(Bagian 55)
Rangga tiba di gedung kompleks apartemen tempat tinggal Jeanette menjelang jam lima sore. Ia memencet bel intercom dan terdengar suara Jeanette dari seberang. Setelah Rangga menyebutkan bahwa dirinya telah datang, pintu pun terbuka secara elektrik. Memang hanya penghuni yang bisa membuka pintu apartemen yang tergolong mewah itu. Baik dengan kartu magnetic maupun dengan tombol yang ditekan dari dalam ruangan apartemen. Untuk yang kedua, biasanya dilakukan untuk membukakan pintu bagi tamu.
Tadinya, Rangga mengira Jeanette akan turun ke bawah seperti pekan lalu. Tetapi kali ini berbeda. Ia malah diminta naik ke atas, ke kamar apartemen wanita itu.
Ragu-ragu, Rangga pun masuk ke dalam gedung. Interiornya di lobby-nya memang seperti hotel berbintang lima. Karpet tebal berpola aristocrat tampak senada dengan wallpapernya. Lampu-lampu hiasnya pun bergaya Victorian yang elegan. Rangga terkagum-kagum melihatnya. Apalagi ia melihat ada sejumlah lukisan berukuran besar yang turut dipajang. Sayangnya, ia tak bisa berlama-lama menikmatinya, apalagi mendekat untuk mengetahui siapa pelukisnya.
Bukan apa-apa, ia akan terlihat ‘norak’ kalau begitu. Ada petugas keamanan yang sekaligus bertugas sebagai resepsionis tepat di depan pintu masuk. Rangga pun menuju ke sana dan menerangkan tujuannya. Sekali lagi, petugas itu mengecek kepada pemilik apartemen apakah benar ada tamu bernama Rangga. Setelah Jeanette membenarkan, petugas itu membantu Rangga menuju lift. Di sana, dengan kartu khusus miliknya, petugas tadi memencet nomor lift langsung ke kamar Jeanette.
“Hello… I’ve been waiting for you…,” ujar Jeanette dengan ramah begitu pintu lift terbuka. Rangga terkejut, ternyata lift itu langsung terbuka di kamar Jeanette. Bukan di lantai dengan banyak kamar seperti hotel. Karena apartemen yang ditinggali Jeanette tergolong mewah, maka tiap penghuni memang punya akses lift tersendiri.
“Hi! I’m surprised you invited me to come…,” sapa Rangga balik.
“Well, because you are special for me…,” Jeanette mendekati Rangga, melingkarkan tangannya di leher pemuda itu. Rangga jengah, tapi tentu ia tidak bisa menolak karena ia kini berada di “ranah kekuasaan” Jeanette. Agar suasana tidak makin rikuh, Rangga pun mengajak pergi.
“So, are you ready to go?”
“Why so hurry? Don’t you want to enjoy my room for a while? Drink maybe?”
Rangga berpikir sejenak dan mengiyakan, “Okay, but only one shot.”
“Deal. What kind of drink do you want?”
“Do you have any soda?”
“Soda? Are you a kid? Oh, c’mon…”
“No… I just don’t want to start party so early,” elak Rangga.
“Party huh? What kind of party do you think?”
“You choose. Because you are the boss…”
“Well, I have no soda here. But I think you don’t mind if give you some scotch?” tawar Jeanette.
Rangga tak bisa menolak lagi, ia pun mengedikkan bahu sebagai tanda persetujuan. Ketika Jeanette menuju ke mini-bar untuk mengambilkan minuman, Rangga mengamati kamar apartemen Jeanette. Jelas sekali kamar ini bukan sekedar berukuran studio, luasnya malah mungkin setengah lantai sendiri. Ada ruang tamu tempatnya duduk saat ini dan ia melihat ada balkon di luar. Di antara ruang tamu dan ruangan berikutnya ada sekat dari kayu berukir. Rangga tentu tidak bisa menuju ke sana tanpa seizin si empunya rumah. Tetapi ia bisa menduga di balik sekat itulah kamar tidur Jeanette dan tentunya kamar mandi. Entah ruangan apa lagi yang mungkin ada di apartemen seluas ini. Karena berada di lingkungan kelas atas, pastilah harganya mahal.
Rangga masih memperhatikan patung modern dari bahan besi tempa yang bentuknya unik. Ia masih menerka-nerka apa sebenarnya yang dimaui si pematung dari penampakannya. Saat itulah Jeanette tiba, ia membawa dua sloki minuman di tangannya.
“Do you like it?” tanyanya seraya mengangsurkan satu sloki kepada Rangga.
