Cerita Sebelumnya:
“Baiklah. Kalau begitu, lebih baik kamu tidur dulu. Giliran jaga pertama kelompoknya Sersan Sumardi kan?” tanya Wiguna pada Kartolo. Pemuda itu mengangguk, tapi ia lantas menjawab.
“Saya belum mengantuk Let,” jawabnya.
Wiguna pun menukas. “Paksakan tidur. Kalau tidak, besok kamu akan kecapekan. Sudah, sana masuk ke dalam rumah.”
“Siap Komendan,” Kartolo menjawab formal meski ia berdiri dengan enggan. Ia masih ingat beberapa menit lalu ia malah jadi bahan bulan-bulanan anak buahnya karena sikapnya yang berlebihan kepada Ratih. Ia terlalu salah tingkah dan terlihat kentara suka pada gadis yang baru mereka temui beberapa jam lalu itu.
Melihat Kartolo berjalan menjauh. Wiguna pun kemudian mengalihkan perhatian pada Sumardi. Kembali ia mengeluarkan rokoknya dan menawari sersan pasukannya itu.
“Rokok Di?”
“Mmm… rokok putih ya? Bolehlah… terima kasih…,” Sumardi mengambil sebatang. Wiguna pun menyodorkan rokoknya yang sedari tadi masih menyala agar Sumardi bisa menularkan nyala bara di ujungnya. Sumardi pun menyulut rokoknya dengan menempelkan ujung rokok Wiguna di sana. Ia lantas menyerahkan kembali rokok itu kepada komandannya, seraya menghisap rokoknya sendiri dalam-dalam.
“Maaf ya, saya tidak punya keretek…” Wiguna menerima kembali rokoknya. Ia tahu kalau kebanyakan orang Indonesia lebih menyukai keretek daripada rokok berfilter yang mereka sebut ‘rokok putih’.
“Ah, ini juga lumayan sih… Baru mandi bikin badan anget…, “ Sumardi menukas. Beberapa saat mereka terdiam. Lalu Wiguna menyambung pembicaraan.
“Bagaimana kabar anak-istrimu?”
Sumardi tampak terkejut mendengar pertanyaan bersifat pribadi itu. Ia tampak tercenung sesaat, seperti terkenang dan mengingat-ingat keluarganya.
“Saya belum terima kabar Komendan. Tapi sejak NICA masuk Jakarta beberapa hari lalu, mereka sudah saya suruh mengungsi ke tempat mboke…” jawab Sumardi.
“Di mana?”
“Pekalongan.”
“Naik apa?”
“Kereta. Ya mustinya sudah sampai lama. Tapi belum ada kabar. Mungkin pakai surat.”
“Tidak ada telepon?”
“Di kampung? Ya tidak ada Komendan. Saya kan bukan Markus yang anake wong sugih…”
“Mmm… keadaan begini pakai surat pasti lama. Loh, lagipula kalau surat ditujukan ke mana? Kan rumah kalian di Senen sudah kosong?”
Sumardi tercenung. Tampaknya ia baru sadar hal itu.
“Iya ya… ya sudah. Semoga kalau memang pakai surat ada tetangga yang masih belum ngungsi.”
Wiguna terdiam. Memang cuma itu harapannya.
*****
Sementara itu Kartolo berjalan pelan menuju rumah. Ia sebenarnya senang besok pagi ia diperintahkan tetap berada di rumah Pak Usman. Tentu saja Wiguna benar, ini kesempatan baginya untuk mengenal Ratih lebih dekat. Tapi ada satu yang tak ia mengerti. Mengapa komandannya yang jelas terlihat juga tertarik pada Ratih membiarkannya mendapatkan kesempatan itu. Padahal, kalau boleh dibilang, kesempatan sang komandan lebih besar. Apalagi tadi ia sempat berbuat tindakan konyol yang membuatnya ditertawakan teman-temannya.
“Ah… sudahlah… yang penting tugas dulu. Urusan Ratih belakangan…,” Kartolo menukas pikirannya dengan bicara sendiri. Tanpa disadarinya, ia sudah hampir sampai di pintu depan. Cuma dua langkah lagi dan ia pun masuk ke dalam. Sesampainya di ruang tamu, ia melihat semua teman-temannya sudah terlelap. Rupanya, perjalanan siang tadi cukup melelahkan mereka.
