Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 28

22 Desember 2014   02:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:46 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 27)

(Bagian 28)

Di toko buku, Cinta dan Alya juga berpisah karena buku yang dicari berbeda. Cinta menuju ke bagian travelling karena ia hendak mencari buku soal New York, sementara Alya memilih pergi ke bagian psikologi terapan dan pengembangan pribadi.

Sedang asyik melihat-lihat buku dan membaca buku yang tidak disampul plastik, tiba-tiba Alya dikejutkan oleh sapaan seorang pria, “Halo, sori… kalau nggak salah ingat, temannya Cinta kan?”

Mendengar suara sapaan, Alya pun menoleh. Ia melihat sosok yang baru dilihatnya sekali dan tadi dilihat lagi fotonya di smartphone Cinta: Basuki.

“Eh, iya Mas… saya temannya Cinta… Sori, Mas… Basuki kan?”

Basuki tersenyum karena dikenali. “Betul, tapi maaf, saya belum tahu namanya mbak…”

“Alya, nggak usah pakai mbak. Saya seumura sama Cinta kok…,” ujar Alya ramah sambil mengulurkan tangannya. Mereka berdua pun bersalaman.

“Lagi nyari buku apa nih?” tanya Basuki. Kebetulan saat itu Alya sedang memegang satu buah buku di tangannya. Ia pun membalik sehingga sampulnya terlihat. Buku Nick Vujicic yang berjudul Limitless.

“Oh, keren nih buku. Inspiratif!” puji Basuki.

“Mas Basuki udah baca?” tanya Alya.

“Udah… dia punya empat buku. Kebetulan aku punya semua,” jawab Basuki. Mata Alya berbinar.

“Eh, boleh nggak aku pinjem aja? Jadi aku bisa beli buku lain…. eh, tapi kalau nggak boleh juga nggak apa-apa kok… aku juga niat beli ini…,” Alya berbicara seperti kepada diri sendiri, karena segera meralat ucapan yang baru saja diutarakannya. Rupanya, ia kaget sendiri karena berani melangkah terlalu jauh hendak meminjam buku kepada orang yang baru dikenalnya.

Tetapi senyum bijak dan mata teduh Basuki membuatnya tenang. “Nggak apa-apa… aku bisa pinjemin kok. Tapi, aku nggak tahu alamatmu. Boleh minta kartu nama?”

Alya menjawab cepat, “Mas, sori, aku nggak punya kartu nama. Tapi kalau mau, Mas boleh catet nomer hapeku, nanti mas missed call aku ya… kukirim SMS alamatku.”

“Boleh,” Basuki pun meraih saku blazernya dan mengeluarkan smartphone. Mereka berdua pun bertukar nomor telepon. Segera setelah sengajaka melakukan panggilan gagal ke telepon Alya, Basuki memasukkan smartphone-nya ke saku dan menarik keluar dompet kartu nama. Ia meraih selembar dan memberikannya kepada Alya. “Ini, aku ada kartu nama, selain nomor hape, juga ada e-mail, yah…. Siapa tahu kamu mau diskusi soal bukunya Nick atau apa…”

Alya menerimanya dengan tersenyum. Ia lalu bertanya kepada Basuki, “Mas Basuki sendirian?”

“Ya, sekarang sendirian. Tadi sih barusan ketemuan sama teman bisnis. Eh, aku juga ketemu Cinta tadi, kamu udah ketemu dia?”

“Udah kok, dia juga lagi di sini.”

“Di sini? Di toko buku?”

“Iya, tapi di bagian travelling sana… yang ada peta-petanya kayaknya. Dia kan mau ke New York, makanya heboh banget persiapan dari sekarang…. Maklum, di sana kan ada...., “ Alya hendak menceritakan soal Rangga, tetapi ia sadar kalau Basuki tidak seharusnya tahu, sehingga ia membelokkan ucapannya, “sahabatnya yang udah lama gak ketemu.”

Basuki tampaknya tidak sadar pada pengalihan pembicaraan itu. Sehingga ia malah berkomentar, “Wah, seru tuh. Saya juga dulu sempat beberapa tahun di en-wai.”

Alya tampak tertarik, “Wah, Mas Bas pernah ke sana? Kapan Mas?”

“Yeah… waktu kuliah dulu, tahun 94-sampe 98.”

“Wah, Mas kuliah di sana? Hebat banget!”

Basuki tersenyum, “Biasa aja kali… banyak kok orang Indonesia yang kuliah di sana.”

“Ambil apa Mas, manajemen atau teknik?”

“Nggak, kan aku emang cita-citanya wartawan, ya ambil jurnalistik…”

“Wuih, seru! Dulu kan aku sama Cinta juga bikin mading di sekolah…”

“Waktu SMA?”

“Iya, kan kami teman SMA semua….,” jelas Alya.

Basuki penasaran, lalu bertanya tentang pekerjaan Alya, “Kalau sekarang, di mana?”

Alya pun menyebutkan satu perusahaan nasional besar.

“Yah, aku dulu ambil D-3 sekertaris Mas, supaya cepat kerja. Pengennya sih ngelanjutin S-1 lagi, tapi belum sempat-sempat…,” jelas Alya. “Eh, nanti alamat bukunya pake alamat kantor aja ya… Tapi, kalau Mas Basuki repot, aku bisa kok yang ambil ke tempat Mas. Di sini kan?” kata alya sambil melihat ke arah kartu nama yang diberikan Basuki.

“Nggak, tenang aja. Aku yang kirim nanti. Kamu tunggu aja, besok juga bisa kok…,” Basuki menenangkan. Alya berterima kasih dengan santun.

“Nah ya! Kok udah mojok berdua aja sih?” suara seorang wanita mengejutkan mereka berdua, apalagi nadanya memang mengagetkan. Basuki dan Alya sontak menengok, ternyata Cinta yang sudah memegang beberapa buah buku.

“Eh, lu Ya, ngagetin aja. Ini kita lagi bahas buku kok…,” ujar Alya salah-tingkah. Cinta tersenyum menggoda.

“Bahas yang lain juga boleh kok… nggak ada yang ngelarang…,” ujarnya mengerling ke Basuki.

Tetapi Basuki tidak mau kalah set, sehingga ia pun mengelak, “Iya, tadi kita bahas kalau kamu mau ke New York katanya. Aku bilang sama Alya kalo dulu juga pernah kuliah di sana…”

Mata Cinta terbelalak. “Ha? Beneran? Kalo gitu aku bisa tanya-tanya pengalaman Mas Bas dong…”

“Boleh… kita bisa cari waktu ngopi lagi…,” ujar Basuki.

“Iya, ngopi di pantry kantor aja ya…,” gurau Cinta.

“Hahaha… kamu bisa aja. Kan aku punya hutang janji gantian nraktir…,” Basuki mengerjapkan matanya menggoda. Cinta tertawa kecil. Sementara mereka berdua mengobrol, Alya mengembalikan buku yang dipegangnya tadi ke rak dan melihat-lihat buku lain.

“Alya, lu udah dapet bukunya?” tanya Cinta.

Alya mnoleh kepada Cinta, “Gak jadi beli kayaknya, tadi mau dipinjemin sama Mas Basuki….”

Wajah Cinta tiba-tiba sumringah, mulutnya mengucapkan huruf ooo panjang yang tak kentara, lalu berkomentar menggoda, “Oh, jadi udah janjian pinjem-pinjeman buku nih? Udah dalem nih kayaknya?”

“Cinta, apaan sih!” Alya melotot dan mencubit lengan sahabatnya itu. Cinta terkekeh mendapatiwajah sahabatnya yang bersemu merah muda.

Basuki mencoba mencairkan suasana tidak enak itu. “Kalau cuma soal pinjem buku, kamu juga boleh kok pinjem buku-bukuku…,” ujarnya kepada Cinta. Tetapi Cinta tampaknya tidak terlalu terkesan, “Lah, kita kan emang satu gedung. Gampang kali kalo aku pengen pinjem bukunya Mas Bas. Tapi dia kan…”

“Cinta, udah dong!” pinta Alya sambil mencubit lengan Cinta sekali lagi.

“Ini apaan sih aku dicubitin terus! Mas Bas aja tuh, lebih gede, lebih enak!” Cinta mengelak supaya tidak terus-terusan dicubit sahabatnya. Tapi kalimatnya itu malah membuat Alya lebih gemas.

“Ya udah, yuk bayar. Aku ambil buku ini aja,” kata Alya mencoba mengajak mereka pergi dari situ ke kasir. Ia mengambil sebuah buku motivasi dari rak.

“Ayo, aku juga udah selesai kok belanjanya,” ajak Basuki. Saat itu, barulah Alya dan Cinta melihat ke arah tas kain yang dibawa Basuki. Ternyata ia membeli beberapa buah buku.

“Wuih, banyak amat Mas bukunya?” komentar Cinta.

“Iya, aku emang tiap awal bulan ada anggaran untuk beli buku. Supaya wawasan tetap terjaga. Orang yang nggak suka baca buku dan update informasi bakal jadi cupet kan?” ujar Basuki lagi.

“Setuju Mas! Cuma kalau aku musti beli buku sebanyak itu, gajiku abis dong!” komentar Cinta.

“Hehe… ya makanya dianggarin aja sekian persen dari gaji.”

“Kalau ini, berapa persen dari gajinya Mas Bas?” Cinta kepo. Basuki hanya tertawa tanpa menjawab pertanyaan itu. Ia malah membuka tasnya dan meminta Cinta serta Alya memasukkan bukunya ke sana. “Udah, sekalian aja masukin ke sini.”

“Maksudnya Mas?” Cinta bingung.

Basuki menjelaskan, “Sekalian sama aku aja bayarnya.”

“Wah asiik. Tau gitu tadi aku ambil banyakan, hehe,” katanya nakal sambil dengan bersemangat memasukkan tiga bukunya ke dalam tas kain Basuki.

“Alya?” tanya Basuki sambil menyodorkan tas yang terbuka itu kepada Alya.

“Ah, aku bayar sendiri aja Mas…,” tolak Alya halus.

“Udah, nggak papa, nggak baik menolak kebaikan orang….,” Cinta berupaya meyakinkan sahabatnya. Akhirnya setelah berpikir beberapa saat, Alya ikut memasukkan buku itu ke dalam tas kain Basuki. Bertiga, mereka lalu menuju ke kasir.

*******

[Museum of Modern Arts, Manhattan-New York]

Acara resmi sudah selesai. Walikota New York city Bill de Blasio sudah meninggalkan lokasi setelah berkeliling melihat foto-foto yang dipamerkan. Ia diantar oleh beberapa fotografer yang berpameran dan ketua panitia acara. Begitu walikota pulang, beberapa tamu yang tampak hadir hanya karena kewajiban sosial juga ikut pulang. Sementara mereka yang tinggal lebih lama adalah yang memang menyenangi fotografi atau karya seni dan yang bersama sekelompok temannya bercengkerama. Ajang seperti itu memang bagus untuk bersosialisasi.

Di saat tamu mulai sepi, Rangga mengajak Jeanette untuk juga ikut pulang. Mereka berdua sudah berkenalan dengan para fotografer peserta pameran tadi dan membuat janji temu berikutnya. Karena tidak membawa alat liputan termasuk tape recorder dan kamera, keduanya tak mungkin melakukan wawancara malam itu. Lagipula mereka memang hadir sebagai undangan.

Jeanette pun menyetujui untuk pulang sebelum tempat itu benar-benar sepi. Karena biasanya, para peserta pameran dan teman-teman dekatnya akan tinggal terus hingga kosong bersama panitia. Lalu setelahnya, mereka biasanya melakukan pesta kecil antar sahabat untuk merayakan keberhasilan pameran itu.

Sebelum pulang, Jeanette mengajak Rangga untuk mencari Adrien, hendak berpamitan. Karena posisi Adrien yang adalah juga pegawai di yayasan milik keluarga Rockefeller, maka bisa dibilang ia juga “setengah panitia”. Akhirnya mereka bertemu Adrien sedang mengobrol dengan dua orang fotografer peserta pameran. Ketika Rangga dan Jeanette mendekat, ia pun memperkenalkan keduanya kepada dua fotografer itu. Tetapi mereka berempat menyatakan sudah saling berkenalan sebelumnya. Tiba-tiba, Adrien melontarkan ide, “Hei, I think you two should come to our party after this.”

Rangga dan Jeanette saling berpandangan, mereka kurang mengerti pesta apa yang hendak diadakan. “What party Adrien?”

Adrien menjawab santai, “Our party. Exhibitors and organizers. We have fun until late of night. You two are invited.”

Rangga tidak tahu musti menjawab apa, tetapi malah Jeanette meminta pertimbangannya, “How do you think Rangga, should we attending their party?”

Rangga menatap Jeanette dalam-dalam. Mata Jeanette seperti menyiratkan agar Rangga menerima ajakan itu. Tetapi Rangga memilih menjawab diplomatis, “It’s all up to you Jeanette. Adrien is your friend, right?”

Jeanette mengernyitkan dahi dan menyipitkan mata. “But you are my partner tonight, I need your approval to do that.”

“You don’t need it, sweetie,” ujar Rangga.

Jeanette menangkap nada keberatan di suara Rangga. Ia pun mengerti dan mencoba menyusun kalimat sehalus mungkin untuk menolak ajakan Adrien. “We are both flattered with your invitation, dear Adrien. But please forgive us, we have another plan tonight…”

Adrien menunjukkan wajah mengerti, mulutnya membuka dan matanya membelalak. “Oh, okay. I hope I can inviting you to another special party then.”

“That’s will be nice, my dear friend,” ujar Jeanette manis. Lalu mereka berdua pun berpamitan pulang.

Di dalam taksi eksklusif, Rangga pun mengucapkan terima kasihnya kepada Jeanette.

“Well, thank you for refusing Adrien invitation to their party,” ujarnya.

“It’s OK hon. I feel we will be uncomfortable there. Because all of them are friends, we just outsiders there…,” ujar Jeanette sambil menepuk ringan tangan Rangga.

“Yeah… but you are Adrien’s friend,” mata Rangga menerawang.

“It doesn’t matter. He is only my college mate. But you are my real friends now,” ujarnya sambil memegang tangan Rangga. Pria itu balas menatapnya dan melihat sinar di mata teman kantornya itu.

“So, we go directly to your home, right?” tanya Rangga.

Jeanette berpikir sejenak, kemudian justru menawarkan untuk mampir dulu ke tempat lain. “Well, do you mind if we looking for a cup of coffee first?”

Rangga mempertimbangkan tawaran itu. Ia hendak menolaknya, tapi rasanya malah tidak sopan. Sehingga ia pun mengiyakan. Jeanette pun lantas memberikan petunjuk kepada sopir taksi untuk mengubah arah. Karena tadi saat masuk Rangga sudah menyebutkan alamat Jeanette.

(Bersambung besok)

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun