(Bagian 59)
Alya pun membawa masuk makanan pemberian Basuki. Sesampainya di meja makan, ia berjumpa dengan Yudhistira yang baru saja selesai mandi. Kakak tirinya melihat Alya membongkar kardus kecil berisi kue coklat dan menghampirinya.
“Eh, kayaknya enak nih… minta ya…,” ujarnya sambil mencomot sepotong kue. Tangan Alya menepis tangan Yudhi, walau tidak bermaksud untuk mencegah, sekedar untuk bercanda.
Yudhi memakan potongan kue itu dengan nikmat. Ia menuju ke depan televisi, tetapi sebelum sampai, tampaknya ia tersadar pada sesuatu di pikirannya.
“Eh, pagi-pagi gini udah ada yang ngirimin kue. Siapa yang ulang tahun? Tetangga?” tanya Yudhi.
Alya tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahu. Sampai Yudhi bosan menunggu jawaban dan meneruskan langkahnya ke depan televisi. Beberapa menit kemudian, saat Alya sudah selesai menata kue-kue itu di atas piring, ibu Alya datang dan menanyakan pertanyaan yang sama, dari mana asal kue itu. Dengan berbisik Alya pun memberitahukan.
“Oh, ada nak Basuki? Kok kamu nggak bilang?” ibunya berkata, cukup keras hingga terdengar oleh Yudhi. Tentu saja kakak tiri Alya itu menengok.
“Adduuuh…. Ibu kok keras-keras sih? Kan Alya udah bisik-bisik…,” kata Alya lirih.
“Yaa… kan ibu ndak tahu. lagian kenapa gitu bisik-bisik?” tanya ibu Alya masih tidak tahu maksud anaknya.
“Ada Mas Yudhi…,” kata Alya.
“Lho, emang kenapa?”
“Ntar ditanya-tanya lagi… kayak semalem sama Mas Bimo…,” ujar Alya.
“Hahaha… Yudhi, katanya kamu mau tahu pacarnya Alya? Tuh ada di teras…,” ibu Alya malah ‘mengkhianati’ putrinya.
“Iiiiih… Ibu ini lho…,” Alya mencubit lengan ibunya.
Tentu saja Yudhi mendengarkan perbincangan itu. Dan ia pun segera menghabiskan suapan terakhir kuenya dan bangkit menuju meja makan.
“Apa Bu? Pacarnya Alya udah dateng? Oh… dia yang ngirim kue ini ya? Asiiiik… Aku ke depan ah…,” Yudhi pun berjalan melenggang menuju teras. Alya spontan mengejarnya dan menarik-narik tangannya.
“Eh, ini apaan sih kok ditarik-tarik?” Yudhi pura-pura melawan. Meski sebenarnya tenaganya jelas lebih besar daripada Alya, ia pura-pura kesulitan.
“Mas Yudhi… ah… jangan sekarang…,” rajuk Alya.
“Apanya yang jangan sekarang?” tanya Yudhi pura-pura tidak tahu.
“Jangan ke teras sekarang…,” ujar Alya.
“Eh, emang ada apa sih di teras? Ada siapa? Pak RT?” Yudhi mengajukan pertanyaan konyol.
“Aaaaahhh…. Mas Yudhi ini lho… Jangan dong…,” Alya masih berupaya mencegah. Yudhi pura-pura berlari di tempat dan saling tarik-menarik dengan Alya.
“Kenapa sih? Masa Mas Yudhi mau ke teras aja nggak boleh?” goda Yudhi. Tangannya berupaya melepaskan pegangan tangan Alya pada lengannya. Dan setelah mencoba beberapa kali, akhirnya berhasil. Yudhi pun berlari kecil menuju teras, dengan Alya mengikuti di belakangnya.
“Eh, ada tamu…,” Yudhi pura-pura terkejut begitu sampai di teras. Basuki pun segera berdiri melihat ada sosok lelaki yang pastinya keluarga Alya datang. Beberapa langkah di belakangnya, Alya menyusul dengan terengah-engah.
“Mas Bas… eh, kenalin… ini Mas Yudhi… kakak tiriku yang jail banget…,” ujar Alya sembari menepuk bahu Yudhi. Dengan santai, Yudhi pun maju menyalami Basuki.
“Oh, ini toh Mas Basuki-nya adikku… tadi malam Bimo cerita sih…,” ujarnya.
“Oh ya Mas? Cerita apa?” tanya Basuki berbasa-basi.
“Cerita… kalo Alya sekarang sudah punya pacar… aduh,” ucapan Yudhi diakhiri dengan cubitan di pinggangnya oleh Alya. Ketika Yudhi menoleh ke arah adik tirinya, mata Alya melotot kepadanya.
“Oh… begitu ya Mas…? Padahal saya nggak berencana macarin Alya kok…,” Basuki malah menggoda Alya, kompak dengan Yudhi.
“Lha, kalau begitu adikku ini kegeeran dong?” tanya Yudhi.
“Wah, kalau itu sih tanya orangnya langsung aja Mas…,” kilah Basuki.
“Eh, beneran ya. Gak mau jadiin aku pacar… Ya udah, aku masuk lagi aja. Terus, jangan dateng-dateng ke sini!” ujar Alya pura-pura galak, lalu membalikkan badan dan bersiap masuk kembali ke dalam rumah. Tetapi kali ini Yudhi yang menahan lengannya.
“Aduh… adik kecil, kok ngambekan sih? Masuk yuk Mas Basuki, ke ruang tamu aja… biar enakan…,” ajak Yudhi seraya mendorong Alya ikut masuk ke ruang tamu. Lengan Alya masih dipegangi oleh Yudhi dan baru dilepaskan setelah masuk ruang tamu. Yudhi duduk, lalu disusul Basuki, sementara Alya masih berdiri.
“Alya… ini Mas-nya dikasih minum dong…,” tiba-tiba ibu Alya sudah ikut nimbrung ke ruang tamu.
Alya menoleh melihat ibunya datang. Ia lalu mengadu kepada ibunya.
“Bu, ini lho… Mas Yudhi sama Mas Bas kok baru ketemu udah kompak ngerjain Alya sih?” ujarnya.
“Ngerjain gimana?” tanya ibunya dengan nada sabar.
“Yaa… ngerjain… pokoknya gitu deh. Ya udah, aku buatin minum dulu. Awas lu ya!” katanya kepada Yudhi sambil mengacungkan tinjunya. Semua yang di ruang tamu tertawa melihat gaya Alya yang sengaja dibuat kekanak-kanakan.
Setelah Alya pergi, ibu Alya ikut duduk di ruang tamu.
“Nak Basuki kok pagi-pagi sudah ke sini?” tanya ibunya. “Ndak capek semalam pergi? Mana repot-repot bawa kue segala…”
Basuki rikuh. Ia tahu ucapan ibu Alya itu bukan keberatan, tetapi malah dalam trradisi Jawa seperti tidak mau merepotkan.
“Ndak apa-apa Bu… soalnya Alya tadi SMS kalau hari ini keluarga bakal ngumpul… Mungkin kesempatan baik bagi saya untuk berkenalan… Tapi saya mau datang duluan, siapa tahu ada yang bisa dibantu siap-siap…,” jelas Basuki.
“Wah… ndak ada siap-siap apa-apa….. Lha wong biasa tiap hari Minggu kita kumpul di sini kok…,” jelas ibu Alya.
“Iya Mas Basuki, saya juga tadi ke sini mampir doang, numpang mandi… Nanti siangan baru ke sini lagi setelah jemput istri sama anak-anak… Biasanya ya begini doang kok… Nggak ada yang repot..,” tambah Yudhi. Basuki mengangguk mendengar penjelasan itu.
“Yaaa… saya juga barusan lari pagi…. Cuma siapa tahu kalau perlu belanja apa begitu, untuk acara nanti…,” tawar Basuki.
“Wah, nak Basuki baik sekali. Oh ya, kalau habis olahraga juga, silahkan lho kalau mau mandi di sini…,” tawar ibu Alya.
“Iya Mas… biar seger. Saya juga sama kok. Kalau tahu suka jogging juga, minggu depan kita bareng aja ya…,” Yudhi menambahi.
“Siap Mas… gampang itu. Tapi kalau mandi, saya mungkin lebih baik pulang ke apartemen saya saja. Dekat kok dari sini…,” Basuki menolak tawaran ibu Alya. Karena sebagai orang luar, ia tentu masih risih menumpang mandi di rumah orang lain.
“Oh, ya sudah… tidak apa-apa… Nanti kalau mau, datang saja lagi ba’da dzuhur…,” ibu Alya memberikan informasi. “Ibu tinggal dulu ke belakang ya… silahkan kalau mau ngobrol-ngobrol…”
“Ehm… kalau boleh saya pamit dulu saja Bu… Mas…,” Basuki bersiap bangkit.
“Eh, nanti dulu. Itu Alya sudah membuatkan minum. Nanti ngambek lho anaknya…,” ujar ibu Alya. “Tunggu dulu ya… Ibu sekalian ngecek… Yudhi, temani nak Basuki ya…”
“Inggih Bu….,” ujar Yudhi sopan. Ia menghormati istri ayahnya itu sebagaimana layaknya ibunya sendiri.
Sepeninggal ibu Alya, Yudhi pun berbincang dengan Basuki.
“Mas Bas, saya dengar Pemred ya…?” tanya Yudhi.
Basuki tersenyum dan dengan merendah menjawab, “Yaaah… kebetulan dipercaya Mas…”
“Hebat dong. Eh, kalau boleh tahu, kenal Alya di mana sih? Kok bisa ketemu? Heran saja saya…,” tanya Yudhi agak penasaran.
Basuki tampak berpikir sesaat sebelum menjawab. Ia cuma kuatir Alya kurang menyukai mengungkapkan mengenai bagaimana mereka bertemu. Tetapi setelah menimbang-nimbang dengan cepat, Basuki berpikir tidak ada salahnya memberitahu.
“Ummm… Mas Yudhi kenal sahabatnya Alya sewaktu SMA?” tanya Basuki.
“Yang mana? Kalau nggak salah Alya ada… berapa ya? Tiga atau empat orang gitu… Dia pernah cerita sih… Tapi katanya udah jarang ketemu…,” Yudhi mencoba mengingat-ingat.
Basuki menjelaskan, “Ada empat Mas. Namanya Carmen, Milly, Maura, dan Cinta.”
“Oh, gitu ya? Mas Basuki kenal mereka?” tanya Yudhi lagi.
“Yaaah… karena dikenalkan…,” jelas Basuki.
“Oh, dikenalkan oleh Alya?” Yudhi berusaha memperjelas.
“Mmmm… bukan. Alya justru dikenalkan oleh salah satu dari mereka. Cinta namanya,” jelas Basuki.
Yudhi mengangguk-anggukkan kepala. Ia mencoba mencerna penjelasan Basuki.
“Jadi, sahabatnya Alya itu… yang namanya Cinta… yang mengenalkan Mas Basuki dengan Alya?” tanya Yudhi mempertegas apa yang dipahaminya.
“Betul Mas… Nah, kebetulan, saya teman sekantornya Cinta…,” Basuki menjelaskan lebih jauh.
“Ooooh… gitu toh? Jadi, Cinta yang menjodohkan Alya dengan Mas Basuki?” Yudhi mengambil kesimpulan.
“Eennngg… sebenarnya tidak tepat begitu sih Mas. Prosesnya terjadi begitu saja. Saya dikenalkan Cinta ke geng-nya, ada Alya di sana. Dan saya lihat Alya punya kesamaan minat dengan saya,” jelas Basuki.
“Oooh… begitu. Eh, kesamaan minat apa?” tanya Yudhi penasaran.
“Buku. Saya dan Alya sama-sama suka membaca. Lebih senang lagi begitu tahu ia suka sastra,” jelas Basuki.
“Oh, ya… adik saya itu memang suka sekali baca. Tuh, kamarnya penuh buku. Malah ada satu kamar di rumah ini khusus buat perpustakaan kecilnya dia. Dan… dia juga suka bikin puisi… Pantes…,” ujar Yudhi.
Tiba-tiba, tanpa mereka dengar langkah kakinya, Alya sudah muncul membawa nampan berisi tiga gelas minuman. Dia pun mengagetkan dengan ucapannya yang menyergah.
“Hayo! Ngomongin Alya ya?”
(Bersambung besok)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu
Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:
Ada AsaDalamCinta (Sinopsis&TautanKisahLengkap)
———————————————————————
Foto: AntonoPurnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)
Grafis: Bhayu MH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H