(Bagian 56)
Seusai makan malam, Rangga hendak mengantarkan Jeanette pulang. Tetapi gadis itu menolak. Ia mengajak berjalan-jalan di Central Park. Sebenarnya, agak kurang ideal berjalan-jalan di taman itu di malam hari. Dan Rangga mengutarakan keberatannya itu. Setelah menimbang-nimbang sesaat, Jeanette akhirnya mengajak Rangga menuju ke arah Times square. Mereka menumpang metro dulu dan turun di seventh avenue, lalu melanjutkan dengan berjalan kaki. Sudah lazim bagi New Yorkers pergi menelusuri kota dengan hanya berjalan kaki.
Suasana malam hari di area itu memang semarak. Penuh dengan lampu berpendar berwarna-warni. Bagian kota Manhattan ini seringkali dijuluki “Pusat Semesta” atau “Persimpangan Dunia”. Hal itu tak lain karena semaraknya pertemuan berbagai budaya bangsa di sana. Walau sebenarnya, semua itu dalam bentuk pengunjung yang menyesaki kawasan komersial belaka. Tidak ada pertunjukan budaya dalam konteks seperti di Taman Mini Indonesia Indah yang sengaja digelar.
Walau di area itulah terdapat Broadway, yang konon merupakan pusat teater dunia. Di sanalah kerap dipentaskan berbagai pertunjukan klasik seperti Phantom of the Opera atau Hamlet. Bahkan di era modern seperti ini, negara semaju Amerika Serikat masih memelihara keklasikannya.
Bahkan warga New York sendiri belum tentu pernah menelusuri seluruh sudutnya. Padahal, kawasan Times square menarik tak kurang dari 39 juta pengunjung setiap tahunnya. Dan Rangga sungguh tak tahu akan dibawa ke mana dirinya oleh Jeanette malam itu.
Jeanette menggandeng Rangga melintasi deretan pertokoan. Ia menunjuk ke arah “Bola Tahun Baru” yang setiap malam tahun baru akan dijatuhkan.
“Look, that’s New Year’s Eve Ball, do you ever noticed that’s ball is just like that?”
“What do you mean with just like that?”
“Yeah… if we look at them not at the new year’s eve, it just like a kind of decoration, right?”
“Well… I think it depends on momentum….,” jawab Rangga.
“And with whom you spend it, right?” Jeanette mengerling.
Tiba-tiba, Jeanette memiliki ide untuk menghabiskan malam di sebuah café terkemuka yang memiliki banyak cabang, termasuk di Jakarta dan Bali. Café itu dimiliki oleh beberapa artis Hollywood terkemuka dan nuansanya asyik. Rangga bingung, karena ia sebenarnya cukup lelah karena sedari pagi belum pulang dari berjogging di Central Park. Rangga akhirnya setuju dengan syarat mereka harus sudah keluar dari tempat itu sebelum jam 10 malam. Jeanette menyanggupi.
Di café yang menyediakan aneka jenis makanan termasuk makanan berat itu, mereka tentu tidak lagi memesan makanan yang mengenyangkan. Karena baru saja mereka makan malam lebih awal. Rangga memesan minuman ringan saja dan Jeanette memesan cocktail beralkohol. Untunglah musik hidup segera dimulai. Sebuah band lokal yang menyanyikan lagu-lagu Top 40 naik ke panggung. Lumayan bagi Rangga yang mulai kehabisan bahan obrolan. Entah kenapa, tiba-tiba ia memikirkan Cinta saat itu.
*******
[Rumah orangtua Cinta. Jakarta Selatan]
Cinta bangun lebih pagi hari Minggu itu. Ketika bangun, sempat terpikir pula olehnya tentang Rangga. Dimana jam delapan pagi di Jakarta, berarti jam delapan malam di New York city. Rupanya, pikiran Rangga yang tengah berada di Times square terkoneksi dengan pikiran Cinta. Tetapi, cepat Cinta menepis pikiran itu. Ia ingat, ada janji dengan Borne untuk pergi hari Minggu ini.
Karena semalam Borne pergi menemui adiknya yang tengah latihan basket guna memperkenalkannya kepada Carmen, maka malam Minggu pertama mereka setelah resmi “jadian” tidak dilewati bersama. Sebagai gantinya, Borne yang sudah meminta izin Cinta untuk mempertemukan Carmen dengan adiknya meminta agar mereka bisa pergi di hari Minggu saja. Dan Cinta pun tidak keberatan. Meski ia sempat memikirkan perkataan Herman, kapster di salon tempatnya merawat diri kemarin siang.
Cinta belajar untuk tidak mempermasalahkan hal-hal kecil, seperti dulu ia sempat mempermasalahkan hal kecil saat bersama Rangga. Satu hal yang kemudian disesalinya bertahun-tahun.
Daripada membuang kesempatan, kali ini Cinta memutuskan untuk memberi dirinya sendiri kesempatan. Saat ada pria datang ke hidupnya, ia tidak membuangnya lagi. Meskipun ada kisah masa lalu yang kelam antara dirinya, Rangga dan Borne, tapi ia yakin, Tuhan punya rencana mempertemukannya kembali dengan Borne. Dan dengan konyol, tanpa kerumitan ala ABG atau anak alay, mereka pun “jadian”. Walau terus-terang aneh bagi dirinya yang sebenarnya romantis, tapi ia merasa itu pilihan terbaiknya saat ini.
Cinta sudah siap berdandan rapi sekitar jam sembilan lebih. Membuat ibunya heran melihatnya.
“Lho, mau kemana ini anak mama? Kok pagi-pagi sudah rapi jali?”
Cinta tersenyum. Memang jarang ia sudah rapi di pagi hari Minggu. Biasanya, ia malah bangun siang karena kelelahan bekerja selama sepekan. Kalau pun akan pergi, baik sendiri maupun bersama teman-temannya, biasanya setelah makan siang. Tapi ini ia malah belum sarapan sudah berdandan rapi.
“Anu Ma… nanti ada temen yang mau dateng. Mama ketemu ya… Papa juga…,” ujar Cinta.
Papanya yang sedang membaca koran di depan televisi berkata tanpa menoleh, “Eh, sebentar, sepertinya ada yang bilang mau dijemput cowok keren ya?”
“Ih, Papa… Siapa yang bilang gitu?” tanya Cinta dengan nada ngeles.
“Lho, tadi? Ada yang mau dikenalin sama Papa gitu?” goda papanya.
“Papa… bukan dikenalin, kita mau diajak pergi katanya…,” mama Cinta malah ikut menggoda.
“Ih…. Apaan sih Mama sama Papa ini… Ganjen banget… Udah ah, Cinta mau sarapan dulu,” elak Cinta. Ia pun duduk di meja makan dan menyantap setangkup roti yang disiapkan ibunya. Ia juga menyambar susu yang telah tersedia dan meneguknya seperempat gelas. Ibunya lantas duduk di meja makan, berhadapan dengan putri tunggalnya itu.
“Anak mana Cinta? Namanya siapa? Mau dateng jam berapa dia?” tanya ibunya beruntun.
Cinta menelan kunyahan rotinya, lalu tertawa, “Mama…. Itu nanya apa mborong? Banyak amat sih?”
Ibunya tertawa. Ia tahu kalau pertanyaannya tadi beruntun. Hal itu karena terdorong rasa ingin tahu.
“Yaa… maaf… Namanya juga orangtua, pengen tahu kan boleh?”
“Boleh… boleh… siapa bilang nggak boleh….?” Jawab Cinta sambil asyik makan.
“Jadi, siapa namanya?” tanpa diduganya ayahnya pun bangkit dari sofa dan menuju ke meja makan. Jarak yang dekat membuat suara ayahnya yang keras terdengar jelas.
Cinta memandangi ibu dan ayahnya bergantian. “Borne. Namanya Borne.”
“Borneo? Kalimantan?” tanya ayahnya yang sudah berada di depan meja makan. Ia pun ikut menarik kursi di kepala meja dan duduk di sana.
“Nggak pake O Papa.. Borne, bukan Borneo…,” jawab Cinta.
“Oooo, nggak pake O? Terus, orang Kalimantan?” ayah Cinta masih saja penasaran.
“Wah, kalo soal itu, aku juga nggak tahu…,” jawab Cinta.
“Gimana sih anak Papa ini, mau diajak temennya pergi malah nggak tahu orang mana. Ntar kalau diculik terus dijual gimana?” tanya Papanya.
“Idihhh… Papa ini…, nggak segitunya kali! Dia ini dulu teman SMA-ku Pa. Jadi udah kenal lama…,” jelas Cinta. “Jelas orang baik-baik kok. Dia itu insinyur Pa. Malah Master. Kerjanya aja di perusahaan Amerika….”
“Wah, ya itu. Kamu nanti dijual ke Amerika…,” canda ayahnya. Ibu Cinta serta-merta mencubit lengan suaminya.
“Papa ini lho, kok dikit-dikit ngomong diculik, dijual…,” sergah sang ibu.
“Iya… habis kan kemarin Cinta ngasih video itu lho… yang ada anak diculik terus dijual… Serem kan?” ujar ayah Cinta.
“Yang mana? Gone? Taken?” tanya Cinta menyebutkan sejumlah judul film yang memang dibelinya dan dibawa pulang ke rumah. Ternyata ayahnya menyetel cakram video itu saat dirinya sedang bekerja. Karena sudah pensiun, maka ia memiliki banyak waktu luang. Cinta tidak mengira ayahnya terpengaruh pada cerita di dalam film.
“Yah… pokoknya itulah…, kamu ati-ati lho…,” ujar ayahnya mewanti-wanti.
“Ya ampun Papa… Itu kan film. Masa’ di sini ada begitu…?” Cinta heran. Ia mengunyah rotinya sambil memperhatikan papanya bicara.
“Lho… yang kemarin itu kan ada berita…. Yang di Malaysia itu… Katanya mau dijanjiin kerja… gak taunya…,” ayah Cinta masih tak mau kalah.
“Adduuuuh…. Emangnya Cinta TKW apa? Ini kan cuma pergi di sekitaran Jakarta aja, nggak pake ke Malaysia segala…. Heran deh Papa ini…,” Cinta tergelak menyaksikan ayahnya yang menghubungkan film dengan berita, lantas mengarang cerita sendiri sebagai dasar kekuatirannya.
“Tenang aja Pa… Anak kita kan udah gede… Bukan SMA lagi… Bukan kuliahan lagi… Udah kerja dia… Udah biasa…,” ibunda Cinta ikut menenangkan.
“Iya dong. Aneh deh. Katanya anaknya suruh cari suami, kok ini ada yang dateng malah dicurigain?”
“Oh, jadi ini calon suamimu?” tanya papanya.
“Oooppss…,” Cinta merasa salah bicara.
“Ya belum kali Pa. Masih penjajakan,” elak Cinta.
“Penjajakan apa? Kelamaan… Dulu tuh ya, Papamu sama Mamamu…,” ayah Cinta mulai bercerita, tetapi Cinta menyela.
“Papa… dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Udah beda jaman kali…, plis deh…,” selanya.
Ibu Cinta sekali lagi mencubit suaminya. “Ya biar toh, anaknya ada yang seneng kan bagus tho?”
“Waduh, Ibu. Banyak Bu kalau sekedar yang seneng sama aku sih… akunya yang nggak mau…,” jelas Cinta. Agak jengkel juga ia seolah dituduh “nggak laku”.
“Lha ya itu… kamunya terlalu pilih-pilih sih…,” lagi-lagi ayah Cinta mendapatkan bahan untuk ‘menyerang’ putrinya.
“Lho, harus dong! Kan aku putri tunggal Papa-Mama, kalau salah pilih terus dapetnya kayak Vicky-nya Zaskia Gotik, gimana?” Cinta membela diri.
“Vicky… siapa itu?” ayah Cinta bingung. Ia rupanya tidak mengikuti infotainment. Terpaksalah ibunya Cinta menerangkan. Kesempatan itu dipakai Cinta untuk menghabiskan rotinya, menenggak tandas susunya, lantas membawa piring dan gelas kosong itu ke dapur. Kabur.
“Eh, eh…. Mau ke mana?” ayah Cinta menyadari putrinya yang pergi diam-diam.
“Dapuuurr…. Nyuci piring!” jawab Cinta sekenanya. Jawabannya memang betul. Tetapi ia sendiri tidak ingin melanjutkan percakapan aneh itu dengan ayahnya. Ia hendak bersiap-siap menyambut Borne.
(Bersambung besok)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu
Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:
Ada AsaDalamCinta (Sinopsis&TautanKisahLengkap)
———————————————————————
Foto: AntonoPurnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)
Grafis: Bhayu MH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H