Saya teringat suatu kali berkunjung ke rumah Bapak Ismail Marahimin bersama kekasih saya sewaktu kuliah dulu yang adalah mahasiswa beliau. Nama Ismail Marahaimin ini mungkin tak Anda kenal, namun bagi mahasiswa sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah "Penulisan Populer", tentu akan tahu karena beliaulah penulis buku teks standar ajar untuk mata kuliah tersebut. Pendeknya, beliau jago dalam hal menulis cerpen, novel dan sebangsanya.
Saat itu, iseng saya tanyakan pertanyaan ini: "Andaikata harus mengorbitkan seorang penulis baru, mana yang Bapak pilih: penulis yang tulisannya bagus namun orangnya tidak bapak sukai, atau sebaliknya penulis yang tulisannya biasa saja namun bapak sukai orangnya?" Jawabannya jujur, walau tidak saya duga. Beliau ternyata memilih yang kedua. Kalau beliau mau 'membungkus' jawabannya, atas nama obyektivitas dan prinsip keadilan, tentu akan memilih yang pertama.
Adil memang sulit. Seperti halnya saya gambarkan dalam tulisan hari Jum'at lalu di LifeSchool -blog pribadi saya- (klik di sini). Dan kesulitan kita berlaku adil kerap mewarnai kehidupan sehari-hari. Padahal, bila tidak berlaku adil, maka kita cuma punya pilihan sebaliknya, yaitu zalim. Tidak ada pilihan "tengah-tengah".
Jakob Oetama saat menjawab pertanyaan peserta Kompasiana Monthly Discussion (Modis) hari Sabtu (27/3) lalu juga menyatakan prinsip bahwa di Kelompok Kompas Gramedia (KKG) tidak ada perlakuan kepada karyawan yang berdasarkan "like and dislike". Meski dalam prakteknya, ia menyerahkan penilaian pada pihak lain di luar KKG. (untuk membaca hal lain yang beliau utarakan, baca tulisan saya di Kompasiana). Tentu saja, implementasi di lapangan tak mudah. Apalagi di bidang SDM, penilaian untuk pegawai kerapkali diserahkan kepada atasannya, yang tentu saja manusia. Dan sang atasan bisa jadi bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya, yang didasari rasa suka atau tidak suka, cinta atau benci. Walau tentu ada formulir penilaian yang obyektif, hal itu kerapkali dikalahkan oleh perasaan ini. Bila suka, nilai bisa dikatrol. Sebaliknya bila benci, nilainya dijatuhkan.
Contoh dari kehidupan yang paling mudah justru datang dari kehidupan asmara. Ya, karena asmara identik dengan cinta yang menggelora (dalam istilah Erich Fromm disebut "amor"). Cinta ini akan membuat penampakan penampilan seseorang di mata yang mencintainya ibarat "tai kucing rasa coklat" (seperti lagunya alm. Gombloh). Ini membuat penilaian tidak lagi obyektif. Karena itu, di banyak perusahaan, pasangan suami istri dilarang bekerja di tempat yang sama. Bila ketemu jodohnya di kantor tersebut, salah satunya akan dipindah bagian atau malah diminta berhenti kerja. Ini untuk menghindari konflik kepentingan karena penilaian yang tak lagi obyektif tadi.
Itu berarti, cinta punya ekses negatif. Karena selama ini hampir semua lagu, novel, cerpen, film dan bentuk ekspresi seni lain tentang cinta seolah ia hanya berarti positif. Walau begitu, cinta tetap jelas berada berhadap-hadapan dengan benci di sisi lain. Bila cinta itu ibarat terang, benci itulah gelap. Karena bila membenci seseorang, maka segala yang ada di diri orang yang kita benci selalu jelek. Padahal, tidak mungkin ada manusia yang 100 % jelek. Karena kan katanya Sang Pencipta menciptakan manusia "dengan citra insaninya" (mengutip syair lagu Hey ciptaan Katon Bagaskara dan Adi Adrian), maka tentu tidak jelek sepenuhnya. Benci membuat kita memperlakukan orang lain seperti itu.
Maka, berusahalah menebarkan cinta -alih-alih menyuburkan benci- kepada sesama. Berlaku adil-lah, karena Tuhan menginginkan kita seperti "gambar dirinya" yang punya sifat Maha Adil.
Penulis adalah pemilik blog LifeSchool (klik link) (The 1st Daily Updated Indonesian Blog).
Foto: bbc.co.uk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H