Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 26

19 Desember 2014   22:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:56 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 25)

(Bagian 26)

Rangga tersenyum mendengar gurauan tersebut. Ia tidak tahu apakah Adrien bermaksud menggoda Jeanette atau sekedar berseloroh. Maka, Rangga memilih melanjutkan pertanyaan lebih detail untuk menggali keahlian Adrien.

“So, I guess your education background is in arts, right?” tanyanya. Ia sebenarnya penasaran karena ia sendiri sebenarnya sangat tertarik kepada seni.

Adrien pun menjawab ringan, “Yep, I got some degrees in art and museum…”

Tampaknya Rangga penasaran, sehingga ia pun bertanya dengan nada menyelidik, “If you don’t mind, may I ask from which campus?”

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, Adrien menyebutkan almamaternya, “Yeah, I’ve got my Bachelor in Arts History and Museum Studies from State University of New Jersey. Then I gained my first master from around here, NYU for curatorial studies and from Harvard Extension School for Master of Liberal Arts in Museum Studies. And at last, I just finished my Ph.D. from UC at Berkeley for History of Art. That’s all, so when you will hire me, Mr. Rangga?”

Ditanya begitu, Rangga tertawa. Ia memang seperti pewawancara kerja yang hendak menerima Adrien sebagai pegawainya.

Jeanette tampak terkesan. Ia lantas bertanya, “So, are you this museum curator?”

Tampaknya pertanyaan semacam itu juga sudah sering diterimanya. Maka, Adrien pun menjawab mantap, “Well, not like that. I am the advisor for board of trustee. My responsibility is not limited to this museum only.”

Jawaban itu membuat Jeanette dan Rangga tambah kagum. Berarti, posisi Adrien lebih penting daripada curator satu museum saja. Ia justru memberikan nasehat untuk seluruh museum yang dikelola keluarga Rockefeller. Pantas saja walikota seperti sudah akrab dengannya. Karena jelas ia bak tangan kanan keluarga konglomerat berpengaruh di Amerika Serikat itu untuk urusan seni dan permuseuman.

Tampaknya, kini Adrien merasa sudah saatnya untuk dia bertanya balik. “So, after you’ve been interrogated me, may I know about you?”

Rangga pun bersiap menjawab pertanyaan tersebut. Sebuah standarisasi kelaziman bagi basa-basi di dunia professional. “Well, you just ask me…”

“I guess you’re alumnae of journalism school, right?” tebak Adrien.

“Well, I guess you have side job as detective…,” gurau Rangga. Adrien tertawa kecil, ia tahu tebakannya benar. Entah kenapa, sepertinya Rangga begitu berdedikasi dengan profesinya. Di Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa, jurnalis adalah juga ahli di bidangnya. Tidak seperti di Indonesia yang tak jarang merupakan ‘profesi nyasar’. Banyak jurnalis yang sama sekali tidak berasal dari jurusan jurnalistik atau komunikasi. Dan parahnya, banyak pula yang tidak pernah sama sekali mengambil kursus pendukung di bidang pekerjaannya tersebut. Maka, meskipun sudah ada program sertifikasi dari pemerintah, tetap saja banyak jurnalis yang tidak memenuhi syarat. Apalagi sejak ditiadakannya SIUPP untuk membuat perusahaan pers, membuat syarat rekomendasi dari asosiasi jurnalis pun menjad sekedar anjuran yang tak perlu dipenuhi.

Rangga pun mencoba menjawab pertanyaan tadi dengan santun, “Well, I take my bachelor from this city’s college, NYU, more precisely at Arthur L. Carter Journalism Institute. Then I got my master from GWU, School of Media and Public Affairs.”

“Wait a second, you’ve been from GWU also?” Jeanette tampak heran.

Rangga menoleh menatap rekan kerjanya itu, “Well, yes I was, indeed. Why then?”

Jeanette pun tampak sumringah, “I was from that campus also, my friend…”

Sekarang giliran Rangga yang mengernyitkan dahi, “How come? I never met you there… I think we are at the same age, right?”

Jeanette tertawa kecil, ia menepuk bahu Rangga menenangkan. “That’s because I’m just an ordinary girl, not like him… or you…”

Rangga hendak buka mulut, tetapi keduluan oleh Adrien, “Don’t believe her. She is our prom night queen at high school. Then she was captain of our campus delegation for some exhibition. So, she was a kind of local celebrity. Hahaha…”

Rangga pun jadi tersadar pada sesuatu fakta, “So, I guess, both of you take the same study at bachelor degree, right?”

“Good assumption, my man!” kembali Jeanette menepuk bahu Rangga, lalu melanjutkan kalimatnya, “Then, for answer of your question, because we are not at the same age. I am five years younger than you, so I’m your junior at GWU… You must be graduated already whenever I became graduate student there….”

Penjelasan itu membuat Rangga mafhum. Karena mereka teman sekantor, perbedaan usia jadi tidak kentara. Padahal, nyatanya Jeanette lebih muda lima tahun darinya. Dan itu berarti, Adrien pun seumuran dengan Jeanette. “Luar biasa!”, pikir Rangga, “Di usia 25 tahun sudah doktor dan jadi orang kepercayaan salah satu keluarga terkaya di dunia.”

“So, why are we still here? I think food stall is open already, let’s go eat!” Adrien mengajak makan malam. Karena keasyikan mengobrol, mereka sampai mengabaikan makan malam yang sudah dibuka sejak Walikota mengakhiri sambutannya. Bertiga, mereka pun melangkah menuju ke area gerai makanan dan minuman.

*******

[Fine dining restaurant di dalam mall terbesar kawasan Jakarta Selatan]

“Hai, sori lama…,” Cinta meminta maaf begitu sampai kembali di meja makan. Borne tampak sedang mengunyah steak-nya perlahan. Tampaknya ia memang sengaja memperlambat makan sambil menunggu kembalinya Cinta dari toilet. Mendengar suara yang ditunggunya, ia pun menoleh dan tersenyum maklum.

“It’s OK… ngantri ya?” tanyanya, maklum pada kebiasaan wanita yang seringkali lama saat berada di kamar mandi. Cinta pun kembali duduk di tempatnya. Ia mengambil gelas lime juice-nya dan meneguknya beberapa kali. Ia pun bersiap meneruskan kembali makan malamnya.

“Borne, boleh nggak kita makan dulu… sayang makanannya nggak diabisin…,” pinta Cinta.

Borne pun menunjukkan gesture mempersilahkan. Mereka berdua pun makan dalam diam.

Beberapa menit mereka hanya makan, sampai Borne lebih dulu habis dan memanggil pelayan untuk mengangkat hot plate-nya. Ketika pelayan menanyakan apakah akan disajikan hidangan penutup saat itu juga, Borne memilih menunggu Cinta menyelesaikan makannya lebih dulu. Sehingga pelayan itu pun berlalu dengan hanya membawa hot plate kosong bekas tenderloin steak­ yang telah habis dimakan Rangga. Sambil menunggu Cinta selesai, Borne memperhatikan dekorasi fine dining restaurant tersebut. Suasana di dalam restoran itu memang seperti berada di ‘dunia lain’. Selain sistem akustik peredam suara yang sempurna sehingga suara berisik dari mall tidak bisa masuk, desain interiornya juga apik.

Penerangannya memang sengaja dibuat temaram sehingga terkesan romantis. Di tiap meja ada lilin cair kecil yang diletakkan dalam semacam gelas kecil. Penataan meja yang dilengkapi vas bunga membuat seolah tiap pengunjung sedang “candle light dinner”. Ada pohon buatan di dalam ruangan, dilengkapi lampu sorot yang membuatnya indah. Di dindingnya dilengkapi dengan beberapa hiasan bernuansa etnik. Ada pula beberapa foto dan pajangan yang terkesan vintage. Semua itu membuat pengunjung merasa nyaman dan betah berlama-lama di sana. Bukan sekedar untuk menikmati hidangan, tetapi juga bercengkerama dan mengobrol.