“Yeah… actually, I don’t really know about sculpture…,” aku Rangga.
“Well, that’s Richard Serra’s … but I think we could talk about it later…,” jelas Jeanette. Ia lalu duduk di sisi Rangga, menyesap minumannya dengan anggun. Malam itu, Jeanette mengenakan pakaian casual, namun lebih chic daripada yang dipakainya sehari-hari di kantor. Senada dengan Rangga yang bahkan tidak ganti sejak tadi pagi usai jogging. Karena itu, Rangga masih membawa tas kecil yang rupanya juga disadari oleh Jeanette.
“Hey, what do you bring inside that bag?” tanya Jeanette.
“This? Ouch, I was jogging at the morning… this is my sport wear…,” jawab Rangga.
“So, you haven’t come home yet from jogging at the morning? How could it be?” Jeanette heran.
“Well, I think it will be wasting time if I went downtown whenever I was at mid-town already…,” jawab Rangga. Jeanette sebenarnya masih heran, karena jelas ada waktu kosong antara lari pagi dan sore ini. Tetapi tentu bukan urusannya untuk bertanya ke mana Rangga sesiangan ini.
Beberapa menit kemudian, Jeanette mengajak Rangga untuk pergi. Meski minuman belum habis, tetapi rasanya suasana sudah tidak nyaman. Maka, daripada bad mood, ia memilih menyelamatkan situasi.
Karena Jeanette tidak mau memilih restoran, Rangga mengajak Jeanette ke sebuah restoran yang menyajikan masakan Thailand di Bleecker Street. Cukup jauh dari area Chelsea sehingga membuat mereka harus naik taxi ke sana. Jeanette menolak naik metro atau subway karena ingin berdua saja dengan Rangga.
Sepanjang perjalanan, tak ada hentinya Jeanette menunjukkan kemesraannya. Ia menggayut di lengan Rangga dan merebahkan kepalanya di bahunya. Meski jengah, tetapi Rangga tak mau menolak. Perlahan, ia sendiri ikut menikmati treatment Jeanette itu.
Di dalam restoran yang penataannya nyaman, Rangga pun merasa senang saat banyak mata memandang ke arah mereka. Tak bisa dipungkiri, kecantikan Jeanette adalah magnet. Tak ada lelaki yang tak suka memandanginya. Di samping wajah, tentu tubuhnya yang tinggi semampai begitu mudah menarik perhatian. Apalagi, meski berpakaian santai, terlihat kalau semua yang membalut tubuhnya bukan dari kualitas sembarangan. Semuanya bermerek ternama.
Meski tidak melakukan reservasi lebih dulu, keduanya beruntung restoran belum terlalu penuh. Saat mereka datang sebelum jam enam sore memang belum jam makan malan. Kalau saja mereka datang terlambat satu jam saja, bisa dipastikan akan sulit mendapatkan tempat di sana.
Jeanette meminta dipilihkan menu oleh Rangga. Agak bingung, Rangga menanyakan preferensi atau pantangan Jeanette. Rangga mempertimbangkan lidah Jeanette yang orang Eropa tentu berbeda dengan Carla yang asal Amerika Latin. Orang Eropa agak sulit menerima masakan dengan rempah terlalu banyak atau makanan dari bagian organ dalam sapi alias jeroan.
Akhirnya Rangga memesan Gang Som Pak Ruam untuk Jeanette dan Tom Yum Gung untuk dirinya. Karena keduanya berjenis sup, sebagai tambahan Rangga juga memesan sayuran yang disajikan dalam masakan Gang Jued.
Untuk minumannya ia memesankan Jeanettea Nam Manao, serupa dengan es jeruk nipis kalau di Indonesia. Sementara dirinya sendiri memesan Cha Yen atau es teh susu khas Thailand. Kedua minuman ini mudah ditemui di restoran Thailand mana saja di seluruh penjuru dunia.
Sambil menunggu pesanan makanan datang, Jeanette membuka percakapan tentang Thailand.
“So, this country, Thailand, near your country, right?”
Rangga tersenyum, “Smart lady. Yes. Thailand lies northern from my country…”
“So, I think your country is bigger than Thailand, why is so hard to find Indonesian restaurant here in New York?” tanya Jeanette langsung.
Rangga bingung menjawabnya, karena itu sebenarnya bukan ranah pekerjaannya melainkan tanggung jawab pemerintah. Walau kalau dipikir, ucapan Jeanette itu ada benarnya karena masakan Thailand sudah mendunia, sementara Indonesia sulit ditemui restorannya di mancanegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H