Matan Kartolo berkeliling mencari-cari tempat yang masih kosong. Kini ia merasa penat, sama seperti teman-temannya tadi. Tapi tiba-tiba sebuah ide terlintas di benaknya. Ia ingat tadi Sumardi baru saja mandi di sumur belakang. Kartolo pun ingin badannya segar. Apalagi ia belum mengantuk. Maka, ia pun berjalan kembali ke luar ruang tamu dan keluar mengitari rumah dari sisi kiri menuju halaman belakang.
Di bagian samping kiri, ia melihat satu kelompok prajurit. Sementara ketika sampai di halaman belakang, dua kelompok prajurit berjaga agak terpisah. Masing-masing beranggotakan tiga orang. Memang perintah Letnan Wiguna adalah agar 15 orang yang berjaga pertama dibagi menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok berjaga di tiap sisi rumah. Khusus di bagian belakang rumah, Wiguna menugaskan dua kelompok sekaligus. Itu mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan karena bagian belakang rumah lebih gelap dan beberapa meter dari situ ada rerimbunan pepohonan dan semak-semak. Wiguna juga memerintahkan agar anggota kelompok tidak menyalakan api lebih dari rokok.
Saat Kartolo lewat, kelompok di samping kiri mengenalinya sebagai sersan pasukan mereka. Sepintas ketiga orang itu menyapanya, Kartolo pun membalasnya basa-basi.
Tetapi ketika sampai di halaman belakang. Kelompok di sana tampaknya terkejut mendengar suara langkah mendekat. Salah satu dari mereka membentak, “Hei! Siapa di sana?”
“Tenang. Saya Sersan Kartolo,” ujar Kartolo lantang. Ucapannya cukup untuk didengar kelompok lain yang juga berjaga di halaman belakang agak ke kanan. Dua kelompok yang sedang berjaga di belakang menoleh ke arah sumber suara. Namun, berbeda dengan kelompok yang menyapa Kartolo di bagian kiri, kelompok di bagian kanan tampak seperti sibuk melakukan sesuatu. Kartolo tidak melihat gerakan itu. Ia terus menuju ke sumur.
“Mau ngapain San?” sapa salah satu prajurit yang berjaga.
“Mandi.”
“Ha? Malam-malam begini?”
“Ya nggak apa-apa kan? Barusan Sersan Sumardi juga mandi toh?”
“Oooh, sersan-sersan doyan mandi toh? Hahaha…” seloroh prajurit itu disambut tawa teman-temannya. Kartolo ikut tertawa. Ia tidak menggubris guyonan itu dan terus menuju ke sumur. Di sana, satu per satu ia melucuti pakaiannya. Hanya celana dalamnya yang tidak. Tentu ia tak ingin terlihat tidak sopan karena berada di halaman rumah orang. Meski sebenarnya ketiadaan lampu di halaman belakang cukup melindunginya. Namun, saat itu bulan purnama dan langit cukup terang. Sehingga mau tak mau sosoknya masih terlihat cukup jelas. Karena itu pula mereka bisa dengan tenang berjalan di kegelapan malam tanpa tersandung walau tidak membawa alat penerang.
Kartolo mulai menimba ember pertamanya. Ia lalu menyiramkannya ke tubuhnya yang cukup atletis. Berbeda dengan Sumardi yang tambun, Kartolo bertubuh tegap. Itu karena ia memang menyenangi olahraga. Di kampungnya dulu, ia adalah seorang pemain sepakbola. Tapi saat pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, ia sudah jarang bermain. Tapi, olahraga rutin seperti lari pagi dan senam masih dilakukannya untuk menjaga kebugaran. Ember demi ember ditimba dan disiramkan Kartolo ke tubuhnya. Ia tak tahu, dari balik jendela rumah sepasang mata memperhatikannya. Mata milik gadis yang diincarnya. Ratih.
[BERSAMBUNG TIAP HARI MINGGU]
Interaksi dengan Penulis:
- Twitter: @BhayuMH
- FaceBook FP: https://www.facebook.com/pages/Bhayu-Mahendra-H/373464696026683
- E-mail: bhayuthewriter@yahoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H