"Masa kelam sejarah bangsa" tidak hanya terjadi saat "Reformasi 1998", namun justru dimulai jauh sebelumnya. "Peristiwa 1965" misalnya, masih menyisakan banyak "luka sejarah". Buatlah kebijakan mengampuni dan merehabilitasi para pengikut setia Bung Karno yang menjadi eksil di luar negeri, bahkan meski yang bersangkutan sudah wafat. Karena keluarganya membutuhkan pemulihan nama baik para nasionalis tersebut. Revisi semua kebijakan dan pengajaran yang menistakan Proklamator kita itu.Â
Mintalah maaf atas nama negara kepada para korban yang dibantai oleh para pendukung dan penyokong rezim Orde Baru. Dan korban-korban itu tersebar luas di berbagai peristiwa, tempat, dan tahun. Tidak hanya "Peristiwa 1965", tapi juga Petrus, Talangsari, Tanjung Priok, Sampang, Dili, dan lainnya.
Andaikata mencari dan mengadili para pelaku mungkin terlalu sulit, meminta maaf adalah langkah awal rekonsiliasi. Itu membutuhkan keberanian besar. Dan Bapak sebagai purnawirawan jenderal tentunya memilikinya.
Saya tahu, sebagai mantan menantu Presiden Indonesia terlama, Bapak memiliki rasa pekewuh kepadanya. Namun, sebagai Presiden Indonesia, Bapak tentunya sudah tahu bahwa kepentingan bangsa lebih utama. Bapak tentunya punya kesempatan besar untuk menjadi lebih baik daripada sang diktator tersebut. Apalagi rekam jejak Bapak pasca 1998 justru menunjukkan posisi sebagai seorang demokrat nasionalis sejati.
Dan tentunya, Bapak bersama Mas Gibran yang terpilih secara demokratis harus mampu mengemban Ampera: Amanat Penderitaan Rakyat. Semoga janji saat kampanye bisa diwujudkan dalam program nyata. Titip juga agar demokrasi bisa dijalankan secara benar. Jangan sampai Indonesia kembali ke masa Orde Baru yang kelam. Meski ada prestasi pembangunan, namun indeks demokrasi kita saat itu berada di titik nadir.
Akhirul kalam, sejarah telah mencatat, dimana posisi Bapak berdiri di masa lalu. Namun, apabila kemudian Bapak menjadi Presiden ke-8 negara ini, Bapak juga mencatatkan sejarah baru. Masa lalu tak bisa diubah, tapi masa depan bisa dibuat indah. Semoga Bapak amanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H