(Bagian 71)
[Kantor perwakilan perusahaan multinasional. Kantor Maura. Jakarta Selatan.]
Maura berinisiatif mengundang keempat sahabatnya untuk ikut makan di hari Natal esok hari. Karena ia dan suaminya memang beragama Kristiani. Ia tahu sahabatnya yang lain Muslim, dan tidak diperkenankan mengikuti perayaan Natal. Tetapi di rumahnya tidak ada ibadah. Cuma makan-makan saja. Ia ingin menggunakan momentum itu untuk mendamaikan perseteruan antara Carmen dan Cinta. Sedikit banyak, dari percakapannya di telepon dengan Milly, Maura sudah mendapatkan gambaran. Ia juga sudah menelepon ketiga sahabatnya yang lain untuk mendengarkan berbagai versi dan sudut pandang. Tetapi sayangnya kesibukannya tidak memungkinkannya untuk bertemu langsung dengan Cinta dan Carmen seperti permintaan mereka masing-masing. Oleh karena itu, ia berencana mempertemukan mereka dalam acara syukuran Natal di rumahnya.
Maura memposting di group aplikasi pesan singkat yang cuma beranggota mereka berlima saja itu.
– Hi all… semoga damai dan kasih Tuhan selalu beserta kalian semua. Eh, kan dua hari lagi Natal… gue undang kalian semua ke rumah gue ya… Makan-makan aja... Janji gak ada do’a atau ibadah lain. Cuma makan. Kita semua doyan makan kan gurls? Gue tunggu ya jam satu siang. J PS: Kalo mau bawa makanan or minuman tambahan, akan diterima dengan senang hati. Kita jadi potluck party! –
Tentu saja semua anggota group serentak menerima pesan broadcasting yang sama. Karena dikirim pada saat jam makan siang, bisa dipastikan mereka semua masih berada di lokasi kerja masing-masing. Maura sendiri memilih meninggalkan smartphone-nya di ruangan saat ia keluar untuk istirahat makan siang. Ia justru bukan tipe yang begitu lengket-nya pada gawai sehingga bak “keris pusaka” yang harus selalu dibawa ke mana-mana. Pekerjaannya yang begitu padat dan seringkali anak buah dan teman-teman kantornya berkomunikasi aktif baik melalu telepon maupun e-mail justru membuatnya penat.
Tetapi sebelum ia meninggalkan ruangan, Maura menyempatkan diri menelepon ke rumah. Menanyakan kabar anak-anaknya yang masih kecil kepada baby sitter dan keluarga yang tinggal. Ia juga menelepon suaminya sekedar untuk say hi. Dan setelah itu, barulah ia beranjak meninggalkan mejanya. Tetapi belum sampai di pintu ruangan, telepon mejanya bordering. Itu pasti urusan pekerjaan dan penting kalau sampai menggunakan telepon ekstension internal kantornya. Maka, Maura pun memutuskan untuk mengangkatnya.
“Halo, Maura speaking here…,” karena kantornya perusahaan multinasional, maka percakapan resminya hampir selalu menggunakan bahasa Inggris.
Terdengar suara seorang wanita yang berlogat orang Indonesia, “Ibu Maura, this is Ira, receptionist. I just want to inform that you have a guest in front office. Would you come out to meet her?”
“Who? I don’t have any appointment today,” Maura bingung. Terdengar resepsionis menanyakan siapa nama tamunya.
Lalu ia mengatakannya kepada Maura, “Her name is Carmen. She admit that she has no appointment with you. But this is private matter she said. Should I inform her that you don’t want to meet her?”
Maura tersentak begitu mendengar nama itu disebutkan. Carmen. Ia tidak punya teman lain dengan nama seunik itu. Itu pasti Carmen sahabatnya. Maka cepat-cepat Maura menukas kepada resepsionis.
“No. It’s okay. She is my friend. I will come out and meet her. Please inform her to wait a minute,” perintah Maura kepada Ira sang resepsionis.
“Yes Ma’am. I will inform her to wait. Thank you…,” dan telepon pun ditutup. Maura lantas berpikir cepat. Ini pasti ada hubungannya dengan kejadian tiga –empat hari belakangan. Tetapi kalau Carmen yang ia kenal tangguh dan liat itu sampai datang ke sini, berarti problemanya lebih berat daripada yang diduganya. Mungkin kejadian itu membuat Carmen limbung secara mental.
Maura pun segera keluar ruangan dan menuju ke depan. Ia melihat Carmen dari balik pintu kaca yang sedang menunduk dan tampak kusut. Menghela nafas, Maura menjernihkan pikiran dan memasang wajah ceria. Lalu ia membuka pintu dan menyapa Carmen dan melangkah mendekati sahabatnya.
“Halo Sis! How are you today?” sapa Maura dengan ceria seraya mengembangkan tangan.
