Bapak Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto yang terhormat, sebelumnya mohon izin untuk memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama lengkap saya Bhayu Mahendra Hendrobaskoro, bukan siapa-siapa, cuma rakyat biasa saja.
Namun, di masa lalu, saya pernah mengenal dua nama yang pasti Bapak sangat kenal: Nusron Wahid dan Budi Arie Setiadi. Kebetulan, kami berdua sama-sama pernah berada di organisasi yang sama di Universitas Indonesia. Dengan Mas Nusron, beliau adalah senior saya di "Suara Mahasiswa UI", satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) penerbitan kampus atau pers mahasiswa, di mana kemudian saya sempat menjadi Pemimpin Umumnya. Sedangkan dengan Bang Muni -demikian teman-teman memanggil Bang Budi Arie-, beliau adalah penggagas buletin harian "bergerak!" di mana saya adalah Pemimpin Redaksi pertamanya.
Sekedar menginformasikan saja, "bergerak!" adalah satu-satunya media perlawanan terhadap rezim Orde Baru di masa "Reformasi 1998" yang terbit harian selama 67 edisi. Dengan demikian, posisi saya di masa itu jelas berseberangan dengan Jenderal Besar TNI (Purn. Hor.) Suharto, mantan mertua Bapak. Walau tentu saja peran saya tidaklah sebesar saudara Budiman Sudjatmiko selaku Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik ketika itu.
Bapak Prabowo yang terhormat, baru Pemilu kali ini saya sama sekali tidak ikut serta dalam keriuhannya. Meski sejak "Reformasi 1998" saya sama sekali tidak pernah masuk Partai Politik (Parpol), namun bukan berarti buta politik. Pada Pemilu 1997, pada usia 21 tahun, saya pernah menjadi calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang ketika itu masih dipimpin secara sah oleh Drs. Suryadi.Â
Pada Pemilu 1999, saya tidak aktif berpolitik praktis karena menjabat sebagai pimpinan di salah satu badan otonom di kampus saya. Kemudian saat Pemilu 2004, saya kembali aktif dengan menjadi Pemimpin Redaksi dari Tabloid "Suksesi", yang direncanakan akan terbit di bawah lembaga pimpinan Yon Hotman yang bekerjasama dengan "Blora Centre", sebagai salah satu markas pemenangan Pemilu dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK).Â
Pada Pemilu 2009, saya menjadi Kepala Chemistry Media Centre di bawah Divisi Humas Tim Kampanye Nasional (TKN) Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Wiranto) pimpinan Dr. Fuad Bawazier. Sekaligus sebagai pembuat (webmaster) salah satu situs internet resmi JK-Wiranto. Situs ini mendapatkan pendanaan langsung dari Ketua TKN JK-Wiranto yang saat itu menjabat Menteri Perindustrian RI, Bapak Fahmi Idris, S.E..Â
Di Pemilu 2014, saya kembali membuat satu situs tidak resmi dari Capres Joko Widodo (Jokowi), namun dengan izin langsung secara pribadi dari Ketua TKN saat itu, Bapak Tjahjo Kumolo. Dan di Pemilu 2019, saya ikut berpartisipasi mendukung Jokowi dengan mengetuai "Jokowi-Amin Cyber Alliance" (JACA).
Namun, di Pemilu 2024 ini, saya absen. Saya memilih tidak jadi bagian dan terlibat aktif mendukung pasangan capres mana pun. Sebabnya, saya apatis. Semula, saya bahkan berniat tidak datang ke TPS pada 14 Februari 2024 kemarin. Tapi, saya sudah merubah niat saya. Kemarin saya bersama istri sudah datang ke TPS sebagai pemilih, menunaikan hak sebagai Warga Negara Indonesia yang bertanggung jawab.
Saya Tidak Mencari Jabatan
Kenapa saya menulis surat terbuka ini saat ini? Jawabannya satu: karena saya tidak mencari jabatan. Saya tidak berminat bergabung dengan tim sukses atau tim relawan dari Pasangan Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden (CPWP) mana pun dalam Pemilu kali ini.
