[caption id="attachment_136028" align="aligncenter" width="361" caption="Tampak jelas siswa SMAN 6 yang bersikap bak preman, bahkan sudah menyiapkan diri dengan berganti pakaian. (Foto: Yulianto/Sindo)"][/caption] Kejadian pengeroyokan dan pemukulan kepada jurnalis oleh siswa-siswa SMAN 6 Jakarta menunjukkan bahwa ternyata banyak yang belum memahami tugas dan fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi. Apalagi kemarin di Kompasiana sempat muncul tulisan yang menjadi headline (kepala berita) dari seorang siswa SMAN 6 bernama Rae Hutapea yang secara membabi-buta membela rekan-rekannya. Maka, walau saya jelas tidak bisa mengatasnamakan rekan-rekan jurnalis karena saya bukan siapa-siapa, andaikata boleh diposisikan mungkin tulisan ini bisa menjadi semacam “hak jawab” dari seorang insan pers.
Harus dibedakan antara membela pers dan membela insan pers. Apabila seorang jurnalis sebagai insan pers membunuh atau mencuri misalnya, maka ia jelas tidak akan mendapatkan simpati dan solidaritas dari rekan-rekannya sesama korps jurnalis. Ia menghadapi hukum sebagai warga negara biasa. Kalaupun ia dibela, tentu merupakan haknya sebagai tersangka yang memang dapat didampingi pengacara/penasehat hukum. Akan tetapi, apabila seorang jurnalis mengalami perlakuan yang menghalangi tugas jurnalistiknya, maka ia wajib dibela oleh seluruh korps jurnalistik, baik insan pers, media maupun organisasi profesi. Tentu saja, pembelaan terhadap jurnalis juga harus melihat konteks dan duduk perkaranya. Tidak gebyah uyah semua jurnalis yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan saat menjalankan tugasnya lantas dibela.
Sebagai contoh sederhana, apabila seorang jurnalis melakukan penyadapan tanpa seizin aparat penegak hukum, itu adalah pelanggaran hukum. Hal tersebut seperti halnya skandal yang dilakukan oleh News of The World di Inggris, yang sampai menyebabkan media terkemuka itu tutup. Atau jurnalis mengambil gambar seorang selebritis sedang mandi di kamar mandi pribadinya seperti sering dilakukan paparazzi. Itu juga pelanggaran privasi. Bila seorang jurnalis meliput dengan memasuki instalasi atau fasilitas militer tanpa izin misalnya, itu juga pelanggaran keamanan negara. Terhadap jurnalis yang melakukan pelanggaran itu, baik aparat maupun nara sumber berita berhak menolak dan tidak akan disalahkan bila memberikan perlakuan tidak menyenangkan seperti mengusir misalnya. Namun patut dicatat, dalam hal apa pun tindakan kekerasan tidak dibenarkan dilakukan oleh siapa pun yang terganggu oleh tindakan jurnalis saat peliputan, bahkan oleh aparat keamanan negara. Di Indonesia, dalam melakukan tugasnya, seorang jurnalis dilindungi dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Tentu saja selain aturan lain seperti dalam KUHP pasal 170 tentang pengeroyokan dan pengrusakan.
Nah, dalam kasus 2 kali pengeroyokan oleh siswa SMAN 6, apa yang sebenarnya terjadi? Dalam kasus pertama, pada hari Jum’at (16/9) terjadi tawuran antara siswa SMAN 6 dengan SMAN 70. Seorang jurnalis televisi yaitu Oktaviardi dari Trans7 dikeroyok oleh siswa SMAN 6. Ia tidak hanya dipukuli, tapi juga dirampas kaset di dalam kamera televisinya. Apakah jurnalis tersebut meliput tawuran di dalam sekolah sehingga perlu izin khusus? Tidak. Tawuran terjadi di jalanan umum milik negara. Jadi, jurnalis berhak melakukan peliputan secara bebas. Pemukulan saja sudah tidak dibenarkan, apalagi perampasan kaset sebagai alat kerja jurnalis. Apakah siswa berhak tidak mau diliput tawurannya? Tidak. Karena tawuran bukan kejadian atau event yang direncanakan secara eksklusif dan diadakan secara tertutup seperti sebuah pernikahan atau seminar. Jurnalis boleh dilarang meliput pernikahan seorang artis misalnya, karena itu adalah wilayah privat. Selain event-nya privat, lokasinya pun privat. Sementara tawuran jelas event publik dan terjadi di ranah publik. Kemerdekaan pers untuk melakukan peliputan ini tercantum jelas dalam pasal 4 UU No. 4/1999. Dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) dikatakan bahwa maksud kalimat “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi dijamin [dikutip dari Tebba (2007:187)].
Dalam pengeroyokan kedua yang terjadi kemarin, kesalahan para siswa malah lebih fatal. Jurnalis yang sudah dalam posisi meninggalkan sekolah seusai melakukan demonstrasi dan peliputan di depan SMAN 6 justru tiba-tiba diserang oleh sekelompok siswa. Ironisnya hal itu justru terjadi setelah perwakilan jurnalis sudah sepakat berdamai dengan pihak pimpinan sekolah dengan dimediasi Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol. Imam Sugianto. Faktanya, dari foto dan rekaman video televisi, terlihat jelas bahwa pihak yang melakukan inisiatif penyerangan dan provokasi adalah dari pihak siswa SMAN 6. Tidak bisa dielakkan lagi identitasnya karena para siswa tersebut justru keluar dari dalam lingkungan SMAN 6 yang berpagar. Dan akibat tindakan yang dilakukan tanpa pikir panjang itu, empat wartawan luka cukup serius dan beberapa lainnya juga sempat terkena pukulan.
Maka, bukan hanya wajar, malah harus, apabila terjadi pembelaan dan solidaritas dari korps jurnalis atas dua kejadian tersebut. Kalimat Rae Hutapea di paragraf 7 yang menyatakan “Berkumpulnya sejumlah wartawan di depan sekolah menurut saya juga merupakan hal yang agak kurang wajar. Yang bermasalah kan SMA6 dengan wartawan Trans7. Mengapa yang lain jadi ikut-ikutan? Apakah ingin mencari sensasi? Berita yang diliput juga secara subjektif karena lebih mengarah untuk membela si wartawan itu sendiri.“, menunjukkan kepicikan dan kesempitan cara berpikir sekaligus kegagalan memahami peran dan fungsi pers. Selain itu juga tampak keengganan menghormati hukum di negara ini. Padahal, sebagai siswa dari sekolah yang dikategorikan favorit atau unggulan, seharusnya yang bersangkutan mampu menahan diri untuk tidak menulis di luar kapasitasnya. Keinginan membela sesama teman sebagai bentuk solidaritas korps siswa SMAN 6 tidak boleh menepikan fakta bahwa dalam hal ini teman-teman yang bersangkutan adalah pelaku tindak kriminal. Sementarasejumlah insan pers adalah korban kejahatannya. Kalimat Rae Hutapea "Wartawan tentu sudah lebih dewasa daripada anak SMA, mengapa harus diselesaikan dengan cara bentrokan seperti ini? Seperti anak kecil saja. Apa tidak malu, terpancing oleh anak yang lebih muda?" jelas menunjukkan yang bersangkutan cenderung menyalahkan korban.
Pihak kepolisian jangan sampai terjebak pada argumentasi bahwa karena pelakunya masih remaja, maka itu adalah kenakalan, bukan kejahatan. Juga pada keterangan Kepala Sekolah SMAN 6 Kadarwati Mardiutama yang bersikukuh bahwa yang melakukan pemukulan kepada Oktaviardi bukan siswa SMAN 6. Mengingat saat kejadian di hari Jum’at (16/9) sedang terjadi tawuran antara siswa SMAN 6 dengan SMAN 70, dengan kata lain ia menuduh siswa SMAN 70-lah yang melakukan hal itu.
Dalam kasus ini, saya mengharapkan bukan hanya pelakunya dipecat secara tidak hormat dari sekolah, namun juga dihukum pidana penjara! (meski di penjara remaja). Apalagi sudah berkali-kali terjadi tawuran namun tanpa ada hukuman. Ini perlu bukan hanya untuk menimbulkan efek jera bagi yang lain, tapi juga menciptakan situasi kondusif pada ketertiban di ibukota.
Bahkan, saya pun mengharapkan pihak Depdiknas menghukum Kepala Sekolah SMAN 6 dengan mencopot dari jabatannya dan menunda kenaikan pangkatnya karena gagal mengendalikan anak didiknya. Pihak satpam sekolah sebagai penjaga pintu gerbang sekolah pun bisa juga dihukum karena gagal mencegah siswa untuk keluar sekolah dengan tertib setelah selesai ujian pada pengeroyokan kedua kemarin. Apalagi menurut Yudhistiro di harian Seputar Indonesia edisi hari ini (p.15), saat ia yang fotografer harian tersebut jatuh, ada yang mengatakan, “Makanya jangan macam-macam dengan sekolah kami.” (versi online bisa dibaca di sini). Mengingat orang tersebut berbaju safari, kalau bukan satpam justru kemungkinan guru. Lebih jauh, rencana Dirjen Dikmen Kemendiknas Hamid Muhammad untuk menurunkan status SMAN 6 sebagai Sekolah Standar Nasional patut didukung. Tidak pantas sekolah unggulan muridnya bertingkah laku anarkis seperti itu. Saya pun akan berkata sama apabila saya alumni sekolah tersebut.
Intinya, hukum harus ditegakkan. Kepada siapa pun! Apalagi ini adalah pelanggaran hukum terhadap pers. Kita harus sadar, bahwa membela pers berarti membela demokrasi. Dan sebaliknya menyerang pers berarti juga menyerang demokrasi.
Kepustakaan:
Tebba, Sudirman. Hukum Media Massa Nasional. Jakarta: Pustaka irVan, 2007.
Bhayu MH adalah Ketua Tim Inisiator Proyek “BERGERAK!” (keterangan klik di sini), lebih lanjut dapat disimak di http://www.bergerakmedia.wordpress.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H