[caption caption="Video "curhat" Sarah Hussein. (Foto: muvila.com)"][/caption]
Menyaksikan film ini setelah membaca novelnya lebih dahulu tentu saja menimbulkan ekspekstasi tersendiri. Apalagi secara pribadi saya sudah menghadiri diskusi panel terbatas dengan produser dan beberapa artisnya. Pertemuan itu menghasilkan tulisan pratinjau (preview) sebelum filmnya ditayangkan perdana. Tulisan ini sempat menjadi HeadLine (Kepala Berita) di Kompasiana pada hari Minggu (6/12) dengan judul "Bulan Terbelah di Langit Amerika: Film Bernas Bagi Penonton Cerdas" (untuk membacanya silahkan klik judulnya). Jadi, sebelum masuk ke gedung bioskop (sesuai kebijakan situs http://resensi-film.com, saya tak pernah menghadiri "nobar" alias "nonton bareng" saat "premiere" yang disediakan gratis oleh produser dan exhibitor), saya sudah punya bayangan di benak mengenai film yang "ideal". Karena itu, saya menyiapkan diri dengan cermat saat tayangan film dimulai.
Di awal film, karakter Azima Hussein alias Julia Collins yang muncul lebih dulu. Pada tahun 2001, ia digambarkan tengah berbelanja di sebuah minimarket yang berada di New York-Amerika Serikat saat televisi setempat menayangkan berita yang kini dikenal sebagai "9/11 Tragedy". Adegan lantas meloncat ke Wina-Austria di tahun 2014, dimana Hanum mendapatkan tugas dari atasan di media tempatnya bekerja bernama Gertrude Robinson untuk mekakukan liputan soal peristiwa itu. Sudut pandangnya adalah dari kalangan muslim yang disudutkan akibat peristiwa itu. Adanya video yang diunggah di situs berbagi video Youtube dari seorang anak bernama Sarah Hussein mengharuskan Hanum untuk mewawancarai anak itu yang merupakan putri tunggal dari Azima.
Tugas itu membuat pasangan suami-istri Rangga dan Hanum sempat berkonflik karena Rangga sendiri ditugaskan Profesor Reinhard untuk mewawancarai Philipus Brown dan mengundangnya berceramah di kampus mereka. Karakter ini digambarkan sebagai milyarder (atau milyuner) Amerika Serikat yang berubah dari seorang yang misterius dan enggan berderma menjadi seorang filantropis. Ia bahkan punya anak angkat asli dari Afrika dan menulis buku "The Power of Giving". Di bagian akhir film, penonton akan tahu kalau ia ternyata mendapatkan pencerahan setelah bertemu Ibrahim Hussein. Pria ini adalah suami dari Azima alias Julia Collins.
Namun, sebelum itu, karena ikut tewas di WTC, Ibrahim yang akrab dipanggil Abe -bahasa Ibrani untuk Ibrahim yang merupakan bahasa Arab adalah Abraham, biasa dipanggil Abe- dituduh sebagai teroris. Karena itulah Sarah sampai membuat video "curhat" yang diunggah di Youtube. Bahkan tetangga mereka pun ikut memusuhi, walau Hanum yang akhirnya mendatangi rumah mereka sudah berusaha membela. Walau semula Azima menolak diwawancarai, akhirnya ia bersedia terutama setelah Sarah sendiri malah ingin diwawancara.
Dalam perjalanan dari bandara setibanya di New York, saat Rangga dan Hanum masih berada di taksi menuju rumah sahabatnya Stefan yang lupa menjemput, map berisi data milik Hanum tertinggal. Ndilalah, penemunya adalah Michael Jones. Dia adalah pemimpin kelompok garis keras yang menentang pembangunan masjid di "Ground Zero". Ini adalah tempat bekas gedung WTC yang konon ditabrak pesawat itu. Dalam rangka meminta kembali map miliknya itu, Hanum kemudian menemui Jones. Sayangnya, unjuk rasa yang dihadiri Hanum berakhir rusuh hingga wanita itu pun mengalami luka-luka. Di bagian ini, saya merasa penggambaran demonstrasi itu "konyol". Kenapa? Adegan saat mereka dikejar-kejar polisi -hanya dilafalkan oleh karakter figuran saja dengan ucapan "Police!"-, justru sama sekali tidak ada polisinya! Apalagi kemudian mereka masuk gang sempit, yang agak aneh bagi yang tahu, karena tempat itu terlihat jauh dari "Ground Zero" yang berada di pusat (mid-town) kota New York.
Kebetulan demi kebetulan terus-menerus terjadi seperti sinetron. Kesaling-terkaitan antar karakter menjadi jelas di bagian tengah-akhir film. Tetapi, relasinya terkesan dipaksakan. Semua seolah selesai dengan mudah cuma dengan pidato Brown di acara "The Heroes" di akhir film. Sebuah acara yang juga ridiculous, karena disebutkan Brown menerima penghargaan, tapi dari siapa tidak jelas. Jones digambarkan "insyaf" setelah mendengar pidato itu. Istrinya Anna ternyata adalah sekertaris Brown yang terjun dari lantai atas WTC dan tewas. Peran Abe yang berusaha menolong Anna itulah yang dijelaskan Brown, menggambarkan kalau pria itu bukanlah teroris. Di bagian ini juga ada kejanggalan, karena terlihat jelas jendela kaca kantor Brown adalah jendela geser. Sementara saat Anna jatuh, diperlihatkan kantor berada di lantai yang cukup tinggi. Mana ada jendela kaca di gedung pencakar langit yang bisa dibuka?
Maka, pertanyaan berat: "Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?" dijawab dengan amat sangat terlalu mudah: "Tidak". Dengan dalih pembenaran semata dari pengalaman pribadi Brown yang merasa diselamatkan Abe. Dan film diakhiri dengan Brown dan Jones secara terpisah menemui Hanum di sebuah taman. Jadi mirip "Srimulat" yang di akhir pentas semua pemain berkumpul di panggung.
Well, saya tahu pertanyaan yang jadi premis utama film ini yaitu "Would the world be better without Islam?" terinspirasi dari buku karya Graham E. Fuller berjudul A World Without Islam (2010). Ya, dan tak satu pun penulis resensi atau kritik film menyebutkan ini karena memang mereka tidak tahu. Dan pembahasan buku setebal 336 halaman itu komprehensif serta berimbang. Sementara di film ini, dengan mudah selain melalui karakter Brown, juga Stefan yang dengan santai bilang "dunia akan lebih baik tanpa Islam, Christian, Catholic, Hindu dan Buddha". Agak bias ke-Indonesia-an karena itu lima agama yang diakui resmi di negara ini, yang pada era Gus Dur lantas ditambah Konghucu, plus aliran kepercayaan yang sudah diakui sejak Orde Baru. Padahal, di dunia banyak sekali agama lain seperti Yahudi, Jainisme, Baha'isme termasuk aliran dan sektenya. Bagi saya, akan lebih manis kalau saja Stefan dan Rangga malah menyanyikan lagu Imagine-nya John Lennon. Tapi mungkin itu terkait hak cipta yang mahal jadi sulit digunakan.
Omong-omong, lagu tema film ini lumayan. Ada lagu yang dinyanyikan Arkarna, rock band asal Inggris lho. Lagu yang dinyanyikan bersama Andini ini berjudul "Jangan Salahkan Cinta". Sayangnya, lagu tema lain yang dinyanyikan Ridho Rhoma feat. Fazura berjudul "Bulan Terbelah di Langit Amerika" terdengar di telinga bernuansa Melly Goeslaw, walau ternyata pengarangnya berbeda. Bagaimanapun, kedua lagu ini nikmat didengar tersendiri.
Cerita sampiran berupa konflik antara Stefan dan Janet pacarnya yang meski telah tinggal serumah tapi belum dinikahi juga menjadi "bumbu tersendiri". Bagi yang pernah menonton film sebelumnya yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa, sudah pasti akan tahu kebengalan karakter Stefan ini. Karakter keduanya cukup baik tergambar walau sekedar peran pendukung.