- Judul Buku: "Beropinilah! Mengembangkan Proses Kreatif Menulis Opini: Trik Menembus Harian Kompas dan Media Lainnya".
- Penulis: Pepih Nugraha.
- Kota Terbit: Jakarta.
- Penerbit: Elex Media Komputindo.
- Tahun Terbit: 2023.
- Jumlah Halaman: 183 + viii.
Rubrik "Opini" di Harian Kompas sejak dahulu merupakan barometer bagi para penulis opini se-Indonesia. Keberhasilan menembusnya seakan menahbiskan seorang penulis sebagai "kawakan" dan diakui kepakarannya. Para penulis dengan beragam latar-belakang keilmuan dan profesi berusaha membuat tulisan mereka tampil di sana. Bahkan hingga kini Harian Kompas telah memiliki platform digital di Kompas.id dan Kompas.com, rubrik ini tetap tak tergoyahkan ke-elite-annya.
Penulis buku ini pernah berposisi sebagai "orang dalam" di media tersebut. Dan ia juga pernah menembus rubrik yang tetap sulit ditembus meski bagi "orang dalam" sekali pun. Maka, jelas buku ini sangat berguna bagi mereka yang punya keinginan mengkontribusikan pemikirannya di sana.
Membaca buku ini seperti membaca buku kisi-kisi ujian. Meski jelas tidak persis memberitahukan soal dan jawab -karena memang tidak ada-, namun menyajikan tip dan trik yang berguna bagi pembaca.
Pepih misalnya menerangkan, satu opini analitikal subjektif yang disebut "views" (p. vii) harus punya "newspeg". Dalam bahasa Indonesia, disebut "pasak berita". Ini merupakan "cantelan" peristiwa atau berita sebelumnya yang menyertai artikel opini yang ditulis. (p. 3). Jadi -ini istilah saya-, muatan/isi (content) harus punya latar belakang (context). Pepih mengingatkan, bagaimana pun Kompas adalah media massa yang dibaca publik dan terbit harian. Jadi, unsur keterkaitan dengan berita yang tengah aktual sangat penting. Dengan demikian, opini tidak bisa seperti artikel lepas bersifat ringan (feature), melainkan harus terkait dengan berita aktual (hard news). Namun, ada bedanya dengan berita aktual yang ditulis oleh wartawan yang bersifat faktual dan objektif, para penulis opini menulis pandangan, pendapat, dan pemikirannya yang bersifat subjektif. (p. 8).
kompas.com. Sebagai "bonus", di bagian "Direktori dan Informasi" di dua halaman terakhir buku ini, Pepih juga menyertakan daftar e-mail berbagai media massa di Indonesia. Karena buku ini terbit tahun 2023, tentunya daftar ini masih aktual. Karena di era internet dan media massa daring plus media sosial kini, telah menyebabkan banyak media massa cetak tutup.
Khusus untuk Harian Kompas, Pepih menerangkan ada 17 penyebab sebuah artikel ditolak oleh Desk Opini Kompas. (p. 60). Ia pun menjabarkannya di beberapa halaman setelahnya. Syarat lain yang penting adalah panjang artikel cukup (maksimal) 5.300 karakter atau 700 kata saja dalam bahasa Indonesia (p. 63). Kini, mengirim artikel tidak perlu lagi melalui jasa pengantaran surat seperti pos, namun cukup melalui e-mail ke opini@Tip dan trik yang dibagikan Pepih dalam buku ini cukup beragam dan berisi. Kalau istilah gaulnya: "daging". Sangat bergizi. Namun, meski alur bahasanya mengalir dan enak dibaca, struktur buku ini masih mirip buku perkuliahan. Sehingga, pembaca yang terbiasa dengan media sosial atau menikmati buku bacaan ringan, bisa jadi akan mengalami hambatan memahaminya.Â
Pemaparan disertai contoh-contoh kasus yang dibahas cukup panjang dan mendetail membuat buku ini cukup sulit untuk dibaca cepat (speed reading). Sehingga, pembaca harus duduk diam untuk bisa menikmati buku ini.
Tak lupa Pepih pun mengingatkan agar penulis opini tidak terjebak pada plagiarisme. Dalam satu sub-bab di bab terakhir, ada dua contoh yang dikemukakan Pepih. Kebetulan keduanya adalah dosen yang opininya dimuat Harian Kompas. (p. 166-169). Dari situ terlihat, bahwa redaktur penjaga gawang Desk Opini Harian Kompas juga tetap manusia yang bisa alpa. Meski dijaga ketat, tetap gawangnya bisa bobol oleh tindakan tak terpuji itu.
Kalau pun buku ini punya kelemahan, bagi saya adalah adanya bab 21, bab terakhir yang tampak terlalu dipaksakan. Judulnya: "Artikel Opini di Media Massa Lainnya".Â
Setelah 174 halaman membahas begitu mendetail mengenai pelik-melik Opini di Harian Kompas, lantas ada 4 halaman "nyempil" di bagian terakhir.Â
Saya rasa itu tidaklah terlalu perlu. Selain kurang relevan dengan keseluruhan buku, datanya pun kurang memadai. Sehingga, apabila ada edisi revisinya di kemudian hari, rasanya tak mengapa bila bab terakhir itu dibuang saja.
Akhirul kalam, secara subjektif, saya menilai buku Pepih ini lebih terstruktur pemikirannya daripada buku terdahulu (baca resensi saya tentangnya di sini).Â
Daftar referensinya pun lebih banyak. Dan tentunya sangat layak dimiliki dan dibaca. Termasuk juga bagi Kompasianer yang ingin tulisannya berkembang dan dibaca lebih banyak khalayak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H