Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 04

24 November 2014   04:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:01 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prekuel novel: “Namaku Cinta

Cerita bersambung sebelumnya (klik judulnya):

(Bagian 04)

Carmen kembali ke sofa tempat Alya duduk setelah memesan chamomile tea bagi Alya dan black coffee decaf untuk dirinya sendiri. Ia sempat menyambar beberapa lembar tissue sebelum kembali. Saat itu, Alya tengah menggenggam smartphonenya dan mengirim pesan pendek kepada seseorang. Ia tampak tersenyum-senyum sendiri.

Setelah Alya selesai, Carmen langsung bertanya penasaran, “Lu punya pacar Ya?”

Gadis manis yang pendiam itu mengangkat alisnya dan memiringkan kepala ke kanan, mencoba meraba ke mana arah pertanyaan sahabatnya itu. Ia lalu tampak seperti menimbang-nimbang jawabannya sebelum menjawab dengan pertanyaan balik, “Emang kenapa?”

“Ennggg…enggak, pengen tau aja…,” Carmen tampak agak salah-tingkah. Alya tersenyum dan memutuskan menggodanya, “Mau tau aja atau mau tau banget…?”

“Ah, elu Ya… terserah deh kalau nggak mau jawab. Eh, tapi gue boleh cerita nggak sama lu?”

Alya tetap menyunggingkan senyum maklum, dengan kalem seperti pembawaannya ia menjawab, “Kenapa nggak? Asal jangan tanya-tanya soal pacar lagi ya…?”

Carmen terkekeh. Ia rupanya tahu sifat introvert sahabatnya ini tak pernah berubah. Hanya kepada Cinta ia mau begitu terbuka. Dan ia tahu chemistry itu tak bisa dipaksakan untuk diubah. Justru karena kediaman Alya itulah kali ini Carmen memilihnya untuk tempat curhat.

Setelah tawanya reda, Carmen mulai bercerita. “Alya, kita kan udah kenal lama ya… lu tahu gue lah…”

“Permisi ya mbak…,” waitress mengantarkan minuman pesanan keduanya. Pembicaraan terpaksa dihentikan sesaat. Memberi kesempatan untuk minuman itu diletakkan. Setelah waitress pergi, Carmen melanjutkan pembicaraannya.

“Alya, gue terusin ya…”

“Ya udah… gue dengerin kok…”

“Nngg… sebenernya gue lagi ada masalah. Cuma gak enak kalo diomongin sama temen-temen. Abis kayaknya kalian pada ceria-ceria semua gitu…,” wajah Carmen berubah murung.

“Yaelah Carmen… kenapa gitu sih? Kan lu inget dulu gimana gue punya masalah keluarga dan malah lu-lu semua yang ngebantu gue? Ngedampingin gue di rumah sakit segala…?” Alya tampak bingung. Ia lalu meminta Carmen mendekat dan duduk di sampingnya. Carmen memang masih duduk di kursi lain, bukan di sofa panjang yang sama dengan Alya. Sofa yang muat tiga orang yang beberapa menit sebelumnya diduduki Milly, Cinta, dan Alya. Ketika Carmen sudah berada di sebelahnya, dengan lembut Alya menggenggam tangan sahabatnya itu.

“Ya udah… terusin ceritanya…,” Alya meyakinkan sahabatnya.

Carmen menghela nafasnya, lalu meneruskan bicara sambil sedikit menggigit bibir, “Gini… gue sebenernya lagi ada masalah di kerjaan… sama di… hidup gue…”

Alya tidak menyela ucapan Carmen, ia tetap mendengarkan tanpa bicara sepatah kata pun. Hanya matanya yang menyemangati Carmen agar meneruskan curhatnya.

“Iya… gue kan kerja udah lima tahunan di tempat sekarang… tapi kok kayaknya gue pengen berhenti aja ya…,” mata Carmen menerawang.

Dengan hati-hati Alya bertanya, “Kalau boleh tahu, kenapa alasannya?”

Smartphone Alya yang diletakkan di atas meja tampak bergetar dan layarnya berpendar. Tanda ada panggilan masuk. Alya melirik sekilas, tapi tidak dipedulikan. Itu karena ia masih mendengarkan Carmen dan menghargai sahabatnya itu. Ia tidak ingin mood sahabatnya terganggu oleh telepon yang masuk.

