Perubahan iklim telah menjadi isu global yang menuntut penanganan serius, terutama melalui pendekatan kebijakan fiskal yang inovatif. Salah satu instrumen kebijakan yang mulai diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah pajak karbon. Hal ini disampaikan oleh Wuku Astuti, S.E., M.Ak., Akt., CA di Kampus Terpadu Universitas Widya Mataram (UWM) pada Selasa (10/12/2024).
Lebih lanjut, Wuku menambahkan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menginternalisasi biaya eksternalitas negatif dari emisi karbon, dengan cara mengenakan beban finansial kepada pelaku ekonomi yang menghasilkan emisi.
"Dalam teori ekonomi lingkungan, pajak karbon adalah bentuk dari Pigovian Tax, di mana beban pajak dikenakan untuk mengoreksi eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi. Kebijakan ini secara teoritis dapat mendorong pelaku industri untuk mengadopsi teknologi rendah karbon atau meningkatkan efisiensi energi guna mengurangi biaya pajak," kata dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi UWM ini.
Implementasi kebijakan ini di Indonesia menghadirkan tantangan yang signifikan, terutama dalam konteks ekonomi dan akuntansi lingkungan. "Tantangan pertama adalah meningkatnya biaya produksi bagi pelaku industri, terutama sektor yang bergantung pada bahan bakar fosil. Dalam jangka pendek, pajak karbon cenderung meningkatkan harga produk yang diproduksi oleh industri tersebut. Hal ini dapat berdampak pada daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional," ungkapnya.
Di sisi lain, pajak karbon juga membuka peluang ekonomi baru. Kebijakan ini dapat memacu inovasi teknologi hijau, menciptakan pasar energi bersih, dan memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan karbon internasional.
"Pengembangan energi terbarukan seperti solar dan angin, serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage), dapat menjadi strategi utama dalam memitigasi dampak kenaikan biaya produksi. Negara-negara seperti Swedia dan Norwegia telah membuktikan bahwa pajak karbon, jika didukung oleh kebijakan insentif yang memadai, dapat secara simultan mengurangi emisi karbon dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," jelas mahasiswi Program Doktoral Ilmu Akuntansi STIE YKPN ini.
Keberhasilan implementasi pajak karbon di Indonesia memerlukan sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Dari perspektif akuntansi lingkungan, diperlukan kerangka pelaporan emisi yang berbasis pada standar internasional untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi. "Selain itu, pendekatan bertahap dalam penerapan tarif pajak dapat memberikan waktu bagi pelaku industri untuk beradaptasi. Dengan demikian, pajak karbon tidak hanya menjadi instrumen pengendalian emisi, tetapi juga alat transformasi menuju ekonomi rendah karbon," pungkasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI