(Bagian 64)
Sudah seharian Cinta dan Borne menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan itu. Mereka sudah berbelanja, menonton film di bioskop dan makan siang hingga waktu hari gelap. Untuk makan malam, Borne memberikan alternatif pilihan apakah akan tetap mencari di tempat itu atau keluar ke tempat lain. Cinta memilih alternatif kedua. Meski mal itu sangat besar dan begitu banyak pilihan, tetapi tentu saja tetap bisa membuat bosan. Apalagi mereka tak kurang dari delapan jam berada di sana.
Bergandengan tangan, sepasang kekasih itu menuruni escalator. Mereka menikmati kebersamaan yang belum pernah mereka berdua rasakan. Sensasi aneh di antara dua orang teman lama yang kini menjadi kekasih. Mereka pernah saling mengenal, tetapi kini mencoba mengenal kembali satu sama lain lebih dalam lagi. Suatu upaya membuka diri dan melepaskan hasrat yang terpendam.
Bagi siapa pun yang melihat, akan dengan mudah melihat rona bahagia di wajah kedua insan dimabuk asmara itu. Bahkan meskipun tidak mengenal mereka sekali pun. Tanpa perlu diperjelas dengan dialog, dari kejauhan saja tindak-tanduk mereka sudah menunjukkan posisi mereka sebagai sepasang kekasih.
Dan mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang menatap nanar ke arah mereka. Tatapan yang bercampur antara bertanya, marah, sedih, dan….. cemburu. Atau, mungkin lebih tepatnya lagi, patah hati. Mata itu menerawang melihat ke arah escalator yang tengah dituruni keduanya. Sampai-sampai si pemilik mata tidak mendengar ucapan teman-teman yang duduk semeja dengannya.
“Hei! Men! Carmen! Carmen!” suara itu seperti memantul-mantul saja di dinding kesadarannya. Hingga akhirnya Milly menepuk pipinya. Cukup keras hingga Carmen merasa seperti ditampar.
“Eh, kok gue ditampar sih? Kurang ajar banget lu!” Carmen terkejut, dan ia pura-pura marah kepada Milly. Tapi Milly malah ketakutan betulan. Ia mengkeret dan meminta perlindungan Alya seperti kepada kakaknya.
“Alya…. Carmen marah….,tolongin gue…,” pinta Milly sambil duduknya beringsut mendekat ke arah Alya.
“Eh… Carmen… Sori… Lu tadi dipanggilin gak denger… Ada apa sih bengong gitu?” Alya membela Milly sekaligus seolah bertindak jadi juru bicaranya.
“Milly minta maaf ya…,” Milly langsung mengulurkan tangan meminta maaf. Tapi uluran itu tak disambut, malah dicibir saja oleh Carmen.
“Carmen… Milly minta maaf tuh….,” Alya menegurnya.
“Iya… aku tuh gak marah… silly!” katanya gemas sambil kedua tangannya mencubiti pipi Milly.
“Hehe…. Sori… sakit ya pipinya?” Milly kembali tertawa jenaka.
“Iya… sakit… makanya ini gue balessss…..!” Carmen makin gemas mencubiti pipi Milly hingga si empunya mengaduh, antara kesakitan dan kegelian. Keduanya lantas tertawa disambut senyum Alya dan Basuki.
“Eh, lu tuh belom jawab pertanyaan gue,” sergah Alya.
“Apaan?” Carmen malah jadi teralihkan perhatiannya.
“Tadi, lu bengong kayak liat hantu… Liat apaan sih?” tanya Alya penasaran.
“Itu… ,” Carmen mengarahkan dagunya ke escalator, tetapi di sana sudah tak nampak sosok Cinta dan Borne. Maka, ia pun mengurungkan niatnya untuk menjelaskan. Dengan agak memaksa, Carmen mengalihkan pembicaraan.
“Eh, kalian jam berapa nontonnya? Mending makannya diselesaiin deh, ntar telat. Gue sama Milly cabut aja ya…,” pamit Carmen.
Alya memandang Basuki yang cuma mengangkat alisnya. Tanpa bermaksud menahan atau pun mengusir, Alya mengangkat bahu sembari menjawab, “Yaa…. Terserah lu. Gue sih masih seneng ditemenin. Mas Basuki juga nggak papa kan? Kalo lu mau makan atau minum, pesen aja gih…”
Basuki tampak tersenyum dan memberikan gesture mendorong Carmen untuk tetap tinggal. Tetapi tampaknya mood gadis itu sudah jatuh. Ia shock melihat Borne yang tadi pagi bertemu dengannya saat jogging bahkan menumpang mandi di tempat official di hall basket, ternyata buru-buru pergi untuk bertemu Cinta. Carmen bukan saja merasa seperti dibohongi Borne, tetapi juga dikhianati Cinta.
“Ah, gue kayaknya mau balik aja deh Ya…. Gue gak enak ganggu lu sama Mas Bas…,” Carmen tetap bersikukuh untuk pamit.
“Aduuuh… gue mah gak keganggu. Mas Bas juga kok… Asal enggak ikut nonton aja… soalnya tiketnya nggak ada…. Hehehe…,” Alya berseloroh.
Carmen tersenyum. Milly sebenarnya agak bingung dengan situasinya. Tetapi ia memilih diam saja.
“Ya udah kalo lu mau pulang. Hati-hati di jalan. Jagain Milly ya, jangan ilang. Susah nyari gantinya,” pesan Alya diselingi canda. Milly langsung memberengut.
“Uuuuh… emangnya Milly anak kecil apa? Ilang di jalan? Huh!” rajuknya. Tapi ia tahu sobatnya itu cuma menggodanya. Alya tertawa.
“Ya udah… gue duluan ya… Mas Basuki… titip Alya ya…,” Carmen bangkit dan menyalami Basuki. Lalu ia memeluk Alya dan cipika-cipiki. Milly mengikuti tindakan serupa dan menyusul Carmen yang sudah melangkah lebih dulu. Setelah beberapa langkah, Milly kembali menoleh ke tempat duduk dan melambai kepada Alya yang masih melihat mereka berdua menjauh. Sementara Carmen berjalan lurus tanpa menengok ke belakang lagi.
*******
Ketika sudah sampai di lantai 2, tiba-tiba Cinta berubah pikiran. Ia seperti merasakan sesuatu yang kurang enak. Entah kenapa, kedekatannya dengan para sahabatnya bisa merasakan suasana batin mereka juga. Dan ia bingung. Suasana siapa yang ia rasakan. Karena secara hubungan pribadi Cinta paling dekat dengan Alya, maka ia mengira Alya-lah yang melakukan ‘kontak batin’ dengannya.
“Borne… eh, sori ya… boleh nggak kita makan di sini aja? Biar gak terlalu capek…,” pinta Cinta.
Borne memandang kekasihnya itu maklum. “Oh, no problem honey…. Yuk, kita cari aja… Mau makanan macem apa?”
Cinta mengedikkan bahu, “Terserah kamu… Aku ikut aja…”
Mereka pun kemudian pergi lagi mencari tempat makan. Karena di lantai tersebut tidak ada, maka keduanya naik lagi satu tingkat lagi. Karena sudah menjadi kekasih, Borne mengelus kepala Cinta. “Kamu kenapa? Kok kayaknya gelisah?”
Cinta melihat ke arah Borne, menata kalimat agar tidak keliru karena pikirannya yang tiba-tiba seperti kalut. Entah kenapa ia merasakan sensasi kebingungan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Ada rasa sakit yang terasa sedikit menyeruak di hatinya. Tapi kenapa? Ia sendiri bingung.
“Ntar aja yuk, di tempat makan. Sambil duduk lebih enak ngomongnya… eh, tapi abis makan udah kan? Kita langsung pulang aja ya?” ajak Cinta.
“Boleh… tapi beliin oleh-oleh buat bapak-ibu dulu kan?” Cinta membelai lembut rambut kekasihnya. Cinta menatap Borne, mata tajam lelaki itu justru tengah menatapnya lembut. Mata yang sangat berbeda dengan yang dilihatnya dua belas tahun lalu. Mungkin inilah yang namanya dewasa itu. Percaya diri, namun rendah hati. Mantap menatap, tapi lembut melindungi. Tanpa bisa ditahannya, hati Cinta terasa berdesir melihat tatap mata kekasih barunya itu.
Setelah mencari-cari di lantai tiga tidak menemukan tempat yang cocok dan sesuai selera, Borne dan Cinta memutuskan naik satu lantai lagi. Saat masih di tangga escalator, terdengar suara memanggil.
“Cintaa…. Borne…. Tunggu….! Cinta….,” suara itu cukup keras hingga membuat beberapa orang lain menoleh. Cinta dan Borne jelas mendengar panggilan itu, dan melihat di escalator satu tingkat di bawah mereka ada Basuki dan Alya. Mereka tengah naik menuju bioskop yang terletak di lantai teratas pusat perbelanjaan tersebut. Ketika sampai di ujung escalator lantai empat, Cinta dan Borne memutuskan menunggu Alya dan Basuki yang masih tertinggal di belakang. Mereka menepi agar tidak mengganggu pengunjung lain yang akan lewat.
Ketika sampai di ujung escalator, Alya setengah berlari memeluk Cinta. Ia melebarkan tangan dan dengan erat seperti menabrak Cinta. Mereka bercipika-cipiki dengan serunya. Basuki yang berjalan santai baru sampai beberapa langkah setelah Alya, ia menyalami Borne dengan gaya brotherhood.
“Hei! Kok lu di sini juga? Gak bilang-bilang sih?” cecar Cinta.
“Apaan? Gue tuh nyoba telepon lu gak diangkat gitu…,” balas Alya. Lalu ia melanjutkan sambil melirik Borne, “Pantesan, ada yang lagi asyik sih ya…?”