Carmen menunduk. Ia sama sekali nggak ngeh pada smartphone Alya yang menyala. Ia lalu melanjutkan bicaranya. “Iya…. Dulu kan gue dapet kerjaan ini gara-gara ikut tim, menangin medali emas di PON…,” ucapnya seperti menanggung beban amat berat. “Terus, gue dikasih kerjaan gitu sama Pak Gubernur… tapi… Alya, gue boleh minum dulu?” Carmen meminta izin.

Alya tersenyum, ia pun mengambil kesempatan jeda itu, “Ya boleh dong… gue juga boleh telepon sebentar ya…”Carmen mengangguk dan mengambil cangkir kopinya. Sementara Alya mengambil smartphone dan menekan layarnya. Sejurus kemudian ia bicara di telepon, “Ya, haloo… udah di mana? Oh… ya udah, masuk aja. Gue di sebelah kanan pintu masuk, di sofa… ya, ditunggu ya…” Alya lalu meletakkan teleponnya.

“Temen lu?” tanya Carmen. Alya mengangguk.

“Udah di mana?”

“Baru masuk parkiran katanya.”

“Apa gue ceritanya entar aja…?”

“Yaa… terserah elu…” Alya paham mood sahabatnya sudah berubah. Tapi ia tidak hendak memutuskan apa yang seharusnya menjadi hak sahabatnya. Carmen pun tampak berpikir.

“Enggg... kapan lu ada waktu lagi?”

“Yaah… gue mah gampang. Kantor gue kan deket sini. Kerjaan gue juga nggak sesibuk Cinta atau yang lain… Mungkin juga malah gak sesibuk elu…,” Alya tersenyum tipis.

“Nanti malam kita sambung lagi boleh…?” tanya Carmen.

“Nanti malam? Mau di mana?” Alya memastikan.

“Gue nyamper ke kantor lu deh, terus kita pergi bareng…,” tawar Carmen.

“Ya jangan kemaleman kalau gitu, sorean aja… jam limaan. Bisa elunya?”

“Bisa banget. Eh, kalau gitu gue sekarang pamitan dulu ya…” Carmen mengambil cangkir lagi dan menyesap kopinya. Alya juga ikut meminum tehnya.

“Mau ke mana lu? Balik ke kantor?” Alya bertanya setelah mereka berdua sama-sama meletakkan cangkir minuman masing-masing.

“Nggak… Tadi gue disuruh ketemuan sama pejabat pemerintah, mau nyerahin dokumen. Janjiannya jam dua-an…,” Carmen menjawab.

“Oooh…. Di mana kantornya?”

“Di dekat sini juga. Sederetan sama jalan ini kok… Tapi gue kudu muter dulu kalau mau parkir, soalnya udah kelewatan di sebelah sana…,” kata Carmen sambil menunjuk arah yang terletak sebelum lokasi tempat pertemuan mereka. Alya menganggukkan kepala. Ia tahu ada beberapa kantor kementerian di jalan ini, tapi ia merasa bukan urusannya untuk mempertegas yang mana tujuan Carmen. Mereka berdua lalu terdiam. Dan keheningan itu justru dipecahkan oleh suara seorang pria.

“Halo Alya!”

“Hai Dan, apa kabar?”

“Baik…”

“Nyampe juga akhirnya…”

“Iya. Sori ketahan, biasalah… meeting gak jelas gitu sama boss…”

“Eh, sori, ini kenalin sahabat gue dari SMA,” Alya memperkenalkan teman lelakinya yang baru datang kepada Carmen. Keduanya lalu berjabatan tangan. Karena Carmen tidak berdiri dari sofa, pria yang baru datang itu yang agak menunduk.

“Dani…”

“Carmen…”

“Sori, gue gak ganggu kalian kan?” tanya Dani sopan.

Sebelum Alya membuka mulut, Carmen lebih dulu yang menjawab, “Nggak kok, justru gue yang ganggu jadwal kalian. Gue udah mau pergi kok… tenang aja.” Lalu Carmen pun memeluk Alya dan berpamitan, “Sampai nanti sore ya…”

“Okay, kontak ya kalau udah deket, biar gue langsung turun ke lobby…,” kata Alya membalas.

“Siiip… Yuk Dani, gue duluan…,” Carmen melambai dan dibalas oleh Dani sambil tersenyum. Sejurus kemudian, Carmen sudah melangkah pergi. Meninggalkan Alya dan Dani berdua.

