[Kamarku]. Sekarang.
Melihatnya saja aku muak. Wajah itu begitu menjijikkan. Apalagi senyum itu. Licik. Bak seringai serigala. Lebih baik tak usah tersenyum. Atau lebih baik lagi, tak usah melihatnya. Ah, andaikata saja bisa kupecahkan cermin di hadapanku ini.
Sudah cukup lama aku tak mau bercermin. Bukan takut. Bukan enggan. Tapi muak. Ya. Kenapa? Karena aku muak melihat pantulan citra diriku di dalam cermin. Memang, kata itu lebih pantas kualamatkan kepada diriku sendiri. Karena bayangan di cermin itu sejatinya jujur. Menampilkan aku apa adanya.
Aku bak Ratu Grimhilde yang nekat bertanya kepada cermin, “Wahai cermin, katakan kepadaku, siapa yang paling cantik di dunia?” Alih-alih menjawab sesuai keinginan sang ratu, cermin malah menyebutkan nama “Cinderella”. Maka, murkalah sang ratu.
Well, tapi aku bukan Ratu Grimhilde. Sebenarnya, sebagai lelaki aku tak terlalu peduli pada penampilan. Apalagi aku bukan tergolong ‘cowok salon’ atau sebutannya pria metroseksual. Kepentinganku bercermin selama ini ya cuma untuk menyisir rambut saja. Tak lebih.
Tapi sudah sejak setahun terakhir ini aku enggan bercermin. Tepatnya sejak hari itu. Sejak wajahku diludahi. Justru oleh seseorang yang paling aku cintai dan muliakan.
*******
[Kantormu]. Setahun lalu.
Aku bergegas memasuki Jakarta Industrial Estate Pulogadung atau disingkat JIEP dari arah T.U. Gas. Datang dari arah Matraman, memang pintu masuk tersebut paling efektif. Walau kantormu malah lebih dekat ke pintu Pulogadung Trade Centre alias P.T.C. Kupacu Vitara-ku lebih cepat, kuatir terlambat sampai di kantormu.
“Aduh, ada perubahan aturan di pintu masuk. Sial! Jadi dilempar begini!” aku jengkel. Karena tak punya sticker izin masuk kawasan, jalan yang kulalui terpaksa memutar lebih jauh. Selain memakan waktu dan tenaga, jalan berputar tersebut juga lebih buruk kondisinya. Sehingga jelas akan lebih cepat merusak ban dan sistem suspensi mobil.
Net-no-net… net-no-net…
HP-ku berbunyi. Indikasi ada SMS baru masuk. Sambil lalu kuraih HP itu dan kutekan tombol “Answer” semata agar tidak berisik. Aku tahu, itu pasti kamu.
Sejurus kemudian, terdengar lagi bebunyian dari HP itu. Kali ini berupa nada lagu. Panggilan. Ada yang menelepon. Kulihat layarnya sepintas. Kamu.
“Halo Sayang….,” sapaku.
“Iya. Gue masih di jalan ya. Agak telat sampainya. Lu tunggu aja. Bye...,” katamu cepat tanpa memberiku kesempatan bicara.
Nut…. Nut…. Nut….
Telepon kamu tutup. Aku tak bisa berkata apa-apa. Tapi setidaknya aku lega. Aku tidak terlambat.
“Duh! Jalannya ditutup. Udah terlanjur ke sini pula! Parkir di mana ya?” aku kembali ber-soliloquy. Semata demi mengurangi kejengkelan yang membuncah karena jalanan di kawasan industri ini selain buruk kualitasnya juga rutenya ditutup di sana-sini. Aku berpikir cepat. Kalau memaksakan untuk parkir di depan kantormu, aku harus memutar cukup jauh. Paling tidak butuh 10 menit lagi. Belum lagi kalau macet karena ini jam masuk kantor dimana jelas arus lalu lintas padat. Dan aku tak mau terlambat. Maka, kuparkir mobil di sisi jalan yang sebenarnya ditutup ini. Malah enak, sepi. Dari situ, aku masih harus berjalan kaki lagi sekitar 100 meter ke kantormu. Tidak apa. Paling cuma 5 menit. Hitung-hitung sekalian olahraga.
Setelah parkir, aku sempat istirahat sebentar. Memakan sarapan yang aku beli di minimarket franchise asing tadi. Setelah makanan habis dan dahaga terpuaskan karena meneguk minuman, aku lantas turun. Kubawa serta kopi dalam gelas kertas dan roti yang kubeli di tempat yang sama dengan sarapanku. Aku tahu semua tentangmu. Kopimu adalah kopi hitam dan cenderung pahit, black coffee dengan gula cuma seperempat atau paling banyak setengah sachet. Untuk makanan kamu bisa melahap apa saja, asal tidak berlemak karena bisa merusak tubuh langsingmu. Pagi ini, aku membeli roti sandwich isi tuna. Aku cuma ingin membuatmu tersenyum.
Saat aku masih berjalan di trotoar, kulihat mobilmu lewat. Tampaknya kamu sedang begitu konsentrasi mengemudi atau entah bagaimana, sehingga tidak melihat aku yang berjalan di pinggir. Padahal, biasanya kamu bisa mengenali sosokku dari kejauhan. Aku mencoba meneleponmu, tapi belum berkata apa-apa, kamu sudah menyahut dengan nada membentak, “Iya, bentar! Gue lagi di jalan ini! Bentar lagi nyampe! Sabar napa?”
Dan kembali… Nut… Nut… Nut…
Telepon kamu tutup.
Aku pun mempercepat langkah. Kamu sampai lebih cepat dari perkiraanku. Aku tidak mau terlambat.
Tanpa kesulitan aku melewati satpam kantormu. Walau sama sekali tidak memakai identitas pegawai, bekal PeDe saja cukup. Rupanya, pegawai di kantormu yang ratusan orang membuat satpam tak lagi bisa mengenali satu per satu orang yang bekerja di sana.
Sesampai di dalam halaman kantor, aku bingung musti ke mana. Karena tidak mungkin aku nyelonong masuk ke dalam. Meskipun jabatanmu tinggi di kantor ini, tapi kamu tetap cuma pegawai biasa, bukan pemilik. Tambahan lagi aku orang luar, tamu tak dikenal yang bahkan tidak melapor kepada satpam. Bisa-bisa aku digelandang keluar karena dianggap melanggar aturan.
Maka, kucoba meneleponmu lagi. Beberapa kali terdengar nada panggil, lantas disusul suaramu yang terdengar tidak ramah sama sekali. “Bentar. Bentar. Lagi parkir. Gak sabar amat sih…,” suaramu terdengar amat kesal. Dan tampaknya segera akan memutus sambungan seperti tadi.
Tapi sebelum kamu sempat menutup teleponmu, segera aku memburu dengan kalimat cepat, “Tunggu. Dengar dulu. Aku sudah sampai. Cuma mau kasih tahu aku tunggu di depan dekat gardu.”
Terdengar helaan nafasmu. Tampaknya kamu jengkel benar. Lalu terdengar suaramu, tampak begitu malas dan jengkel, “Ya udah. Tunggu.”
Dan sekali lagi… nut… nut… nut…
Telepon pun kamu tutup.
Giliranku yang menghela nafas. Aku pun beranjak ke pojok kiri depan halaman kantormu. Di dekat gardu listrik. Tak ada tempat duduk, sehingga aku hanya bisa berdiri menunggumu.
Beberapa menit kemudian yang terasa bagai berjam-jam bagiku, kamu datang. Langkahmu cepat, tapi tidak tergesa. Matamu menatap BB di tangan, sibuk mengetik sesuatu. Mungkin SMS, tapi kelihatannya BBM seperti biasa. Sepintas kamu melihatku untuk mencari posisiku menunggu, tapi segera kamu menunduk lagi ke layar BB. Sama sekali tidak membalas senyumku.
Beberapa langkah kemudian kamu sampai di hadapanku. Kamu mengangkat wajah. Masih tanpa senyum. Datar kamu mengangsurkan dompetku yang tertinggal di mobilmu kemarin.
“Nih, lain kali jangan ditinggal-tinggal. Udah kaya ya?” katamu ketus dan sinis. Aku menerima dompet itu dengan takzim.
“Terima kasih, Sayang… ini aku bawain sarapan,” kataku sambil mengangsurkan kopi dan sandwich.
Kamu menerimanya acuh tak acuh. “Apaan nih? Gak perlu repot gini mustinya.”
“Ya… kan aku ngerepotin kamu… lagian takutnya kamu belum sarapan…”
“Ya udah. Makasih. Apa lagi?”
“Mmm… Minggu besok kita jalan lagi ya? Kan kemarin udah bagus...”
“Gak bisa. Gue ada janji,” kalimat menggantungku dipotongnya.
“Jadi, kapan kita bisa jalan?”
“Nggak tahu. Nggak perlu lagi kayaknya.”
Aku menahan jengkel. Kuhela nafas pelan agar tidak terdengar. Lalu aku berkata lembut, “Ya, sudah. Aku pamit dulu ya… sini…” aku meraih kepalanya, mencoba mengecup keningmu seperti biasa. Tapi kamu mendorongku hingga aku sempoyongan.
“Gak usah cium-cium segala… udah sana!” katamu mengusirku. Aku menghela nafas. Kali ini agak keras sehingga pasti terdengar olehmu.
“Ya sudah, aku pamit,” ujarku mencoba bersabar. Tutur kataku kubuat selembut mungkin. Aku pun berbalik dan mulai melangkah pergi. Tapi tiba-tiba terdengar suaramu memanggil keras.
“He! Tunggu dulu! Kapan lu mau anterin barang-barang gue?” teriakmu cukup keras, cukup untuk terdengar di seantero halaman parkir. Wajahku pasti sudah merah padam saat itu. Menahan malu dan marah. Dengan sekali lagi menghela nafas, aku pun berbalik, kembali menghadap ke arahmu.
“Ya nggak gini caranya dong… kita omongin dulu baik-baik…,” pintaku mencoba meminta pengertiannya. Tanganku terangkat, mengisyaratkan pintaku agar bicara lebih pelan.
Sia-sia. Kamu tetap berteriak.
“Dasar cowok pecundang. Enak aja barang orang nggak dipulangin. Ada ijazah gue segala kan? Balikin! Sekarang!” bentakmu.
Aku masih mencoba menyabarkanmu. “Ya… kamu pulang dulu ke rumah dong, Yang…”
Wajahmu kini makin memerah. Sayang sekali, kamu terlihat seperti rakshesi yang mengerikan saat sedang marah. Raut wajah sabar dan ayumu hilang sama sekali.
“Ngapain? Gue gak mau lagi ke tempat sialan itu!” bentakmu makin keras.
Aku mencoba mencari cara lain. Aku ingin menyelesaikan hal ini dengan baik, tidak dengan cara seperti aku adalah seorang prajurit kalah perang, yang harus menyerah tanpa syarat dan membayar pampasan perang. Tidak begini caranya. Harga diriku sangat dijatuhkan sebagai lelaki dan suaminya.
"Sayang... tenang dulu, barangmu kan banyak? Nggak bisa sekali bawa, nggak cukup di mobil. Bahkan pakai dua mobil saja masih perlu beberapa kali bolak-balik..." aku masih berusaha tenang. Kucoba memakai logika, karena aku tahu istriku ini pintar. Semoga ia mau memikirkan "dengan logika" seperti lagunya Katon Bagaskara yang kami sama-sama suka itu.
"Udah, lu anterin aja ke sini, titip sama satpam! Gue gak mau ketemu lu lagi!" tolaknya kasar.
"Lho, terus kita gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Udah selesai. Goblok amat sih gak ngerti-ngerti?"
Sekarang segalanya memang sudah jadi runyam karena situasinya sudah berubah. Ia tidak lagi mencintaiku karena sudah berselingkuh dengan pria lain. Sementara aku masih amat sangat mencintainya dan berusaha mempertahankan hubungan kami.
“Kita omongin dulu ya…,” pintaku. Kamu tambah naik pitam.
“Gak ada yang perlu diomongin lagi. Semua udah selesai. Lu tinggal balikin semua barang gue. Titik!” bentakmu lagi.
“Please… sabar dulu. Kita cari waktu bicara dulu ya?” aku masih memohon pengertiannya.
“Cuih! Dasar cowok bajingan!” kamu meludah tepat ke wajahku. Aku kaget bukan alang-kepalang. Marah karena dihina oleh orang yang paling kumuliakan. Sedih karena tak bisa membujukmu. Malu karena kejadian itu di tempat umum. Terhina karena harga diriku dijatuhkan begitu rupa.
Aku menghela nafas. Jalan buntu. Jelas aku menghadapi no-win situation di sini. Maka, tanpa berkata apa-apa lagi, aku pun berbalik. Mulai berjalan meninggalkanmu. Kembali ke Vitara-ku yang terparkir di luar sana.
Kamu jelas tidak terima dengan tindakanku itu. Terdengar suaramu. Keras dan kasar.
“He! Jangan kabur gitu aja! Sini lu! Sialan!” sambil memaki, kamu melempar gelas berisi kopi yang kubelikan itu kepadaku. Aku memang tidak melihatnya, tapi terasa ada air membasahi, ditambah sedikit sensasi benda mengenai punggung. Untung saja kopi itu sudah mendingin karena kubeli lebih dari sejam lalu. Sehingga aku tidak terluka karena air panas. Tapi, hatiku yang terluka dan panas.
Aku hendak berbalik, tapi dari sudut mataku kulihat satpam dan beberapa orang supir melihat dari kejauhan pertengkaran kami. Mereka tentu tidak berani melerai karena tahu kekasihku ini memiliki jabatan tinggi di kantornya. Meski tidak langsung, kamu adalah atasan mereka.
Maka, dengan mata berkaca-kaca dan menggigit bibir, sekuatnya menahan rasa malu, sedih dan marah sekaligus, aku memantapkan diri meneruskan langkah tanpa menoleh. Kudengar suaramu yang masih memanggil dan memaki, makin lama makin menjauh dan sayup, lalu menghilang. Seperti jalinan asmara kita yang juga perlahan tapi pasti memudar dan menghilang.
*******
[Kamarku]. Sekarang.
Aku mengambil tissue. Mengusap air mataku yang tak terasa sudah membanjir. Kutatap wajahku di cermin. Wajah yang kubenci. Wajah yang pernah diludahi. Wajahku sendiri.
Ya. Itulah cerminan wajahku. Cermin tak penah berdusta. Ia apa adanya.
Kejadian engkau meludahi wajahku itu seperti baru kemarin. Wajahku seperti masih basah. Tapi yang pasti, luka hatiku masih basah menganga.
Aku mengusap cermin. Lalu aku mengusap wajahku.
Sudah setahun berlalu.
Aku tak akan bisa melupakannya. Aku tak akan pernah memaafkanmu atas penghinaan itu.
Kini, aku tak lagi memilikimu.
Tapi wajah ini tetap wajahku. Dan cuma ini wajah yang kumiliki. Cermin ini juga masih tetap milikku.
Tak sepantasnya aku malu pada wajahku. Apalagi cuma karena pernah diludahi olehmu, orang yang (tadinya) paling kucintai dan kumuliakan.
Kuusap wajahku. Lalu kuusap cermin.
Dan aku pun berbisik lirih, “Aku berdamai denganmu, wahai cermin. Tak akan kubiarkan wajah ini dihina lagi oleh siapa pun. Bantulah aku menjaganya agar ia mulia.”
Aku berdamai dengan cermin. Aku berdamai dengan wajahku. Aku berdamai dengan diriku.
Tapi tak akan pernah aku berdamai denganmu.
Hingga kini, kamulah satu-satunya orang di dunia yang pernah meludahi wajahku.
Dan akan kupastikan itu yang terakhir.
*******
Cerpen ini dipersembahkan untuk Yoice Pauline Perdanayanti, S.Psi.,M.M.,CTEI,CTSCSH. Sebagai tonggak penegak ingatan atas penghinaanmu kepadaku.
(Solo, 30 Mei 2014)
Foto ilustrasi: mycomputerworks.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H