Sudah 16 tahun lalu reformasi berlangsung. Tepat pada tanggal ini, di tahun 1998 presiden terlama dalam sejarah Indonesia memutuskan berhenti. Dalam hal ini, banyak pihak menengarainya sebagai klimaks dari perjuangan aktivis pro-demokrasi dari berbagai elemen termasuk gerakan mahasiswa. Akan tetapi, bagi saya yang di tahun 1998 merupakan salah satu pimpinan gerakan mahasiswa di Universitas Indonesia, saya malah cenderung memaknainya sebaliknya. Kejadian itu adalah antiklimaks.
Kenapa bisa begitu?
Pertama-tama, karena mundurnya Soeharto yang begitu cepat mengejutkan kami. Saya kira, tak ada satu pun pimpinan gerakan mahasiswa dari semua faksi yang "mengharapkan" Soeharto akan lengser keprabon secepat itu. Dalam rapat-rapat termasuk dengan "tangan tak terlihat", kami bersiap untuk terus-menerus melakukan demonstrasi massa selama dua tahun tanpa henti. Hal ini didasari pertimbangan sangat logis, bahwa Soeharto sebenarnya masih amat sangat kuat. Saya akan teruskan analisanya mengenai ini kemudian.
Kedua, justru pasca Soeharto mundur, gerakan pro-demokrasi terpecah-belah. Mereka yang pro-konstitusi dan pro pada figur Habibie yang dianggap mewakili kelompok Islam moderat berhadapan dengan pihak yang menginginkan reformasi total menyerupai revolusi. Gerakan reformasi kehilangan musuh terbesarnya, dan gagal menciptakan musuh bersama baru.
Ketiga, 21 Mei 1998 menjadi antiklimaks karena justru reformasi kemudian direbut oleh para "pahlawan kesiangan". Silahkan buka dokumentasi sejarah media massa saat itu. Ada tokoh nasional yang dengan entengnya mengatakan "sedang menyiram bunga" saat ditanya wartawan ada di mana saat terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998. Tapi kemudian dia digadang-gadang dan menjadi media darling, dinobatkan sebagai iconperlawanan rezim. Ada lagi yang memang sepanjang reformasi sudah ikut berjuang, tapi pasca lengsernya Soeharto malah jadi "calo politik". Malah ada yang jelas-jelas menjadi pimpinan militer di saat terjadinya reformasi dan kini malah mentas ke panggung tertinggi politik nasional.
Memori 1998
Saya akan menyinggung sepintas saja mengenai hal ini. Karena saya sedang menulis buku soal ini. Mengenai persiapan gerakan pro-demokrasi untuk bertahan selama dua tahun guna melawan rezim Soeharto didasari atas beberapa "matematika politik berikut".
Pertama, Soeharto baru saja memenangkan Pemilu 1997 dengan perolehan suara terbesar sepanjang sejarah. Dan untuk ketujuh kalinya pula DPR-RI secara aklamasi memintanya kembali menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Kedua, Golkar yang memiliki tiga jalur yaitu ABRI,Birokrasi dan Golkar begitu kuat mengurat-mengakar dalam struktur masyarakat Indonesia. Ketua DPR-RI sekaligus MPR-RI adalah H. Harmoko, seorang loyalis Soeharto yang tiga periode menjabat sebagai Menteri Penerangan. Keempat, ABRI solid. Menko Hankam/Panglima ABRI adalah Jenderal TNI Wiranto, mantan ajudan Soeharto yang kesetiaannya pada sang Jenderal Besar tak diragukan. Sementara dua Kotama (Komando Utama) terhebat ABRI yaitu Kopassus dan Kostrad dikuasai oleh Letjen TNI Prabowo Subianto, yang juga adalah mantu sang presiden sendiri. Pengamanan ibukota dipegang oleh Mayjen TNI Safrie Sjamsoeddin sebagai Pangdam Jaya. Dia adalah sahabat karib Prabowo. Kelima, Orde Baru memiliki uang yang bisa dibilang tak terbatas untuk mendanai berbagai hal, termasuk memelihara organisasi paramiliter yang diletakkan di bawah payung onderbouw Golkar.
Pendeknya, Soeharto seperti dikelilingi benteng tak tertembus. Karena itu, para pimpinan gerakan mahasiswa pun bersiap untuk pengorbanan terburuk. Kami saat itu membayangkan skenario Tragedi Tiananmen 1989 di Republik Rakyat China akan terjadi di Indonesia. Saya kira itulah juga yang menyebabkan Amien Rais selaku Ketua Majelis Amanat Rakyat Indonesia membatalkan apel akbar di Monumen Nasional pada 20 Mei 1998.