“Kamu nggak pesan minuman dulu?” tawar Alya.

“Eh iya, lupa… bentar ya, gue ke sana dulu…,” Dani pun bangkit.

*****

[New York city]

Ketika terbangun di pagi hari, Rangga agak terkejut. Kenapa suasana dingin sekali? Ia melihat ke luar jendela kamarnya, ternyata salju turun. Sebenarnya wajar untuk negara di belahan Bumi Utara yang mengalami empat musim untuk turun salju. Ini bulan November, satu bulan lagi adalah bulan Natal. White Christmas in New York sangat dikenal orang. Banyak wisatawan mancanegara sengaja datang sekedar untuk menikmati salju bulan Desember di Big Apple.

Tetapi salju di pertengahan November ini terasa agak berbeda. Rasanya seperti terlalu cepat. Rangga pun memutuskan mandi air hangat untuk menyegarkan badan. Ia lalu menyalakan TV dan laptopnya. Kebetulan sekali saluran berita langsung menayangkan apa yang ingin diketahuinya. Terlihat ada badai salju melintasi Danau Erie di Buffalo. Bahkan tampak pemandangan dari atas rumah-rumah penduduk yang atapnya tertutup salju di kawasan West Seneca. Jalanan sudah pasti juga tertutup salju dan mungkin baru akan cair secara alami bulan Januari. Tapi biasanya pemerintah kota akan menyingkirkannya dari jalan dengan mobil pembersih khusus semata agar warga bisa beraktivitas.

Rangga menghela nafas. Ia bertanya kepada diri sendiri apakah ia akan pergi ke kantor di cuaca buruk seperti ini.

“Mungkin lihat nanti agak siangan, sekarang toh masih jam enam pagi,” pikir Rangga. Ia lalu menuju ke pantry dan mencari-cari makanan siap saji. Ia mendapati ada sekotak oat meal. Tanpa pikir panjang, diambilnya kotak itu, tak lupa ia menyambar mangkuk dan sendok, membawanya kembali ke ruang tengah. Dituangkannya makanan khas sarapan itu ke mangkok, lalu ditambah dengan susu yang semalam belum habis diminumnya, lantas ia menyendok makanannya dengan santai.

Kembali Rangga mengecek e-mail yang masuk sekalian browsing membaca aneka berita. Rupanya memang terjadi badai salju yang sedikit lebih dahsyat daripada tahun lalu di New York. Tapi rumah kontrakannya yang dekat dengan stasiun subway rasanya tidak akan membuatnya punya alasan untuk tidak ke kantor. Kecuali, tentu saja, bila Emily atasannya mengatakan tidak perlu datang. Pekerjaannya memang memungkinkannya untuk tidak perlu setiap hari hadir di kantor. Cukup mengirimkan file pekerjaan melalui e-mail saja sudah cukup. Tapi rasanya Rangga ingin datang ke kantor karena harus menyelesaikan photo editing-nya. Tiga kota selama seminggu, tentu hasil fotonya ratusan file.

Setelah setengah jam membalas beberapa e-mail dan browsing, Rangga memutuskan bersiap-siap pergi ke kantor. Ia membongkar tas koper berodanya dan unpacking barang-barang bawaannya. Pakaian kotor yang sudah dikemas dalam satu plastik dipisahkan untuk dicuci sendiri nanti. Di New York city, tidak ada laundry kiloan murah seperti di beberapa kota Indonesia. Jasa pencucian pakaian kebanyakan dry cleaning dan tentunya sangat mahal. Kalau pun ada, adalah public washing berupa sarana penyewaan mesin cuci bersama, dimana warga bisa menggunakan mesin cuci dalam waktu tertentu dengan memasukkan koin. Tapi seperti anak kost di kota-kota pendidikan di Indonesia, Rangga mencuci sendiri pakaiannya. Ia memang sudah terbiasa hidup mandiri membantu ayahnya sejak beliau ditinggal ibunya saat masih berada di Jakarta, lebih dari 12 tahun lalu.

*****

[Bersambung pekan depan]

Cerbung bakal novel ini dimuat tiap hari Jum'at, Sabtu & Minggu.

Lanjutan kisah: Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 05

Catatan:


  • Foto oleh Bhayu M.H. (penulis sendiri), capture dari video yang diunggah di Youtube.

  • Hak cipta video dimiliki oleh LINE.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun