Setelah hampir 70 tahun kita merdeka, negeri ini masih belum sepenuhnya lepas dari permasalahan yang mendasar yaitu pendidikan dan agama. Dengan tidak 'matang'nya ke-dua sektor tersebut, maka apapun yang dibangun diatasnya akan menjadi rapuh dan mudah goyah. Efek yang paling dirasakan dengan rendahnya nilai pendidikan dan agama terutama sangat berpengaruh pada sektor Suku, Agama, Ras, Antar-golongan (SARA) dan keadilan dan juga ideologis.
Pendidikan yang baik membuat kita 'melek' akan adanya multi-perspektif dalam segala sektor kehidupan. Tidak akan ada lagi (dapat dikatakan minimal) pengedepanan egosentrisme (pandangan sempit ala kacamata kuda) dalam menghadapi setiap persoalan dan tantangan yang datang pula yang akan datang. Pula dengan pemahaman Agama yang baik kita akan menjadi manusia yang mengerti akan fungsi dari uluhiah dan ubudiahnya.
Jadi dengan pendidikan dan agama yang benar dan baik, kita akanlah menjalankan segala 'sunnatullah' sektor kehidupan dengan penuh keikhlasan dan kelapangan pada hati dan akal kita sehingga kreatifitas kita sebagai manusia akan cenderung berbuah 'harum mewangi'.
Ahok dan para pengikut fanatiknya (Ahok-isme) dalam menanggapi surat terbuka Jaya Suprana (JS) punya feedback yang sungguh luar biasa reaktif dan 'sempit' yaitu dengan mencoba memeninorkan segala uefisme yang (mungkin) terjadi dari kosa-kata yang dibangun oleh seorang JS (baca tulisan S Aji, "Membaca Lagi Surat Jaya Suprana dan juga tulisan Hilman Fajrian dalam "Pesan Tersembunyi Surat Jaya Suprana" dan masih banyak tulisan lainnya).
Pada surat tersebut, saya melihat, JS mencoba mengkonstruksikan fakta dan budaya kehidupan sehari-hari atas dasar apa-apa yang memang dia lihat dan juga (kebetulan) dia pernah rasakan di masa lampau. Di dalam surat terbukanya kepada Ahok, JS merangkai kalimatnya dalam sebuah 'sebab-akibat' dari ulah Ahok terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Namun dengan segala perspektif surat itu, Ahok menutupnya dengan keras atas dasar bingkai negara kesatuan dengan berujar, "jika JS masih berpikir sebagai negara 'kelas-dua'". Dalam hal ini saya memahami logika Ahok dalam menanggapi surat terbuka dari JS.
Ahok merespons JS seperti (sengaja) menutup mata hal-hal faktual yang memang telah terjadi di negeri ini dan Ahok seperti mencoba menelan dan atau menghilangkan semua perspektif ilmu sosial budaya dengan seolah menjunjung tinggi dan menganggap, di bumi nuswantara ini hanya berlaku hukum konstitusi negara kesatuan RI.
Secara dejure, kita tahu jika perspektif keduanya (konstitusi dan sosbud) tidaklah saling 'meniadakan', malah saling melengkapi, yaitu ada dan digunakan sebagai dasar kita dalam berperilaku sebagai seorang Indonesia. Namun fakta tidaklah seromanti dan seharmonis dengan apa-apa yang sudah tertulis di atas kertas keduanya tersebut.
Faktanya, kita sangat gagal dalam sektor pendidikan, ini dapat dilihat dari minat baca, hasil produksi dan daya-saing yang rendah sekali di segala bidang. Belum lagi kita pun sudah sangat gagal dalam bidang Agama, monggo di lihat, sesama agama pun kita masih saling menghina dan meniadakan dengan berbagai dalil penuh nafsu-nafsu duniawi dan tidak sedikit yang berujung kekerasan dan pertumpahan darah.
Saya akan berikan 4 (empat) jempol ke Ahok atas apa-apa yang telah dia lakukan (keberanian dalam berbicara dan bertindak) jika saja dia memang tahu dengan apa yang dia lakukan dan juga konsisten dengan apa yang dia lakukan.
Dalam hal ini monggo dilihat, betapa dia tidak mau memahami banyak hal tentang agama dan tingkat sosial masyarakat DKI Jakarta yang kebetulan mayoritas beragama Islam dan juga berpenghasilan sangat rendah.