Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 49

13 Januari 2015   00:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 48)

(Bagian 49)

[Hall basket Gelora Bung Karno, Senayan-Jakarta]

Tak terasa, waktu cepat sekali berlalu. Sekarang sudah hari Sabtu sore.

Pasca menyatakan “jadian” dengan Borne, Cinta dengan cantik memainkan perannya. Ia meminta Borne untuk tidak mengumbar status mereka. Sementara ia sendiri mencoba memperbaiki hubungan dengan Carmen. Justru kepada Carmen, Cinta mengatakan tidak ada apa-apa antara dirinya dan Borne. Dan Borne pun berusaha bersikap normal kepada Carmen. Ia menjelaskan siapa sebenarnya Caroline dan tabiat buruknya. Dengan bantuan Cinta, Carmen lebih percaya kepada Borne daripada Caroline. Maka, sesuai janji mereka sebelumnya, pada hari Sabtu itu Carmen mau menemui Borne dan adiknya, Denisa. Mereka janji bertemu di hall basket Gelora Bung Karno, Senayan-Jakarta.

“Halo Carmen, makasih udah datang. Nih kenalin, ini adik gue yang paling cakep, Denisa namanya….,” Borne memperkenalkan adiknya. Mereka berdua bersalaman.

“Kak, makasih ya udah dateng. Kak Borne udah cerita kalo Kak Carmen hebat…,” puji Denisa.

“Ah, masa? Hebat apanya? Biasa aja kok…,” kilah Carmen.

“Yaaa… kakak merendah aja. Kan katanya pernah masuk tim DKI terus juara PON segala? Pernah masuk timnas juga ya?” tanya Denisa dengan semangat.

“Yaaaah…. Itu sih udah lama. Sekarang kakak kan udah tua…,” Carmen masih merendah.

“Udah tua? Kakak teman SMA Kak Borne kan?” tanya Denisa memastikan.

“Iya. Kenapa emangnya?” Carmen heran dengan pertanyaan itu.

“Yaaa…. Nggak tua dong. Lagian masih jadi pelatih kan? Nih, Kak Borne, tiga tahun lalu masih endut. Aku paksa aja olahraga. Akhirnya dia mau ikutan fitness, baru deh lumayan. Dia nih yang udah kayak Om-om badannya, tua!” ledek Denisa.

Borne mengacak-acak rambut adiknya, “Eh, nih anak. Bisanya buka rahasia kakaknya aja!”

“Tapi sekarang kan udah mau olahraga, lumayan lah… Kalau hari Minggu juga joggin kan?” tanya Carmen retoris, padahal ia sudah tahu jawabannya.

Justru Denisa yang bingung, “Emang iya Kak? Kok aku gak pernah diajak?”

Borne gemas pada adiknya itu, “Yaaa… kamu kalo Minggu kan bangunnya siang? Katanya males bangun pagi? Gimana sih?”

“Eh, iya ya? Tapi kalo diajak apalagi bertiga sama Kak Carmen, aku mau. Besok ya Kak? Oke?” todong Denisa. Carmen tersenyum mendengarnya.

“Ya… itu gampang nanti… Udah, katanya mau nyoba dilatih sama Kak Carmen?” Borne menyuruh adiknya pergi.

“Eh, iya, kita ganti baju dulu yuk…,” ajak Carmen kepada Denisa. Ia merangkul bahu Denisa dan mengajaknya pergi ke kamar ganti. Melihat pemandangan itu, hati Borne goyah lagi. Ia senang melihat Carmen yang begitu perhatian pada adik kandungnya.

*******

[Central Park. New York city]

Rangga berjalan-jalan di Central Park, taman dalam kota terluas di New York, juga salah satu yang terluas di Amerika Serikat. Anda bisa bayangkan, luasnya lebih besar daripada kampus baru Universitas Indonesia di Depok. Bila kampus UI luasnya 624 hektar, Central park 883 hektar! Tak heran, taman pusat itu bisa memiliki beberapa taman lain di dalamnya, juga danau, kolam, teater terbuka, arena seluncur es, bahkan ada kebun binatangnya juga. Keluarga akan sangat puas di sana, karena ada sejumlah tempat wisata yang sebagian besarnya gratis. Terutama sekali anak-anak bisa bebas berlarian di tujuh area padang rumput yang luas dan terawat baik. Sementara bagi yang hobby jogging, ada track khusus yang bisa dipakai berolahraga. Rangga sekarang juga sedang berada di track itu walau belum mulai berlari, ia masih pemanasan karena baru saja datang. Maka, ia masih berjalan, walau perlahan ditingkatkan menjadi jalan cepat, dan dalam setengah jam ia sudah berlari kecil kemudian berlari normal.

Meski bertubuh kurus, tetapi Rangga teratur berolahraga. Hal itu karena ia berlatih beladiri sejak tiba di New York. Karena itu, staminanya cukup terjaga meski ia seringkali harus bekerja hingga larut malam. Memang, oleh teman-teman kantornya, Rangga dikenal cukup tangguh. Ia nyaris tidak pernah izin tidak masuk kantor karena alasan sakit.

Sudah satu jam Rangga berlari mengelilingi taman. Ia merasa latihan kardio itu sudah cukup. Maka, ia memperlambat langkahnya kembali berjalan. Dan akhirnya berhenti di sisi taman yang menghadap ke sebuah department store yang cukup dikenal warga New York karena harganya yang murah. Bila di Indoensia, kelasnya mungkin setara dengan dua department store berinisial M dan R. Rangga mencari bangku taman yang kosong dan mendapati satu di dekat gerobak penjual burrito. Sebagai bentuk rasa penghargaan, walau belum lapar, Rangga memesannya. Untunglah di dekat situ juga ada penjual minuman. Rangga membeli sebotol minuman berenergi bermerek internasional yang juga dijual di Indonesia. Ia menenggaknya sembari menunggu makanan asal Meksiko pesanannya dibuat.

“Hey, I don’t think you like food like that!” sapa suara seorang wanita. Rangga menoleh ke arah suara an mendapati Carla berdiri di sana. “May I sit there?” tanyanya menunjuk posisi di samping Rangga yang memang kosong. Bangku itu sebenarnya muat untuk tiga orang bila berdesakan. Tetapi saat itu cuma diisi Rangga saja. Tentu saja Rangga mempersilahkan.

“I guess you will come not so early,” ujar Rangga.

“Why not? I like new circumstances like this. Yeah, you know… it’s a lot better than my kitchen sink, righ?” seloroh Carla.

“So, you should take one lap or two over there,” ujar Rangga, menyarankan Carla untuk ber-jogging dulu.

Carla menolaknya, “Well, I did. Don’t you look at my sweat here?” Wanita itu menunjukkan tubuhnya yang berlumur peluh. Rangga melihat sekilas, ia memang tidak menyadari hal itu tadi. Peluh itu membuat tubuh padat berisi Carla makin terlihat seksi. Kaos olahraganya melekat di badan, membuat mata lelaki seakan tak ingin melepaskannnya. Tetapi Rangga justru jadi jengah. Ia memang agak sulit berdekatan dengan wanita. Dan itu rupanya dilihat oleh Carla.

“I think I should change my clothes first, do you mind wait here?” pintanya. Rangga mengangguk mengiyakan. Carla pun bangkit dan menuju ke toilet umum terdekat. Rangga memandangi Carla yang menjauh hingga hilang dari pandangan, sampai tak mendengar penjual burrito yang sudah berdiri di hadapannya.

“Guys. Hi! Here is your burrito man!”

“Whoa. I am sorry, how much?”

Penjual burrito itu menunjuk ke gerobaknya dimana di sana tercantum besar-besar harga burrito itu, US$ 3.5. Rangga mengeluarkan selembar lima dollar-an dan memberikannya kepada si penjual seraya berkata, “Keep the change…”

“Thank’s man. By the way, your girlfriend is hottie chick, fellas. Don’t let her go. She’s Latina, right?” komentar si penjual burrito.

Rangga tersenyum. Ia tahu meskipun seperti melecehkan perempuan, tetapi ucapan pria paruh baya itu justru pujian. Ia pun menanggapinya dengan sopan, “Yeah, you have a kind of bull’s eyes.”

“Haha… this old freaky man still have balls, my man. I’m sure you gotta one too…,” komnentarnya lagi. Lalu melanjutkan melayani pembeli lain. Rangga hanya tersenyum. Tentu percuma menjelaskan kepada penjual burrito yang sepertinya imigran asal Meksiko itu siapa sebenarnya Carla.

Ketika burrito-nya sudah habis, Carla datang. Ia memakai setelan casual yang sporty, berbeda dengan saat bertemu pertama kali yang memakai pakaian ala koki. Kakinya dibalut jeans warna hitam dipadu boot kulit setinggi betis. Sementara atasannya memakai kaos turtle-neck putih dilapis cardigan rajut warna krem. Lehernya dilingkari syal woll dan di kepalanya Carla mengenakan topi rajut woll yang di sini lazim disebut “kupluk”. Pakaian yang sebenarnya cukup tipis untuk udara dingin bulan Desember. Masih untung di Manhattan salju turun tidak setebal di area kota lainnya. Sehingga warga masih bisa keluar rumah untuk berolahraga seperti pagi ini.

Rangga pun perlu berganti pakaian, tetapi Carla tidak mau menunggu di situ, sehingga ia ikut ke dekat toilet. Karena pria, Rangga tidak selama Carla. Cuma kurang dari lima menit, ia sudah keluar lagi. Rangga berpakaian lebih tebal daripada Carla karena selain memakai t-shirt, ia juga memakai jaket. Bawahannya ia memakai blue jeans dan sepatu sneakers biasa.

Dengan naik subway disambung metro, mereka berdua pun pergi ke kantor polisi New York Police Department atau biasa disingkat NYPD distrik Brooklyn. Kalau di Indonesia, tingkatannya setara Kepolisian Resort atau Polres. Kantor NYPD Brooklyn ini terletak di 8304th Avenue. Sesampai di sana, mereka diminta menunggu ke lobby sekitar lima belas menitan, sebelum disuruh naik ke lantai tiga menemui detektif yang menangani kasus pengeroyokan terhadap Adrien. Mereka harus dimintai keterangan sebagai saksi.

Suasana kantor polisi itu memang ramai, karena tingkat kejahatan di kota itu cukup tinggi. Polisi hilir-mudik membawa tersangka yang ditangkap setiap beberapa menit. Beberapa dari mereka tampak dalam keadaan teler atau mabuk. Kemungkinan besar karena narkoba yang meski secara resmi dilarang tetapi relatif mudah didapatkan di Brooklyn.

Mereka mencari ruangan yang dimaksud dengan bertanya kepada beberapa petugas yang lewat. Akhirnya mereka mendapatinya, sebuah ruangan terbuka yang penuh meja kerja berantakan oleh berkas-berkas. Sekali lagi mereka bertanya lokasi meja sang detektif dan ditunjukkan ke satu sudut. Keduanya menuju ke sana.

“Good morning detective,” sapa Rangga.

Sang detektif yang sedang membaca koran menoleh, “Hi there. Come on, sit over there…,” ujarnya sambil menarik tempat duduk di meja sebelah. Ia melipat korannya dan menghadapi Rangga serta Carla.

“Sorry, can’t give you more comfort chair…,” ujarnya meminta permakluman.

“It’s okay Detective, how may we help you?” Rangga memaklumi, berusaha langsung ke pokok persoalan.

Sang detektif tersenyum, lalu menawari, “Do you like some coffee?”

Rangga menoleh ke arah Carla, gadis itu menjawab, “Yeah, if you don’t mind?”

“How do you like it comes?” tanya sang detektif lagi memastikan.

“With milk and two spoons of sugar, if any,” ujar Carla.

“And you, Bruce Lee?” tanya sang detektif kepada Rangga. Ia menyebut “Bruce Lee” karena tahu Rangga ternyata ahli bela diri.

“Ah, just black. Decaf if any,” pinta Rangga.

“Okay, I’ll be back in a minute. Just enjoy your view…,” ujar sang detektif bercanda. Tentu saja tak ada pemandangan yang bisa dilihat karena letak meja sang detektif tidak di tepi jendela. Plus, semua di sekeliling mereka cuma meja-meja kerja dengan aneka berkas di atasnya. Masih untung itu hari Sabtu di mana sebagian anggota polisi libur. Kalau tidak, tentu suasananya akan begitu crowded. Rangga dan Carla berpandangan, saling memutar matanya dan tertawa.

*******

(Bersambung besok)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada AsaDalamCinta (Sinopsis&TautanKisahLengkap)

———————————————————————

Foto: AntonoPurnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun