Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 53

18 Januari 2015   02:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 52)

(Bagian 53)

Alya merasakan sensasi rasa di hati yang belum pernah dia rasakan bertahun-tahun. Kelembutan Basuki dalam memperlakukan wanita bak seorang putri, tutur katanya yang terpilih dan berwawasan, pandangan matanya yang menentramkan, semua telah membuatnya bak mabuk-kepayang.

Jatuh cinta memang berjuta rasanya. Seperti seringkali diutarakan dalam sastra dan karya seni lainnya. Termasuk pula dalam lagu, film bahkan lukisan dan patung.

Konon, hal ini karena Tuhan sendiri menciptakan alam semestatermasuk manusia sebagai citra dari cinta-Nya. Kasih Tuhan yang kerap dipuja sebagai Sang Maha Pencintamembuat rasa ini menjadi begitu signifikan bagi manusia.

Alya teringat pada puisi berjudul “Aku Ingin” karya Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, sastrawan terkemuka Indonesia yang sempat menjadi Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..

Sungguh, Alya cuma ingin mencintai seorang lelaki dengan sederhana. Bukan karena kekayaannya, bukan karena kehebatannya, tapi karena kemauan untuk maju. Dan entah kenapa, ia merasakannya ada dalam diri Basuki.

Pria yang sebenarnya sudah melebihi ‘batas usia normal’ untuk menikah itu tampak begitu matang. Sebenarnya, menurut pandangan masyarakat kita yang gemar menghakimi, usia Alya pun sudah ‘lewat’ dari kelaziman usia menikah. Menurut anjuran pemerintah, bagi wanita seyogyanya di usia 20-22 tahun, sementara untuk prianya 24-26 tahun. Seringkali, cap tidak adil “perawan tua” dan “bujang lapuk” melekat pada mereka yang dianggap “nggak laku”.

Tetapi siapa yang berani melekatkan stigma itu pada Basuki dan Alya?

Lihat saja sosok Basuki.

Basuki adalah pria tegap dan gagah dengan wajah tampan. Ia pun sukses secara karir dan finansial. Menggapai posisi puncak di pekerjaan dengan kerja keras memberi ganjaran status sosial-ekonomi tinggi. Pendidikannya pun tinggi dan lingkup-pergaulannya juga tidak main-main. Ia juga bukan sosok pria “nerd” atau “freak” yang dengan sekali lihat bisa tampak dari penampilannya.

Sementara Alya pun demikian.

Ia adalah gadis berwajah rupawan dengan kulit menawan. Keanggunannya terpancar jelas dari setiap ia bertutur dan bertindak. Tingkah-laku dan bicaranya tertata rapi dan halus terstruktur. Wawasannya pun luas dan minatnya pun tak terbatas. Ia mau belajar dari kehidupan seperti kehidupan itu sendiri selalu dengan senang hati mengajarinya. Ia senang membaca, tetapi tak lantas lupa dunia. Justru membaca membuatnya tahu dunia lebih luas daripada dunianya sehari-hari.

Bagusnya, baik keluarga Basuki maupun Alya sama sekali tidak mempermasalahkan status lajang mereka. Mereka bukanlah “parasit lajang” seperti judul buku yang pernah ditulis oleh Ayu Utami. Malah, mereka sudah berkontribusi besar bagi keluarga masing-masing di usia yang masih belia.

Alya merenung di dalam kamarnya di tengah malam, usai diantarkan Basuki pulang dari “first date” mereka. Kencan pertama itu berjalan sukses dan mulus.

Setelah pergi dari rumah dengan izin ibu kandungnya, mereka menuju ke sebuah restoran yang terkategori mewah di area Ancol. Restoran itu begitu romantis karena menghadap ke pantai. Alya beberapa kali pergi ke tempat wisata itu tetapi sama sekali belum pernah ke sana. Selain memang tidak tahu ada restoran seperti itu, harga sajiannya pun mahal. Melihat menu-nya, Alya sempat terkesiap dan merasa tidak enak, tetapi Basuki menenangkannya dan membuatnya nyaman.

Sepanjang malam itu mereka lalui dengan penuh nuansa romantis. Kebersamaan mereka memastikan akan ada episode selanjutnya dalam drama percintaan kedua insan itu.

Dan jelas, Basuki telah mampu mengambil hati ibunya yang orang Jawa itu dengan menggunakan bahasa Jawa kromo inggil justru di pertemuan pertama mereka. Meski ia kini punya ayah tiri, tetapi jelas, “hak prerogatif” atas dirinya ada pada diri ibunya. Dan Pak Pangestu suami ibunya pun tahu itu. Kalau hati ibunya sudah terambil, maka tak ada alasan dari ayah tirinya untuk menghalangi.

Ketika ia diantarkan pulang, ibunya memang menunggu, tapi bukan seperti menunggu anak nakal yang pulang malam. Karena ibunya tahu, putrinya sudah dewasa dan mampu menjaga diri. Bukan lagi remaja tanggung apalagi anak kecil yang perlu diawasi.

Tetapi yang tak diduganya, ternyata ada kakak tirinya Bimo dan istrinya Denisa datang ke rumah. Awalnya mereka mampir setelah pergi kondangan berdua saja tanpa disertai anak-anak mereka. Menengok ibunya sekaligus membawakan makanan dan minuman bagi istri ayah mereka. Tetapi begitu mendengar kalau Alya sedang kencan, dengan isengnya mereka malah menunggu kepulangan Alya. Bukan ingin memplonco, justru penasaran dan ingin tahu.

Meski berstatus kakak tiri, tetapi rasa sayang Bimo kepada Alya sudah seperti adik sendiri. Apalagi ia sendiri tidak punya adik. Walau ia ingin menjodohkan Alya yang cantik, justru atas ‘wanti-wanti’ ibu tirinya ia tidak berani melakukannya. Karena ibu Alya menceritakan bagaimana dulu Alya sempat ingin bunuh diri karena ayahnya yang kasar dan jahat. Maka, Bimo memilih menjaga adiknya dengan cara lain. Seringkali ia sengaja menjemput sang adik tiri dari kantor atau membawakan buku-buku langka sepulangnya dari berdinas di luar negeri.

Ia dan istrinya bahkan pernah berniat patungan dengan kakak sulungnya Yudhistira dan istri kakaknya Shahnaz untuk membelikan Alya mobil sendiri. Karena ia tahu gaji seorang sekertaris tidaklah besar dan Alya sendiri tidak terlalu ambisius dalam soal karir. Tetapi, Alya menolaknya. Ia lebih suka naik angkutan umum saja. Kesederhanaan dan ketangguhan Alya itulah yang justru membuat kakak tirinya bertekad menjaganya. Termasuk dalam memilih pasangan hidup yang sesuai.

Tetapi mereka yakin, Alya bukan gadis bodoh dan ceroboh. Kalau seorang lelaki sudah diizinkan memasuki hatinya, itu pasti sudah pilihan terbaik menurutnya. Karena kakak iparnya tahu, banyak lelaki yang berupaya mendekati Alya, tetapi selalu ditolaknya. Dan inilah lelaki pertama dalam sepuluh tahun yang diizinkan Alya untuk menjemput dirinya di rumah.

Bagaimana tidak bikin penasaran?

Maka, saat Basuki memasuki pelataran bersama Alya, ibunya membukakan pintu teras dan mengajak mereka masuk ke ruang tamu. Begitu duduk, Bimo dan Denisa keluar dari ruang tengah dan ikut duduk di ruang tamu.

“Lho, Mas Bimo sama Mbak Denisa kok ada di sini?” tanya Alya heran.

Bimo tertawa, “Lha, emangnya gak boleh?”

“Ya boleh… tapi tumben aja… Kan biasanya besok?”

“Iya… ini tadi kita abis kondangan deket sini, terus mampir aja nengokin Ibu sama kamu… Eh, gak taunya kamunya malah pergi,” Denisa menambahi ucapan suaminya sambil mengerling ke arah Basuki. Pria itu balas tersenyum santun dan berwibawa.

“Alya, kenalin dong Mas Basuki sama Mas Bimo dan Mbak Denisa…,” tegur ibu Alya.

Alya memandang ke arah ibunya dengan mata bertanya. Lalu pandangannya mengarah kepada Bimo dan Denisa. Ia mengangguk mengerti dan matanya berkerjap.

“Ooooo…. Jadi itu alesannya?”

“Alesan apa?” Bimo pura-pura bingung.

“Iya, dateng ke sini malem-malem abis kondangan… terus nungguin Alya pulang…. Mau dikenalin nih?” tanya Alya menyelidik.

“Eh, emang kenapa gitu? Kita gak boleh kenalan sama calon ipar?” tanya Bimo.

Alya dengan agresif sengaja memeluk Basuki yang wajahnya tampak pias kemerahan karena tersipu.

“Eh, gak boleh. Ntar diambil. Mau diinterogasi apa hayo?” Alya berkata seolah membela.

“Hahaha….,” tawa Bimo, Denisa dan ibunya pecah.

“Aduuuhh… siapa sih yang mau ambil? Masak Mas Bimo mau ngambil Mas… siapa namanya?” tanya Denisa sambil mengulurkan tangan lebih dulu ke arah Basuki.

Pria itu pun menyambut uluran tangan Denisa dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih digayuti oleh Alya.

“Saya Basuki, mbak…..,” jawab Basuki sambil bertanya balik.

“Saya Denisa, istri dari Bimo. Dia ini kakak tirinya Alya, mungkin sudah diceritakan?” Denisa sekaligus memperkenalkan suaminya. Kedua lelaki yang sebenarnya seusia itu berjabatan tangan takzim. Terasa sekali aura Basuki yang terang seperti meredupkan pamor Bimo. Saat bersalaman, walau pun sopan dan takzim, tapi Bimo segera tahu Basuki adalah pria kuat dan berkuasa. Dunia lelaki memang seperti predator yang saling mengintai. Ketika berhadapan dengan lawan sepadan, mereka akan segera tahu karena sudah terendus aromanya.

“Apa kabar Mas Bimo?” tanya Basuki dengan tatapan mata tajam.

“Baik. Alhamdulillah. Lancar tadi jalannya?” Bimo bertanya balik.

“Syukurlah Mas…, dimudahkan ALLAH,” jawab Basuki.

“Ke mana aja tadi?” tanya Denisa.

Tapi sebelum Basuki menjawab, segera ditukas oleh Alya, “Mau taaaauuuuuu aajaaa…. Er-ha-es dong!”

Dengan gemas, Denisa mencubit pipi adik ipar tirinya itu.

“Eh sudah, sudah. Ayo pada duduk dulu, Ibu biar ambilkan minum,” ujar Ibunda Alya menengahi. Ia mempersilahkan semua untuk duduk, karena sedari tadi memang semua berdiri sejak masuk dari teras ke ruang tamu. Setelah Basuki, Bimo, Alya dan Denisa duduk, ia pun beranjak ke dapur.

“Ibu…. Biar Alya bantu nyiapin minum…,” ujar Alya sambil setengah berlari mengejar ibunya. Tetapi di ambang ruang tamu, ia pun berbalik dan berkata ke arah Bimo dan Denisa, “Eh, awas! Masku jangan diapa-apain ya!”

“Mmmm… aku mau cubitin boleh nggak?” goda Denisa.

“Eh, enak aja! Cubitin aja tuh suami lu yang chubby!” Alya berkata sengit.

Ketiganya pun tertawa melihat tingkah Alya. Ibunya yang sudah melangkah menjauh pun masih mendengar senda-gurau itu dan berbalik memanggil putri tunggal kesayangannya, “Ayo sayang, katanya mau bantu Ibu…”

“Baik Bu… I’m coming…,” ujar Alya, berbalik dan menyusul ibunya. Mereka pun berjalan bergandengan menuju dapur. Alya menggelayut manja di lengan ibunya bak anak usia lima tahun saja. Ibunya yang memang sudah maklum dengan tabiatnya pun mengelus lembut kepala putrinya yang bersandar di bahunya. Sambil berjalan berdua menuju dapur, mereka bak induk beruang dananaknya yang saling melindungi dan menyayangi satu sama lain.

(Bersambung besok)

----------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun