambah air minum kelapa muda yang langsung dipetik dari kebun. Dan baru setelah dewasa saya tahu bahwa ikan yang ada di dalam sawah itu bukan karena hanyut terbawa air sungai, tapi karena sengaja dipelihara. Ikan bisa dipelihara bersamaan dengan tanaman padi karena dikelola secara alami (organik) tanpa menggunakan zat kimia (seperti gambar di atas).
Entah sadar atau tidak, kakek sudah mengajari saya untuk menghormati lingkungan, mengelola lingkungan dengan bijak sehingga dapat menghasilkan buat kita tanpa harus merusaknya. Bahwa saat di sawah itu tidak hanya semata-mata bercocok tanam, tapi juga sebagai media kita untuk bersosialisasi, bermain, bersenang-senang, dan berbagi.
Untuk menjawab pertanyaan petani sebelumnya yang belum terucap, saya tuliskan di sini, “Saya dan teman-teman yang ada dalam komunitas 'Kebun Mai Organik Bali' menanam tanaman dengan cara organik untuk mengajak orang peduli terhadap makanan yang mereka makan, peduli terhadap lingkungan serta memberikan contoh pada anak-anak kami akan pentingnya makanan sehat dan lingkungan sehat untuk kehidupan yang lebih baik sehingga saat dewasa nanti mereka bisa berbahagia dan berguna bagi orang lain”.
Perlakukan orang lain dan lingkungan seperti kita ingin diperlakukan, maka kita akan mendapatkan lebih dari yang kita harapkan.