Mendengar namanya disebut, Carmen mendongak dan berdiri menyambut Maura. Ia memeluk sahabatnya itu dengan lunglai. Maura memegang bahu sahabatnya dan menatapnya lurus-lurus.
“Hai, lu kenapa? Yuk, lunch bareng…,” ajak Maura.
“Iyaa… sori ya ganggu lu di kantor gini… Gue pikir ini kan jam maksi, mungkin gue bisa minta waktu lu sebentaran…,” ujar Carmen meminta maaf.
“Yaaaah…. Gakpapa lagi… Asal gue gak ada meeting, gue mah open aja. Kerjaan bisa ditinggal kok… Yuk, turun ke bawah…,” Maura merangkul sahabatnya dan menuju ke lift.
Sepanjang perjalanan turun ke lantai bawah, Carmen diam saja dan tampak menunduk. Ia seperti patah semangat. Jadilah Maura yang mencoba mengajak bicara dan bercanda. Karena di gedung itu kantor Maura berada, maka tentu tuan rumahnya adalah Maura. Carmen menurut saja saat dibawa Maura mengajaknya pergi keluar areal gedung. Mereka naik taksi karena Maura sedang tak ingin menyetir dalam kondisi lelah mental dan fisik seperti itu. Maura mengajak ke sebuah restoran di dekat gedung kantornya. Restoran yang cukup mewah bagi ukuran pegawai negeri seperti Carmen, tetapi tidak bagi seorang manager perusahaan multinasional seperti Maura.
“Maura, kok makan di tempat begini? Apa nggak kemahalan?” tanya Carmen tidak enak hati.
“Gak papa, kan besok Natal? Gue mau berbagi nih… apalagi sama sahabat dekat kan?,” ujar Maura.
“Eh, tapi gue bukan fakir-miskin yang perlu dikasih sedekah lho?” Carmen masih berusaha menolak.
“Yaelah… siapa yang bilang gitu? Kan ini sohib nraktir sohib? Masak gak boleh sih? Yuukk,” Maura menggandeng tangan Carmen dan masuk ke dalam.
Carmen yang sedang galau tidak mau memilih menu. Ia menyerahkan semuanya kepada Maura. Dengan sabar, Maura memilihkan menu yang kira-kira tidak akan ditolak sahabatnya. Karena ia tahu Carmen sedang bête, kemungkinan makannya sedikit. Maka, ia memilihkan menu dengan porsi kecil. Setelah pelayan restoran yang mencatat pesanan pergi, Maura mulai membuka percakapan.
“Carmen… apa yang bisa gue bantu buat lu… ayo… ngomong aja…,” tanya Maura dengan nada bijak.
Carmen menengadah, ia menatap mata Maura yang memang punya gelar magister psikologi itu. Ia tahu telah datang kepada orang yang tepat.
“Maura… gue mau mati aja...,” ujar Carmen lemah.
Maura merengkuh tangan Carmen dan menggenggamnya erat.
“Jangan dong… nanti gue yang repot… hehe…,” Maura mencoba bercanda. Carmen tersenyum lemah.
“Lu baik… gak kaya Alya… sama Cinta!” nada bicara Carmen mulai meninggi. Maura mulai meningkatkan intensitas perhatiannya dengan mengelus-elus punggung tangan Carmen dengan tangan kanan, sementara tangan Carmen digenggamnya dengan tangan kiri.
“Milly juga baik sih… tapi dia oon! Susah ngandelin dia!” Carmen menggerutu.
Melihat celah untuk bercanda, walau dengan menyindir sahabatnya yang lain, Maura menyergah, “Milly? Dia gak oon lagi… cuma…. Tulalit aja! Hehehe…”
“Sama aja dong!” Carmen tersenyum tipis mendengar gurauan itu. Tapi ia lalu kembali down. Wajahnya beku dan murung. Ia menghela nafas berat.
Untunglah keadaan diselamatkan dengan pelayan yang datang mengantarkan minuman. Sehingga Maura bisa menawari Carmen minum lebih dulu untuk menenangkan diri. Carmen menuruti walau cuma minum sedikit saja lewat sedotannya.
Rasa manis di minuman membuat mood Carmen sedikit membaik. Memang secara kimiawi kandungan gula bisa meningkatkan hormonal yang berpengaruh pada emosi dan perasaan.
“Maura… gue gak habis ngerti deh sama Cinta. Dia itu kan cantik, seksi… ngapain musti ngerebut cowok yang gue suka sih? Padahal yang suka sama dia kan banyak… coba liat gue. Udah gendut, item, jelek… eh, idup lagi!” Carmen mulai menumpahkan kekesalannya. Andai situasi berbeda, ucapan terakhir Carmen bisa mengundang tawa yang mendengar. Maura saja terpaksa menarik nafas untuk menahan rasa gelinya.
“Eh, gue juga giji…,” gurau Maura.
“Apaan tuh?” Carmen linglung.
“Ya tadi… Gendut, item, jelek, idup… hehehe,” ujar Maura, ia melihat bibir Carmen sempat tersenyum tipis, tapi lantas kembali manyun. “Gini-gini juga gue laku kok… masak lu nggak kan?”
Ucapan yang dimaksudkan Maura sebagai upaya menghibur Carmen malah disikapi sahabatnya itu secara defensif. “Eh, tapi lu kan pinter, es dua, kerja di tempat keren begitu… jabatan bagus, gaji bagus…lah gue? Goblok, cuma lulusan esema, gak makan kuliahan, kerja gak jelas, masih honorer… duh!”
Maura mengelus pipi kiri Carmen dengan tangan kanannya secara lembut dan keibuan.
“Carmen… gue kerja di sini kan juga baru… dua tahunan… Waktu dulu gue nikah juga gak bagus-bagus amat kok kerjaan gue… Tapi percaya deh, tiap orang itu ada jodohnya yang udah ditentuin Tuhan,” Maura menyemangati Carmen.
“Iya! Tapi gue mana? Pas ada cowok deket gue, malah direbut sohib sendiri. Jelas aja, dia lebih cantik, lebih seksi, lebih putih, lebih pinter, lebih kaya, lebih… ah, pokoknya lebih semua deh daripada gue!” suara Carmen meninggi, membuat Maura terpaksa men-sssst-kannya karena kuatir mengganggu pengunjung restoran lainnya.
“Sssshhh… santai… denger ya… bukan itu yang diliat cowok…,” Maura mencoba menenangkan.
“Apa? Apa lagi emangnya? Emang itu aja kan yang jadi pertimbangan cowok?” sergah Carmen ngotot.
“Enggak sayang… Di dalam sini…,” Maura menunjuk ke dada sahabatnya, “Ada yang namanya inner beauty. Itu yang lebih diliat cowok…”
“Ah, gak percaya gue! Kalau pun itu ada, tetep aja si Cinta sialan itu lebih beauty ke mana-mana inner-nya daripada gue!” sentak Carmen. Maura tersenyum bijak. Karena ia seorang psikolog, apalagi memiliki sertifikasi coaching and counseling, Maura sangat berpengalaman menangani kondisi seperti yang dihadapi Carmen saat itu. Memang pada fase ini, counselee akan sangat defensif. Ia masih amat marah atau amat sedih sehingga menolak segala masukan, saran, atau nasehat. Tugas Maura hanya mendengarkan dan mengafirmasi segala kerisauan hati Carmen. Dan kalau perlu barulah menjelaskan atau meluruskan.
“Carmen… semua cewek punya inner beauty. Cuma mungkin aja dia gak nyadar…,” Maura menjelaskan.
“Gue? Gue punya inner beauty? Wong luarnya aja gue ugly, outer beauty aja gue gak, apalagi inner!” Carmen tetap saja tidak percaya.
Lagi-lagi keadaan terselamatkan oleh datangnya makanan yang sudah dipesan Maura. Pelayan meletakkan beberapa piring makanan hidangan. Setelah pelayan pergi, Carmen berkata lagi.
“Gini… gue boleh nggak bilang apa inner beauty lu?” tanya Maura meminta izin.
Carmen mengangguk.
“Janji lu jangan bantah dulu, tapi pikirin, OK?” Maura meminta Carmen untuk lebih tenang lagi.
Carmen pun mengangguk lagi.
“OK. Lu itu kuat dan tangguh. Cewek yang gampang nyerah. Dan itu kualitas yang bagus banget. Nah, sekarang mending kita makan dulu… yuk, mumpung anget,” ajak Maura mencoba mendinginkan suasana sekaligus membangkitkan mood Carmen.
(Bersambung…)
Catatan Khusus:
Kisah “Ada Asa Dalam Cinta: Episode 1” ini akan segera berakhir… beritahukan teman-teman Anda agar segera turut membacanya di Kompasiana ya… ;)
Segera setelah pemuatan di Kompasiana ini berakhir, akan masuk tahap penyuntingan (editing) akhir dalam proses pencetakan menjadi buku. Versi buku akan berbeda dalam beberapa detail dibandingkan versi di Kompasiana ini. Karena itu, tetap beli bukunya nanti saat sudah terbit ya :)
Catatan Tambahan: Karena sempat terjadi kegagalan pengunggahan beberapa kali, maka untuk memenuhi target pemuatan, mulai hari ini Minggu, 1 Februari 2015 hingga Jum’at, 6 Februari 2015 serial novel AADC akan dimuat dua kali sehari.
———————————————————————————————————————-
Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu
Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:
Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)
———————————————————————
Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)
Grafis: Bhayu M.H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H