Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 54

19 Januari 2015   02:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:51 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 53)

(Bagian 54)

Ketika Alya kembali ke ruang tamu dengan membawa minuman, ia melihat Basuki dan Bimo seperti sudah berkawan lama. Mereka malah tertawa-tawa tanpa sekat. Sementara Denisa sesekali ikut menimpali perbincangan mereka.

“Eh, diapain tuh Masku?” tanya Alya pura-pura galak.

Ketiga orang di ruang tamu serentak menoleh ke arah sumber suara. Mereka hanya tertawa, memberi kesempatan kepada Alya untuk meletakkanminuman dan penganan ke meja. Ibu Alya mengikuti dari belakang dan duduk. Sementara Alya kembali lagi ke ruang makan untuk meletakkan baki.

Beberapa saat kemudian, Alya sudah kembali ke ruang tamu. Ia melihat ibundanya malah sibuk ber-“ooo” mendengarkan Basuki dan Bimo cerita bergantian.

“Eh, kalian kok jadi akrab sih? Jadi curiga…,” komentar Alya begitu duduk.

“Lya, Mas Basuki ini ternyata kakak kelasku di SMA. Dia dulu Ketua OSIS. Pantesan kok kayaknya mukanya familiar gitu…,” jelas Bimo.

“Kakak kelas? Tuaan Mas Basuki daripada Mas Bimo?” tanya Alya.

“Ya iya lah… dua tahun tuaan dia… Makanya kamu cepet-cepet kandangin nih orang baik…,” komentar Bimo lagi.

“Kandangin… emang kucing?” Alya malah menanggapi soal itu.

“Maksudnya, kamu harus serius sama Mas Basuki…,” ibunda Alya menengahi.

“Lho, jangan Alya dong yang dipaksa-paksa… dianya tuh yang ditanya, maunya gimana?” elak Alya seraya melemparkan ‘bola panas’ kepada Basuki.

“Iya Mas Bas, kasihan nih adikku, dari dulu gak laku-laku…,” komentar Denisa.

“Eh, enak aja. Sembarangan ngomong! Gue tuh laku bingits tauuuk. Guenya aja yang gak mau!” kilah Alya.

“Iya Mas Bas… Adikku ini emang pilih-pilih banget… Aku aja sampe gak berani ngejodohin, takut ditolak mentah-mentah. Makanya surprise banget nih malem ini akhirnya ada juga cowok cakep yang dibawa ke rumah sama dia…,” Bimo menimpali.

Mendengar pembicaraan yang semua fokusnya tentang hubungan antara dirinya dan Alya, Basuki sedari tadi hanya tersenyum. Ia tidak berkata sepatah kata pun, memperhatikan keakraban keluarga itu. Tadi, Alya sempat menceritakan sepintas tentang mereka. Bahwasanya dirinya sebenarnya putri tunggal dan anak yatim. Tetapi ibunya kemudian menikah lagi dan memiliki dua orang kakak tiri lelaki yang baik hati. Istri-istri mereka juga sama baiknya. Tetapi ia tidak mengira kalau salah satu kakak tiri Alya adalah adik kelasnya. Lucu juga kalau ia jadi melanjutkan hubungan dengan Alya, karena usianya malah lebih tua daripada kakak tirinya itu, Bimo.

Perbincangan basa-basi penuh kekeluargaan itu terus berlanjut hingga setengah jam kemudian. Diselingi canda-tawa di sana-sini. Akhirnya, Basuki berpamitan pulang selewat jam sepuluh malam. Kepergiannya dilepas dengan harapan oleh semua yang tertinggal di rumah itu.

[New York city]

Sepulang makan siang, Rangga mengantarkan Carla pulang. Rumahnya terletak sekitar empat blok dari kedai miliknya. Meski bulan Desember, tetapi salju yang turun tidak terlalu deras semalam. Secara keseluruhan, cuaca pagj hingga sore cukup cerah. Memadai bagi yang ingin keluar rumah. Walau tentu harus memakai pakaian tebal berlapis karena suhu udara yang dinign.

Sepanjang makan siang hingga pulang, keduanya terlibat perbincangan seru yang asyik. Pembahasannya beraneka topik. Tetapi terutama menggali mengenai diri mereka sendiri. Pengalaman masa lalu mulai masa kecil hingga selama di New York. Carla sendiri yang lahir dan besar di kota itu memberikan gambaran lebih jelas kepada Rangga mengenai kota yang mereka tinggali.

Rangga merasa bersalah sebenarnya saat terpaksa harus mengantar Carla pulang ke rumah saat hari masih sore. Dan sore itu indah untuk sekedar menikmati suasana New York. Ia membuat alasan harus merampungkan artikel tentang pameran foto yang dihadirinya pekan lalu. Sebenarnya, ia tidak bohong seratus persen. Karena memang topik itu yang akan dibahasnya nanti bersama Jeanette. Fakta yang disembunyikannya dari Carla adalah, ia akan menyelesaikan pekerjaan itu bersama seorang wanita lain.

Tetapi Carla juga tahu posisinya. Ia tidak memaksa Rangga terus menemaninya. Siang ini saja sudah membuka lembaran baru dalam hidupnya. Gadis Latin itu merasa hidupnya lebih hidup sejak bertemu Rangga. Tetapi ia tahu, ia punya ‘saingan berat’, gadis Prancis yang dilihatnya datang di rumah sakit. Gadis yang bukan sekedar teman Rangga tapi malah teman kuliah Adrien. Carla malah sempat merasa ia justru ‘outsider’ dari mereka bertiga. Karena Jeanette adalah teman kantor Rangga dan teman kuliah Adrien. Sementara dirinya, cuma ‘tukang warung’ belaka. Walau Adrien menganggap Carla adalah sahabatnya. Tetapi ikatan itu terasa kurang kuat baginya.

Carla tinggal bersama adiknya semata wayang. Masih kuliah dan agak enggan membantu di kedai. Maklum, ia merasa masa depannya cerah dengan berkuliah di Columbia University. Carla sempat sepintas menceritakan mengenainya. Dan terkesan Carla agak kecewa kepada adiknya. Karena biaya kuliah adiknya didapat dari penghasilan kedai warisan orangtuanya, tetap sang adik malah jarang mau datang ke kedai untuk membantu. Karena masih di kesempatan pertama, Rangga tidak memberikan saran sama sekali. Ia hanya menjadi ‘pendengar yang baik’ saja.

Sebagai ‘penebus dosa’, Rangga berjanji akan menemui Carla kembali keesokan harinya. Hari Minggu. Carla berjanji akan mengajak Rangga keliling New York. Meski jarang pergi, tentu saja sebagai “New Yorker” sejati, Carla lebih tahu sudut-sudut kota itu daripada Rangga. Saat berpamitan, Rangga mencium sepintas punggung tangan Carla, membuat gadis itu merasa senang.

Dalam perjalanan kembali ke kawasan Manhattan, Rangga terpikir pada situasi yang dihadapinya kini. Di New York, mendadak ia menjadi dekat dengan dua orang wanita sekaligus. Malah, selama bersama Carla tadi, tak terlintas sedikit pun pikirannya pada satu orang wanita lain lagi nun jauh di Jakarta: Cinta.

Barulah di metro Rangga teringat pada teman SMA-nya itu. Pasti sudah hari Minggu pagi di Jakarta. Tetapi pertanyaannya, bagaimana semalam di malam Minggu? Cinta sama sekali tidak menghubunginya, demikian pula sebaliknya. Tidakkah itu sedikit mencurigakan?

Setengah jam kemudian, sampailah Rangga di Manhattan. Ia berjanji menjemput Carla sebelum jam lima, dan saat itu masih jam empat kurang sedikit. Rangga memutuskan untuk mampir dulu ke sebuah kedai kopi terkemuka di sana. Agak mahal, tapi justru karena itu ia memilihnya. Karena kemungkinan bertemu teman kantornya sedikit. Tetapi ternyata ia salah.

“Hello Rangga. It’s a surprise meet you here,” sapa seorang wanita berpakaian overcoat tebal. Rangga menoleh, tenyata Emily atasannya.

“Hi, wow. I’m surprised too meet you here,” balas Rangga.

“May I?” tanya Emily, meminta izin duduk. Rangga tidak menjawab, tetapi gesture tangannya mempersilahkan.

“Well, are you alone?” tanya Emily begitu sudah duduk.

“Yeah…. For now…,” jawab Rangga menggantung. “And you? Where is your family?”

“They are around here, we will meet again in fifteen,” jawab Emily santai.

“Do you want something? I’ll order for you…,” Rangga menawari Emily.

“Well, I already ordered for take away. You know for, Jim also…,” Emily menolak karena sudah memesan untuk dibawa pulang.

“Oh, I see…,” Rangga mengangguk.

“Well, how’s your date then?” tanya Emily sambil mengerling.

“Date? What date?” Rangga pura-pura bingung, walau ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan atasannya itu.

“Yeah…., you know. After last Saturday, I heard that’s went well, make her sent a bucket of flower to your desk, right?” goda Emily. Berita dikirimnya sebuket besar bunga ke meja Rangga oleh Jeanette rupanya menyebar ke seantero kantor. Memang bukan tindakan lazim seorang wanita menggoda pria lebih dulu, bahkan di budaya dan kebiasaan barat sekali pun.

“Ah, yeah… you know… I will meet her after this…,” aku Rangga akhirnya.

“Wow, great!” Emily tampak gembira. “So, the story continued eh?”

“Actually, we want to discuss about your task,” kilah Rangga.

“Task? What task?” Emily malah balik bertanya.

“Well… about exhibition at MoMa?” Rangga mengingatkan.

“Oh… yeah…. You know, you are not good enough for liar… hahaha…,” goda Emily.

“Me? Liar?” Rangga menunjukkan gesture tidak terima dibilang pembohong.

“Yeah… you can discuss about work matter at the office anytime. But not at Saturday night, right?” pancing Emily sambil mengedipkan mata.

“Not right!” protes Rangga. “I just…”

“What?”

“Ummmm… give respect to her…,” Rangga memilih kata yang aneh.

“Respect? For what?”

“Yeah… you know, it’s impolite for gentleman to refuse an invitation from lady like her…,” jawab Rangga.

“Lady huh? So, you see her as a lady now? Not only as co-worker?”

Rangga terjebak kalimatnya sendiri. Dalam kebingungan memilih kata, akhirnya Rangga mencoba memberi pembenaran, “Yeah… you should regarding any woman as a lady….”

“Especially her, right? A beautiful dame like her is a lady indeed,” komentar Emily. “And do you know her family is rich back there in France? She even doesn’t need to work if she want. So, I’m glad when she came to our office and working hard like a dog…”

“That’s a harsh statement for a lady, you know?” Rangga memicingkan mata tak setuju.

“I’m sorry. I just want to give her compliment. That’s Beatles’ song, you know… not an insult,” jelas Emily.

“Yeah, I know that song. But she is not a dog…,” Rangga masih membela Jeanette.

“See… her man defend his lady… hahaha…,” Emily menggoda.

“Ah, crap! You trap me inside…,” Rangga akhirnya sadar bahwa Emily seperti menguji dirinya.

“So, where will you going tonight?” Emily mengalihkan pembicaraan, tetapi tetap dengan topik yang sama.

“Dunno. I think I will let her to choose. She know New York better than me...,” ujar Rangga.

“I see… but may I give you a suggestion?” tawar Emily menawarkan saran.

Rangga tahu Emily yang kelas sosialnya lebih tinggi dan memang atasannya itu lebih tahu soal hal seperti ini. Maka ia mempersilahkan, “Please, with pleasure…”

Emily lantas membuka tas tangannya yang bermerek. Ia mengeluarkan notes kecil dari dalamnya beserta ballpoint mungil yang juga bermerek terkemuka. Dengannya ia menuliskan nama, alamat dan nomor telepon sebuah restoran yang terbilang bagus. Setelah selesai, ia merobeknya dan menyerahkannya pada Rangga.

“Here it is… that’s a classy comfortable place for young couple like you two…,” ujarnya.

Rangga menerima alamat itu. Sebuah restoran di pusat kota yang ia tahu sering dikunjungi para selebriti dan figur publik. Rangga tidak tahu apakah ia mampu membayar di tempat itu. Tetapi toh ia memilih menyimpan pertanyaan itu di dalam hati dan berterima kasih pada Emily atas rekomendasinya.

(Bersambung besok)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada AsaDalamCinta (Sinopsis&TautanKisahLengkap)

———————————————————————

Foto: AntonoPurnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun