[caption caption="Poster resmi film BTdLA (Foto: Maxima Pictures)"][/caption]Membaca novel Bulan Terbelah di Langit Amerika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014) pembaca diajak untuk menyelami jiwa dan pemikiran karakternya. Kebetulan, karakter utama novel itu justru penulisnya sendiri, Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Justru karena karakternya asli, saya sempat bingung pertama kali membacanya. Kisah novel ini sebenarnya fakta atau fiksi? Apalagi mengingat buku sebelumnya yang juga difilmkan, yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) justru rekaman pengalaman kedua penulisnya. Barulah saat mendengar keterangan dari Yoen K. selaku executive producer Maxima Pictures yang memproduseri filmnya, saya tahu kisahnya fiksi namun dengan bumbu fakta.
Akhir-akhir ini, formula adaptasi novel laris menjadi sebuah film seakan merupakan "garansi" akan laris pula film tersebut. Hal ini bahkan tidak hanya dianut di Indonesia, tetapi justru dimulai lebih dahulu di Hollywood-Amerika Serikat sebagai kiblat perfilman dunia. Hal ini karena novel laris sudah pasti punya pangsa pasar jelas. Saat difilmkan diharapkan sebagian besar pembacanya 'penasaran' dan menonton. Sementara pangsa pasar lain justru adalah penikmat film yang tentu senang menyaksikan film bermutu.
Film Bulan Terbelah di Langit Amerika (selanjutnya disingkat film BTdLA) ini jelas menyasar pasar tersebut. Namun, ada pangsa pasar tambahan yang dituju: kelas menengah Islam terutama di perkotaan. Menurut sahabat saya Yuswohady dalam bukunya Marketing to Middle Class Moslem (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014) konsumen muslim Indonesia terbagi secara kualitatif menjadi empat sebagaimana tabel berikut:
[caption caption="4 Kelas Konsumen Muslim (Grafis: yuswohady.com)"]
Ini juga sejalan dengan penelitian Dr. Ade Armando bersama Saiful Mujani Research Consulting yang dipresentasikannya beberapa waktu lalu. Penelitian kuantitatif dengan responden mahasiswa di tiga kampus ternama di ibukota menunjukkan betapa selektifnya mereka saat akan menonton film. 10 besar judul film beberapa tahun terakhir didominasi film-film berkualitas, bukan film yang mengumbar seksualitas.
Nah, di segmen inilah film BTdLA bermain. Tidak tanggung-tanggung, ada film Tausiyah Cinta dan Harim di Tanah Haram yang head-to-head dengannya, walau keduanya tayang lebih awal. Karena film BTdLA ini memang menyasar pasar penonton serupa. Ada pun film Indonesia lain di masa edar sama, bisa dibilang tidak serupa genre-nya. Pilihan ini menurut Yoen K., sengaja diambil. Karena untuk film semacam, cuma ada dua pilihan. Diluncurkan di sekitar bulan Ramadhan dimana akan ada banyak pesaing -meskipun juga potensi pasarnya besar- atau di bulan selain itu. Maxima Pictures memilih yang kedua.
Saya berkesempatan mendengarkan penjelasan dari executive producer Maxima Pictures Yoen K. yang juga membawa serta aktris utamanya yaitu Acha Septriasa saat diadakan sesi Ngopi (Ngobrol Pesona Indonesia) pada hari Kamis (3/12) lalu di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Penyelenggaranya adalah KOPI (Koalisi Online Pesona Indonesia) yang digagas oleh Ir. Fachrul Muchsen selaku pimpinan Kabarindo.com.
[caption caption="Yoen K. & Acha di acara Ngopi (Foto: Bhayu MH)"]
Yoen K. mengatakan Maxima sebenarnya baru terjun di genre film religi bernuansa Islami sejak pembuatan film 99 Cahaya di Langit Eropa yang diluncurkan pada 2013. Sebelumnya, mereka sempat membuat berbagai jenis film termasuk horror erotis. Tetapi justru film yang mendapatkan respon bagus dari pasar penonton adalah film berkualitas. Salah satunya adalah film pertamanya yaitu Cinta Pertama (2006) yang disutradarai oleh Nayato Fio Nuala. Film ini menurut Yoen masih menghasilkan pemasukan hingga kini dengan pemutaran ulang di stasiun televisi. Maka, Maxima Pictures pun berketetapan untuk membuat kembali film yang bermutu, bukan sekedar mengejar jumlah penonton. Setelah berdiskusi internal, diputuskan untuk mengangkat film dari buku laris.
Menurut Yoen K., semua penerbit bisa dengan mudah diminta menyediakan daftar buku terlaris yang diterbitkannya. Incaran produser film adalah buku yang berada di urutan sepuluh besar. Selain itu, produser juga kerap berburu sendiri di toko buku besar untuk memperhatikan buku apa yang sedang diminati pembaca. Mudah saja menengarainya, selain berada di rak buku laris yang biasanya diletakkan di depan pintu masuk, juga ada catatan di halaman KDT (Katalog Dalam Terbitan) buku tersebut sudah mengalami cetak ulang berapa kali. Tentu buku yang sudah dicetak ulang beberapa kali dipastikan laris.
Yoen K. juga mengungkapkan ia sebenarnya memburu sejumlah buku lain. Tetapi dalam negosiasi ada produser film yang lebih bagus dalam penawarannya. Ia pun membuka rahasia bahwa dalam negosiasi buku novel laris, harganya sudah "gila". Ia menceritakan kalau untuk mendapatkan hak pembuatan film untuk novel Assalamu'alaikum Beijing karya Asma Nadia, ia harus memberikan uang muka di malam hari. Karena bila tidak, sang penulis mengatakan akan memberikan hak pembuatan filmnya pada produser lain.