Dalam konteks "tidak mencari jabatan", hal ini senada dengan yang Bapak utarakan saat "Debat Capres ke-1" pada 12 Desember 2023 lalu.Padahal, kalau mau melakukan "gerpol" alias "gerilya politik", mungkin bisa saja saya masuk membantu tim sukses salah satu Calon Presiden (CP) atau Calon Wakil Presiden (CWP). Misalnya dengan me-lobby salah satu kawan lama saya yang telah saya sebut di atas. Tapi hal tersebut tidak saya lakukan. Maka, jalur "surat terbuka" yang dipublikasikan di "Kompasiana" ini menjadi lebih relevan, daripada benar-benar mentik surat dan menitipkannya kepada teman.
Pada Pemilu 2024 ini, saya cuma mengamati saja dari jauh. Saya tidak hadir di kampanye mana pun. Bahkan, saya memutuskan organisasi komunitas berbadan hukum yang saya pimpin dan dirikan -yaitu "Netizen untuk Negeri"- agar netral dalam Pemilu 2024 ini. Kami tidak berpihak pada CPWP mana pun, demikian pula tidak mendukung partai politik (parpol) mana pun. Walau begitu, kami mengizinkan para pengurus dan anggota untuk menggunakan hak berserikat dan berkumpul sesuai amanat UUD 1945. Pilihan politik praktis yang beragam menjadi dinamika tersendiri bagi kami.
Ketidakinginan saya untuk mencari jabatan juga berlaku untuk seterusnya. Saya termasuk yang tidak setuju pada "bagi-bagi jabatan" yang terjadi di setiap rezim. Pada pemerintahan Jokowi, selain menteri yang menjadi jatah parpol, ada beberapa jabatan yang bisa dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa, terutama dari unsur organisasi relawan. Ada komisaris dan direksi Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) atau staf ahli di berbagai tempat. Itu mencederai konsep meritisme yang seharusnya menjadi standar dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) di negeri ini. Mereka yang benar-benar ahli menjadi tersingkir dalam kontestasi perebutan jabatan. Akibatnya, pekerjaan menjadi tidak optimal, karena dikerjakan bukan oleh ahlinya.
Harapan Bila Bapak Terpilih
Posisi saat ini, Bapak Prabowo Subianto dan Mas Gibran Rakabuming Raka unggul dalam survei atau jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset. Bahkan hanya beberapa hari menjelang pencoblosan, angkanya sudah tembus batas minimal untuk bisa menang satu putaran saja alias sudah di atas 50 %.
Dan kemarin pasca pencoblosan di hari Rabu, 14 Februari 2024, ternyata hasil hitung cepat berbagai lembaga terpercaya dan sudah disiarkan luas melalui media massa televisi dan situs berita daring juga memenangkan pasangan CPWP nomor urut 2. Angkanya bahkan melonjak hingga berkisar di 58 %.
Tentu saja, ini masih harus dibuktikan nanti dengan hasil resmi dari KPU selaku penyelenggara Pemilu. Akan tetapi, mengingat kredibilitas lembaga riset dan validitas metodologinya, masuk akal apabila hasil resmi dari KPU nanti tidak meleset jauh.
Maka dari itu, kemungkinan besar Bapak akan dilantik menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024 nanti. Bila itu terjadi, tentu seolah sudah menjadi takdir bagi Bapak yang telah dua kali mengikuti Pilpres sebagai Capres menyusul satu kali sebagai Cawapres. Dan ini juga berarti terjadi pemecahan rekor karena saat dilantik Bapak akan menjadi Presiden tertua dalam sejarah republik. Sementara Wakil Presiden yang mendampingi Bapak sebaliknya akan menjadi yang termuda.
Harapan pertama saya adalah Bapak bertekad melindungi para mantan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia seperti sudah menjadi konvensi kita. Jangan berniat "mau kita apa-apain" seperti pernah diutarakan oleh Guntur Soekarnoputra selaku juru kampanye (jurkam) CPWP nomor urut 03. Balas dendam politik bukanlah "fatsoen" yang luhur.
Saya juga berharap Bapak dan tim -termasuk keluarga Bapak- benar-benar mengikhlaskan semuanya demi bangsa. Jangan berharap akan "balik modal" apalagi "untung besar" dengan menjadi penguasa negara. Dengan teladan dari atas, "kebocoran" anggaran negara melalui berbagai modus korupsi akan sangat bisa dikurangi. Penguatan KPK, Polri, Kejaksaan dan Kehakiman menjadi suatu keharusan.
Apabila anggaran negara tidak menguap, kita bisa gunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berbagai sektor yang selama ini terabaikan, bisa dimaksimalkan.
Prioritas terpenting adalah ketahanan pangan. Agar Indonesia bisa swasembada pangan, maka sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, serta industri pengolahannya harus dikembangkan. Inisiatif Presiden Joko Widodo yang mengurangi ekspor bahan mentah dan bahan baku, harus terus dilanjutkan dan dikembangkan.
Program "hilirisasi" ini harus berlaku di semua sektor. Termasuk juga energi dan sumber daya mineral, serta industri dan perdagangan barang dan jasa lainnya. Rakyat kita yang besar tidak boleh lagi hanya sekedar menjadi pasar. Negara kita harus menjadi negara produsen, dalam tahapan menjadi negara maju yang seimbang industri dan kelestarian alamnya.
Alam kita yang indah dan kaya raya tidak boleh rusak. Pembangunan tidak seharusnya mengorbankan kelestarian lingkungan seperti terjadi di beberapa tempat beberapa kali. Manusia tidak hanya hidup sendiri di alam, melainkan berdampingan dengan hewan, tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya termasuk biota yang mikroskopik. Adalah tugas kita sebagai "khalifatullah"Â untuk menjaga dan melestarikannya.
Manusia Indonesia harus maju. Tingkat literasi harus dinaikkan. Pendidikan menjadi kunci, namun bukan hanya pendidikan formal. Lebih penting lagi adalah "sekolah kehidupan", rakyat diberikan bekal ketrampilan yang cukup untuk hidup.
Demikian pula produk manusia seperti budaya yang kerap diabaikan, harus ikut dilestarikan. Adat dan seni harus menjadi perhatian. Kita adalah salah satu bangsa dengan budaya terkaya. Termasuk juga bahasa daerah yang ratusan jumlahnya. Semua itu seharusnya bukan sekedar menjadi sajian di acara seremonial belaka, tapi juga diwariskan kepada anak-cucu kita.
Kesejahteraan secara menyeluruh juga seharusnya ditingkatkan. Memudahkan dan memurahkan perizinan adalah salah satu caranya. Dengan begitu, masyarakat bisa membuat usaha sendiri tanpa harus berebut menjadi pegawai. Majunya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) akan menopang perekonomian nasional secara makro.
Kesehatan tentunya juga menjadi prioritas. Tidak sekedar memperbesar jumlah tenaga kesehatan saja, tapi juga fasilitas kesehatan. Program Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) yang sudah cukup baik harus diperbesar dan diperluas. Pendanaannya harus dicarikan solusinya agar tidak tambal-sulam. Rakyat di berbagai pelosok negara kita yang luas sangat membutuhkan pelayanan kesehatan yang prima.
Kekuatan Indonesia di dunia internasional juga harus lebih diperhitungkan. Salah satu jalannya adalah memperkuat pertahanan dan keamanan kita. Dengan memiliki tentara dan polisi yang dilengkapi peralatan dan perlengkapan memadai, kita tidak akan mudah digertak dan ditakut-takuti. Industri dalam negeri bisa menjadi tumpuan, bahkan menjadi tambahan pemasukan. Mafia dan broker sudah seharusnya diberantas.
Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo harus dituntaskan pembangunannya. Sehingga pada 17 Agustus 2024 kita sudah bisa merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan di Istana Presiden yang baru. Karena dengan IKN ini, Indonesia akan menjadi negara yang pembangunannya lebih merata ke seluruh wilayah, tidak "Jawa sentris". Ini secara langsung akan membuat rakyat makin makmur dan negara makin maju. Karena itulah tujuan pendirian setiap negara.
Ingat Korban Orde Baru
Meski kemajuan negara menjadi perhatian, sebagai mantan aktivis "Reformasi 1998" yang sama sekali tidak ikut bergabung di organisasi "Eksponen '98" mana pun, saya juga berharap Bapak memberikan klarifikasi terkait hal-hal di sekitar peristiwa tersebut. Termasuk tentunya menuntaskan kasus "orang hilang" dan "dark number" lainnya terkait politik kekuasaan saat itu. Saya tahu, Fadli Zon sebagai orang kepercayaan Bapak pernah menulis buku "Politik Huru-Hara Mei 1998". (Jakarta: LP3ES, 2004), yang isinya sedikit banyak membantu menjelaskan peran Bapak saat itu. Namun, akan lebih elok apabila Bapak sendiri yang benar-benar menuntaskan "masa kelam sejarah bangsa" tersebut.
"Masa kelam sejarah bangsa" tidak hanya terjadi saat "Reformasi 1998", namun justru dimulai jauh sebelumnya. "Peristiwa 1965" misalnya, masih menyisakan banyak "luka sejarah". Buatlah kebijakan mengampuni dan merehabilitasi para pengikut setia Bung Karno yang menjadi eksil di luar negeri, bahkan meski yang bersangkutan sudah wafat. Karena keluarganya membutuhkan pemulihan nama baik para nasionalis tersebut. Revisi semua kebijakan dan pengajaran yang menistakan Proklamator kita itu.Â
Mintalah maaf atas nama negara kepada para korban yang dibantai oleh para pendukung dan penyokong rezim Orde Baru. Dan korban-korban itu tersebar luas di berbagai peristiwa, tempat, dan tahun. Tidak hanya "Peristiwa 1965", tapi juga Petrus, Talangsari, Tanjung Priok, Sampang, Dili, dan lainnya.
Andaikata mencari dan mengadili para pelaku mungkin terlalu sulit, meminta maaf adalah langkah awal rekonsiliasi. Itu membutuhkan keberanian besar. Dan Bapak sebagai purnawirawan jenderal tentunya memilikinya.
Saya tahu, sebagai mantan menantu Presiden Indonesia terlama, Bapak memiliki rasa pekewuh kepadanya. Namun, sebagai Presiden Indonesia, Bapak tentunya sudah tahu bahwa kepentingan bangsa lebih utama. Bapak tentunya punya kesempatan besar untuk menjadi lebih baik daripada sang diktator tersebut. Apalagi rekam jejak Bapak pasca 1998 justru menunjukkan posisi sebagai seorang demokrat nasionalis sejati.
Dan tentunya, Bapak bersama Mas Gibran yang terpilih secara demokratis harus mampu mengemban Ampera: Amanat Penderitaan Rakyat. Semoga janji saat kampanye bisa diwujudkan dalam program nyata. Titip juga agar demokrasi bisa dijalankan secara benar. Jangan sampai Indonesia kembali ke masa Orde Baru yang kelam. Meski ada prestasi pembangunan, namun indeks demokrasi kita saat itu berada di titik nadir.
Akhirul kalam, sejarah telah mencatat, dimana posisi Bapak berdiri di masa lalu. Namun, apabila kemudian Bapak menjadi Presiden ke-8 negara ini, Bapak juga mencatatkan sejarah baru. Masa lalu tak bisa diubah, tapi masa depan bisa dibuat indah. Semoga Bapak amanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H