“Eh, bentar, kayaknya yang lagi asyik kamu deh… Terus… itu cowok kamu… kayaknya gue kenal deh? Kayak temen kantor aku ya?” goda Cinta sambil mengerling ke arah Basuki, bermaksud membalas ledekan Alya. Basuki dan Borne pun tertawa bersama kekasih masing-masing.
“Udah lama di sini?” tanya Alya.
Cinta mengerling ke arah Borne, lalu menjawab, “Yaaahh… udah kayak yang punya mall deh. Udah seharian kali gue di sini. Abis daripada ke mana-mana, males…. Macet lagi.”
“Oh… gitu? Kalo kami sih baru dateng sekitar sejaman lebih deh…,” jelas Alya.
“Kami? Ehm… Kami lho….,” goda Cinta yang kemudian disambut dengan cubitan di lengan oleh Alya.
“Eh, elu tuh. Lu juga berduaan kan? Udah jadian belom nih?” tembak Alya langsung.
Cinta tersipu, Borne pun tampak salah tingkah.
“He! Kok malah pada diem gitu sih? Kenapa? Malu? Kan kita bukan anak SMA lagi?” desak Alya.
Cinta tidak kalah akal. Ia malah bertanya balik, “Kalau lu, udah ditembak belum sama temen kantor gue itu?”
Basuki yang seolah dianggap tidak di situ malah tertawa dan balik menjawab, “Eh, temen kantor. Kalo aku sih jelas udah dong. Kan aku gerak cepat. Takut disamber orang dianya!”
“Ha? Serius? Hore! Kita makan-makan dong!” seru Cinta sambil sekali lagi memeluk Alya.
“Eh, enak aja. Lu sendiri udah jadian belom? Kok gak dijawab sih?” desak Alya sambil sengaja melepaskan pelukan Cinta.
“Eh, kita udah jadian belom sih?” tanya Cinta kepada Borne dengan lagak cewek belagu.
“Tauk! Kayaknya yang nembak di telepon bukan gue deh…,” Borne membalas dengan berlagak cuek.
“Ha? Lu yang nembak dia? Di telepon?” Alya ternganga. Ia tidak menduga proses “jadian” sahabatnya akan seperti itu.
“Eh… sebenernya… nggak gitu… nanti deh gue ceritain… Mau makan bareng nggak?” tawar Cinta.
“Aduuh… sori… Barusan aja makan. Ini sekarang mau nonton… Nanti kita SMS-an aja ya, ato teleponan… Iya…,” Alya melihat sepintas ke arah Basuki yang menepuk bahunya sambil memperlihatkan jam tangan, memberi kode agar menyegerakan perbincangan karena waktu menonton sudah mendesak. Cinta pun mengerti kondisi sahabatnya itu.
“Oh, ya udah. Kalo gitu silahkan… jangan sampai gara-gara gue jadi telat nontonnya… Kan nonton pertama setelah jadian toh?” goda Cinta lagi.
“Lu tuh ya… yang jadian di telepon…,” Alya membalas. Cinta pun gemas dan mencubiti pipi Alya. Alya tak mau kalah dan menepisnya ganti mencubiti pipi Cinta. Sampai-sampai Basuki menengahi.
“Aduuuh… ini anak-anak TK. Kok malah cubit-cubitan sih? Ya udah, aku nonton sama Borne aja. Yuuukk…,” Basuki berlagak kemayu dan mengajak Borne, yang dengan cepat ngeh pada gurauan itu dan menggandeng mesra tangan Basuki bak pasangan homo.
“Eh, eh… baru juga jadian… kok udah selingkuh sih?” Cinta cepat melepaskan cubitan di pipi Alya dan mengejar Borne yang hendak melangkah ke escalator bersama Basuki. Ia menjewer telinga Borne, walau tentu bercanda. Borne pun pura-pura mengaduh kesakitan seraya melepaskan pegangan tangannya dari Basuki. Ia pun mengikuti Cinta yang masih menjewer kupingnya hingga kemudian dilepaskan setelah agak jauh dari Basuki.
“Ya udah sono! Pergi nonton jauh-jauh! Dasar temen kantor gak tau diri. Udah ngembat sohib gue, mau ngembat laki gue juga! Huh!” ujar Cinta pura-pura marah kepada Basuki. Tentu saja Basuki tertawa karena umpannya untuk menyegerakan perbincangan Cinta dan Alya berhasil. Alya pun mengejar langkah Basuki yang sudah setapak menaiki escalator seraya melambai kepada Cinta. Sambil menoleh, ia memberi gesture dengan mengangkat tangan dengan telunjuk di telinga dan kelingking di mulut, meminta Cinta agar meneleponnya nanti.Cinta pun membalas dengan acungan jempol seraya berkata, “Siiiipp!”
(Bersambung besok) --> Lanjutan Kisah: (Bagian 65)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu
Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:
Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)
———————————————————————
Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)
Grafis: Bhayu MH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H