Keriuhan kampanye Pilpres dan isyu-isyu yang dilontarkan tim sukses meredam pemberitaan berbagai kasus yang masih bergulir. Sebutlah kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Kasus ini besar karena diduga melibatkan sejumlah ‘orang penting' termasuk Ketua KPK Antashari Azhar. Untuk kasus ini, anehnya pemberitaan media lebih mengetengahkan sisi ‘infotainment'-nya berupa dugaan motif pembunuhan yaitu cinta segitiga dengan ‘aktrisnya' Rani Juliani. Padahal, ada dugaan motif lain yang terkait soal politis. Kemarin saya sempat melihat ada koran yang memajang kepala berita (headline) ala infotainment lagi soal perkembangan kasus ini, katanya "Rani Muncul Berjilbab" (Rakyat Merdeka). Namun secara umum, kasus ini perlahan surut dari perhatian media massa dan publik.
Apabila kasus yang bertaraf nasional saja sudah menghilang dari ingatan kolektif masyarakat, lalu bagaimana dengan kasus lain yang dianggap ‘bertaraf lokal'? Ada satu kasus pembunuhan wartawan Radar Bali (IndoPos group) pada tanggal 11 Februari 2009 lalu, yang hingga kini masih berlangsung proses penyidikannya. Sebenarnya, kasus ini pun sarat makna. Karena otak pembunuhannya sudah diketahui dan ditahan, yaitu I Nyoman Susrama. Nama ini penting karena ia adalah seorang pengusaha sekaligus adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa. Motifnya diduga karena masalah pemberitaan yang dianggap merugikan pelaku. Saat ini, rasanya hanya jaringan media milik IndoPos saja yang masih gencar memberitakan kasus ini. Hal ini jelas berbeda dengan peristiwa pembunuhan terhadap Udin (Fuad Muhammad Syafruddin-wartawan Bernas) pada tahun 1996 yang dibela hampir semua media massa.
Surutnya perhatian publik pada kedua kasus hukum tersebut sebenarnya menyedihkan. Tapi apa mau dikata, ada berita-berita baru yang ‘lebih seksi'. Tidak hanya kampanye Pilpres, tapi juga masalah Ambalat, Manohara, penyiksaan TKW, Prita vs RS Omni, jatuhnya pesawat dan helikopter TNI, hingga persiapan HUT kota Jakarta. Konon, memang ingatan kolektif masyarakat hanya akan bertahan selama dua minggu. Apalagi di era banjir informasi seperti ini. Kondisi ini oleh Taufik H. Mihardja dalam tulisannya di Kompasiana 9 Juni 2009 lalu disebut sebagai "carried away" (baca di sini).
Kecuali kita percaya pada teori konspirasi dimana ada pihak yang mampu melakukan manajemen isyu begitu dahsyatnya, rasanya hampir semua pergantian isyu yang menjadi perhatian publik terjadi secara alami. Karena isyu yang dilontarkan haruslah dibuat oleh pihak yang begitu mengerti mengenainya. Misalnya, mudah saja seorang Manohara membuat konferensi pers dan menceritakan mengenai masalahnya dan kemudian jadi berita. Yang hampir muskil dibuktikan adalah, apakah benar Manohara melaksanakan agenda setting dari pihak yang amat berkuasa itu tadi? Kemuskilan menjawab pertanyaan tadi membuat dugaan adanya manajemen atau pengalihan isyu menjadi tidak berdasar lagi.
Saya justru lebih prihatin pada maraknya kasus pembunuhan yang terungkap justru pasca reformasi. Padahal, dulu kita mencerca Soeharto dan rezim Orde Barunya sebagai penguasa otoriter yang gemar menghilangkan nyawa orang. Mulai dari Tragedi Priok, Peristiwa Lampung, DOM di Aceh, operasi militer di Timor-timur, Tragedi Santa Crus, hingga Petrus. Namun semua yang dituduhkan sebagai peristiwa pembunuhan tersebut dilakukan penguasa kepada rakyatnya. Namun kini, tampaknya sesama rakyat malah makin mudah membunuh. Padahal, penguasanya jelas sudah tidak sekuat rezim Orde Baru dan Soeharto lagi sehingga peristiwa seperti di atas tidak terjadi lagi.
Friksi antar elemen masyarakat justru makin kerap muncul ke permukaan. Sebutlah misalnya dalam konflik yang terjadi di Poso atau Ambon di mana juga terjadi penghilangan nyawa orang lain secara paksa. Bahkan dalam persoalan sederhana seperti pertengkaran sewaktu menonton pertunjukan musik bisa berakhir dengan pembunuhan. Nyawa manusia seakan menjadi begitu murahnya. Ini membuat kita selayaknya berpikir, apabila seorang direktur dan wartawan yang notabene memiliki status sosial tertentu di masyarakat saja pembunuhannya begitu mudah dilakukan oleh mereka yang merasa dirugikan, bagaimana pula dengan rakyat biasa?
Bhayu adalah pemilik blog http://www.lifeschool.wordpress.comKeriuhan kampanye Pilpres dan isyu-isyu yang dilontarkan tim sukses meredam pemberitaan berbagai kasus yang masih bergulir. Sebutlah kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Kasus ini besar karena diduga melibatkan sejumlah ‘orang penting' termasuk Ketua KPK Antashari Azhar. Untuk kasus ini, anehnya pemberitaan media lebih mengetengahkan sisi ‘infotainment'-nya berupa dugaan motif pembunuhan yaitu cinta segitiga dengan ‘aktrisnya' Rani Juliani. Padahal, ada dugaan motif lain yang terkait soal politis. Kemarin saya sempat melihat ada koran yang memajang kepala berita (headline) ala infotainment lagi soal perkembangan kasus ini, katanya "Rani Muncul Berjilbab" (Rakyat Merdeka). Namun secara umum, kasus ini perlahan surut dari perhatian media massa dan publik.
Apabila kasus yang bertaraf nasional saja sudah menghilang dari ingatan kolektif masyarakat, lalu bagaimana dengan kasus lain yang dianggap ‘bertaraf lokal'? Ada satu kasus pembunuhan wartawan Radar Bali (IndoPos group) pada tanggal 11 Februari 2009 lalu, yang hingga kini masih berlangsung proses penyidikannya. Sebenarnya, kasus ini pun sarat makna. Karena otak pembunuhannya sudah diketahui dan ditahan, yaitu I Nyoman Susrama. Nama ini penting karena ia adalah seorang pengusaha sekaligus adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa. Motifnya diduga karena masalah pemberitaan yang dianggap merugikan pelaku. Saat ini, rasanya hanya jaringan media milik IndoPos saja yang masih gencar memberitakan kasus ini. Hal ini jelas berbeda dengan peristiwa pembunuhan terhadap Udin (Fuad Muhammad Syafruddin-wartawan Bernas) pada tahun 1996 yang dibela hampir semua media massa.
Surutnya perhatian publik pada kedua kasus hukum tersebut sebenarnya menyedihkan. Tapi apa mau dikata, ada berita-berita baru yang ‘lebih seksi'. Tidak hanya kampanye Pilpres, tapi juga masalah Ambalat, Manohara, penyiksaan TKW, Prita vs RS Omni, jatuhnya pesawat dan helikopter TNI, hingga persiapan HUT kota Jakarta. Konon, memang ingatan kolektif masyarakat hanya akan bertahan selama dua minggu. Apalagi di era banjir informasi seperti ini. Kondisi ini oleh Taufik H. Mihardja dalam tulisannya di Kompasiana 9 Juni 2009 lalu disebut sebagai "carried away".
Kecuali kita percaya pada teori konspirasi dimana ada pihak yang mampu melakukan manajemen isyu begitu dahsyatnya, rasanya hampir semua pergantian isyu yang menjadi perhatian publik terjadi secara alami. Karena isyu yang dilontarkan haruslah dibuat oleh pihak yang begitu mengerti mengenainya. Misalnya, mudah saja seorang Manohara membuat konferensi pers dan menceritakan mengenai masalahnya dan kemudian jadi berita. Yang hampir muskil dibuktikan adalah, apakah benar Manohara melaksanakan agenda setting dari pihak yang amat berkuasa itu tadi? Kemuskilan menjawab pertanyaan tadi membuat dugaan adanya manajemen atau pengalihan isyu menjadi tidak berdasar lagi.
Saya justru lebih prihatin pada maraknya kasus pembunuhan yang terungkap justru pasca reformasi. Padahal, dulu kita mencerca Soeharto dan rezim Orde Barunya sebagai penguasa otoriter yang gemar menghilangkan nyawa orang. Mulai dari Tragedi Priok, Peristiwa Lampung, DOM di Aceh, operasi militer di Timor-timur, Tragedi Santa Crus, hingga Petrus. Namun semua yang dituduhkan sebagai peristiwa pembunuhan tersebut dilakukan penguasa kepada rakyatnya. Namun kini, tampaknya sesama rakyat malah makin mudah membunuh. Padahal, penguasanya jelas sudah tidak sekuat rezim Orde Baru dan Soeharto lagi sehingga peristiwa seperti di atas tidak terjadi lagi.