Tak lama, Cinta tampaknya tak sanggup menghabiskan fish and chips-nya. Ia menyisakan sekitar seperempat bagiannya. Ia pun meminta izin kepada Borne sebagai pihak yang membayar untuk menyudahinya. Ia sengaja menyisakan ruang di perutnya karena tahu kalau masih ada hidangan penutup. Kapasitas lambung di perut wanita memang secara alamiah lebih kecil daripada pria. Tentu saja, dengan proporsi tubuh yang setara pula. Borne tersenyum bijak dan memanggil pelayan lagi, ia meminta piring kosong Cinta diangkat dan memesan agar hidangan penutup mulai disajikan.

Tepat ketika pelayan pergi, sesosok pria mendekati meja mereka dan membungkuk sopan. Ia tampak mencoba menatap mata Cinta yang masih menunduk, tetapi Cinta tidak menyadari kehadirannya. Suara sapanya yang baritone membuat Borne menoleh, lalu segera disusul Cinta.

Karena tahu meja itu adalah ‘milik’ Borne, maka sebagai sesama lelaki, pria itu seperti meminta izin kepadanya. “Selamat malam, maaf mengganggu. Boleh saya bergabung?”

Borne yang tidak mengenali pria itu tampak heran, kenapa bisa tiba-tiba ada orang meminta diri bergabung ke meja privat mereka berdua? Menyadari kekikukan itu, Cinta cepat menengahi dan mengambil-alih kendali.

“Borne, maaf, ini Mas Basuki, teman kantorku. Tadi kami bertemu di toilet dan aku berinisiatif mengundangnya ke meja kita. Maaf, tadi tidak segera bilang karena masih makan…,” Cinta berupaya menjelaskan. Borne dan Basuki menatap wanita yang merupakan ‘jangkar’ di antara pertemanan mereka. Hanya Cinta yang mengenal kedua pria itu, sementara kedua pria itu belum saling mengenal. Prekenalan ini dilanjutkan oleh Cinta, “Mas Basuki, ini teman SMA-ku, Borne namanya.” Kedua pria itu lalu saling berjabatan tangan dengan professional style. Borne sampai berdiri dari kursinya untuk menghormati Basuki yang jelas lebih tampak lebih tua dari dirinya dan Cinta.

“Silahkan duduk Mas… kami sudah hampir selesai makan… tinggal hidangan penutup saja…,” ujar Borne santun. Tepat saat itu pelayan datang mengantarkan dua piring kecil pudding sebagai hidangan penutup. Borne basa-basi menawarkan untuk juga memesan, tetapi Basuki menolak. Tetapi ketika ditawarkan minuman, tampak Basuki berpikir cepat dan memesan secangkir decaf coffee.

“Maaf Borne, aku tadi inisiatif mengenalkan kalian berdua, soalnya Mas Basuki ini juga pernah kuliah di Amrik, sama kayak kamu…,” Cinta dengan hati-hati menjelaskan. Sebenarnya, ia tahu ini bisa merusak mood seorang pria yang memang dengan sengaja mengajak wanita untuk makan malam di tempat istimewa seperti ini. Ia masih pusing memikirkan cara memberitahu kalau nanti keempat sahabatnya yang juga pastinya dikenal Borne sebagai teman SMA-nya juga akan ikut bergabung. Kalau pun Borne memang bermaksud menjadikan acara makan malam itu sebagai kencan, pasti akan rusak berantakan. Tetapi justru itu juga maksud Cinta. Ia tidak ingin menjadikan makan malam itu terlalu istimewa sehingga bisa menimbulkan salah paham. Karena maksud ia mengajak Borne pergi malam ini sebenarnya hanya sebagai permintaan maaf belaka.

Basuki dan Borne tampak sama-sama tertarik pada fakta mereka berdua pernah kuliah di Amerika Serikat. Dengan segera, Basuki membuka percakapan, ia tampaknya ingin merebut kontrol pembicaraan karena merasa lebih tua.

“Oh, pernah kul di state juga? Di mananya?”

Borne menjawab santun dengan nada merendah, “Kebetulan dapat di M.I.T. Mas.”

“M.I.T.?” Basuki tampak kagum. “Those M.I.T.?”

Borne tampak tidak jadi jumawa karenanya, ia tetap merendah, “Yeah…, those fucking M.I.T.”

Hahaha…. Basuki tertawa menyambut seloroh Borne yang khas gaya bicara orang Amerika itu. Gemar menyisipkan kata makian di banyak pembicaraan sehari-hari.

Setelah tawa sosial keduanya mereda, Basuki pun melanjutkan bertanya lagi, “Ambil apa di sana?”

Borne menanggapinya dengan guyon, “Siangnya sih ambil komputer Mas…. Tapi malemnya nggak dihukum kok…”

Kali ini, Cinta ikut tertawa bersama kedua lelaki itu. Guyonan ini biasa dilontarkan oleh mereka yang kuliah di ilmu komputer.

“Wow, computer science?” Basuki masih kagum. Betapa tidak kagum, M.I.T. adalah kampus teknologi dan ilmu terapan sains terbaik di planet ini.

Borne menjawab deskriptif, “Betul. Kalau nama resminya sih Electrical Engineering and Computer Science.”

“Dari sarjana di sana?”

“Nggak kok, cuma masternya. S-1-nya kebetulan di Bandung…,” ini juga gaya merendah khas mahasiswa dan alumni I.T.B. Karena kampus ini juga jawara di Indonesia bahkan Asia. Nilai UMPTN-nya selalu yang tertinggi dari 40-an kampus PTN. Sehingga tak heran saat orientasi mahasiswa baru, selalu dinyanyikan lagu “We Are The Champions” dari Queen. Mereka memancing pertanyaan yang sebenarnya pernyataan dari siapa pun yang menjadi lawan bicaranya.

Dan itu termasuk pula dari Basuki, “Wow, I.T.B.?”

“Yah… kebetulan…” karena Borne yang mengatakan, maka jelas terlihat kalau merendah. Sementara kalau “anak Ganesha” yang lain, bisa terkesan belagu karena terkadang memang gayanya sengaja dibuat begitu. Basuki mengangguk-anggukan kepalanya. Ia lantas seperti teringat sesuatu.

“Eh, boleh tukeran kartu nama? Bawa kan?”

Borne pun segera meraih ke saku dalam blazer-nya untuk mengambil dompet khusus kartu nama. Ia mengeluarkan selembar dan menyerahkannya kepada Basuki yang melakukan tindakan serupa. Membaca kartu nama masing-masing, tampak jelas mata keduanya berbinar kagum. Bagi laki-laki apalagi yang berkarakter achiever, prestasi adalah sebuah hal yang ditempatkan sangat tinggi derajatnya dalam hidup.

“Wah, hebat, ternyata ada orang Indonesia yang kerja di tempatnya almarhum si Om ya?” seloroh Basuki. Borne tertawa.

“Ah, baru tahu kalau almarhum itu Omnya Mas Basuki, tahu gitu saya dulu nggak usah ikutan tes, tinggal telepon aja beres… Hehehe,” Borne membalas gurauan itu dengan cerdas. Cinta yang sebenarnya nggak nyambung, memilih diam karena tidak mau terlihat “oon”.

Borne pun balas memuji Basuki, “Wah, saya berhadapan dengan Bos nih. Pemred, Editor-in-Chief, berarti atasannya Cinta dong?”

Basuki dan Borne secara bersamaan melirik Cinta. Wanita itu sampai jengah melihatnya. Ia pun menatap mata keduanya bergantian, lalu menjelaskan kepada Borne, “Mmm… tidak langsung sih. Kami beda media. Beliau Pemred-nya sebelah…”

Penjelasan Cinta disambut dengan “ooo” tanpa suara dari Borne. Ia masih memperhatikan kartu nama Basuki yang meskipun jabatannya setara direktur, tetapi penampakannya lebih sederhana dari kartu namanya. Itu karena miliknya memang dicetak di Amerika Serikat dan menggunakan jenis kertas yang tidak diimpor ke Indonesia. Adanya emboss di logo yang berwarna juga menambah cita-rasa mewah kartu nama miliknya.

(Bersambung besok)

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun