Catatan awal: Mohon maaf atas terbaliknya pemuatan bagian 67 ini dengan bagian sebelumnya pada hari ini juga. :)
(Bagian 67)
(New York city)
Rangga nyaris tidak bisa memejamkan mata semalaman. Setelah mengantarkan pulang Carla dan Jeanette berturut-turut, ia tidak habis mengerti apa yang terjadi. Apakah benar kedua wanita ‘bule’ itu memperebutkannya? Lantas, apa yang dilihat mereka dari dirinya? Rangga sendiri merasa dirinya biasa-biasa saja sebagai seorang lelaki. Begitu introvert-nya, sehingga malah membuatnya terkesan kuper. Setelah mencari-cari kesibukan, akhirnya Rangga tertidur di depan televisi yang menyala sekitar pukul dua pagi. Alarm jam biologisnya membuatnya terbangun otomatis pada jam empat pagi. Ia pun mencuci-muka dan wudhu. Lantas shalat Shubuh. Setelah itu, ia melakukan olahraga ringan dan pergi ke teras. Tak lama, Rangga merasa ingin pergi mencari udara segar keluar rumah.
Maka, ia pun keluar dari area tempat tinggalnya pagi hari itu dan memperhatikan para pedagang yang lalu-lalang. Hari masih cukup pagi baginya untuk berangkat ke kantor. Masih ada waktu sekitar dua jam sebelum ia sendiri bisa mulai bersiap-siap.
Pandangan matanya tertuju pada sekumpulan warga sekitar yang tengah mempersiapkan dagangannya. Kebanyakan tetangganya di China Town ini memang pekerja informal. Kebanyakan memiliki rumah makan atau toko. Sehingga saat pagi seperti ini, terlihat persiapan mereka yang begitu sibuk. Sementara generasi kedua atau ketiganya ada beberapa yang jadi pekerja kantoran seperti Rangga. Hal Itu tentunya karena ditunjang faktor pendidikan. Generasi pertama yang datang pertama kali merantau ke Amerika Serikat biasanya berpendidikan rendah. Mereka berjuan mencari penghidupan seadanya. Tetapi seiring waktu dan berkat kerja keras mereka, uang yang terkumpul cukup untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Hingga, banyak anak-anak keturunan China yang berhasil lulus perguruan tinggi dengan baik. Merekalah yang kemudian bekerja di berbagai perusahaan yang banyak tersebar di New York, bahkan seantero Amerika. Walau tentunya kelangsungan bisnis keluarga terancam, tetapi itulah hasrat orangtua yang baik. Ingin anaknya lebih sukses dan lebih mulia hidupnya daripada dirinya sendiri.
Langkah kaki Rangga menuju ke rumah yang besar, beberapa meter dari rumahnya. Itu rumah Mr .Chang, salah satu tetangganya yang memiliki jaringan toko di seantero negeri. Ia juga eksportir dan importir aneka barang kebutuhan sehari-hari. Ia sebenarnya sudah kaya, tetapi masih saja terus bekerja keras dan tidak berleha-leha. Mr. Chang itulah yang ditemui Rangga di pembukaan pameran foto dua pekan lalu. Saat ia diperintahkan Emily mengajak Jeanette untuk meliput di MoMA. Awal dari segala kerumitan di kehidupan percintaan Rangga berasal.
Rangga melihat salah satu pegawai Mr. Chang sedang membuka gerbang. Salah satu mobil boks keluar dari areal rumahnya. Rangga mempercepat langkah sebelum gerbang itu kembali tertutup. Karena kalau sudah tertutup, agak sulit mendapatkan perhatian dari si empunya rumah.
“Zǎo ān, Shì chén shīfù zàijiā ma?” Rangga bertanya kepada orang yang membukakan gerbang apakah Mr. Chang ada di rumah. Penjaga pintu itu tampak menyelidik. Tetapi ia lalu mengangguk.
“Shì de, tā shì zài jiālǐ,” jawabnya membenarkan.
Rangga pun segera meminta izin untuk bertemu dengan Mr. Chang, “Kěnéng wǒ hé tā jiànmiàn?”
Sang penjaga kali ini tidak segera mengiyakan, tetapi malah bertanya siapakah Rangga yang tidak begitu dikenalinya, “Nǐ shì shuí?”
“Wǒ shì nǐ de línjū, wǒ de fángzi zài nà biān, zhènghǎo cóng zhèlǐ jǐmǐ,” dengan tersenyum sopan, Rangga menjawab dengan menjelaskan bahwa dirinya adalah tetangga yang rumahnya beberapa meter saja dari situ. Ia pun menunjukkan arah rumahnya, si penjaga melihat ke arah yang ditunjuk. Lalu ia mengangguk dan berkata kepada Rangga agar menunggu.
“Nǐ zhǐyào zài zhèlǐ děngzhe. Wǒ huì wèn tā,” ujarnya seraya menyuruh Rangga masuk dan menuju ke teras. Ia sendiri kemudian menutup gerbang. Tanpa berkata-kata lagi, sang penjaga lantas masuk ke dalam rumah. Ia membiarkan Rangga menunggu selama beberapa menit.
“Hi Mr. Chang, how are you?” sapa Rangga sambil menunduk dan mengepalkan kedua tangan di dada memberi hormat begitu tuan rumah keluar.
“Ha! Rangga. What’s up young man? It’s a surprise for me you come here so early in the morning,” Mr. Chang menyambut dengan tangan terbuka. Ia lalu memeluk Rangga dan mempersilahkannya kembali duduk di kursi.
“I’m sorry for disturbing you… Do you have a little spare time to talk?”
“Now? It’s that important?”
“Ummmm… actually not really. Well, I can come back later…”
“Well… it’s busy Monday morning. But I can serve a cup of tea for a good neighbor. Would you sit down there, please… meanwhile I fix several things up?”
Rangga pun mengangguk sopan. Tentu saja ia tidak bisa menolak tawaran baik hati itu. Saat Mr. Chang kembali ke dalam rumah, Rangga heran sendiri kepada dirinya. Apa gerangan yang membawanya datang begitu saja ke rumah tetangganya itu? Ia sendiri memang tidak terlalu bergaul akrab dengan para tetangga, mengingat kultur di kota tersebut memang mencirikan individualisme yang tinggi. Tetapi ia sendiri bertemu Mr. Chang justru dalam rangka pekerjaan.
Di tahun pertamanya bekerja, ia ditugasi meliput acara filantropis yang diadakan oleh komunitas imigran asal China di New York. Dalam acara itulah ia berkenalan dengan salah satu undangan, yang ternyata kemudian diminta naik ke panggung oleh Walikota New York. Waktu itu masih dijabat oleh Michael Bloomberg, satu dari antara empat orang walikota saja yang pernah menjabat selama 12 tahun.
Seusai turun dari panggung, Rangga mendekati Mr. Chang. Setelah beberapa lama mengobrol, barulah ia tahu kalau Mr. Chang adalah tetangganya. Dan di lingkungan tempat tinggalnya, rumah beliau memang salah satu yang paling besar dan sekaligus juga berfungsi sebagai kantor bagi usahanya. Ia sendiri jelas memiliki kantor utama di wilayah perkantoran, tetapi sejak pagi sebelum berangkat ke kantor, berbagai aktivitas kerja dan bisnis telah tampak di rumahnya.
Sejak itulah, mereka makin akrab. Ternyata, Mr. Chang adalah warga terpandang. Ia seringkali hadir dalam acara-acara resmi yang diadakan pemerintah kota. Termasuk dalam pembukaan pameran fotografi dua pekan lalu di Museum of Modern Arts. Mungkin karena kaitan itu pula, Rangga terpikir untuk meminta saran kepada Mr. Chang yang kira-kira seusia ayahnya kalau saja beliau masih hidup.
Rangga mulai mereka-reka di kepalanya kira-kira kalimat apa yang akan diucapkannya kepada Mr. Chang nanti. Ia tahu ini hari Senin dan ia sendiri harus pergi ke kantor. Mungkin ia tidak akan lama-lama di sini. Sekitar lima menit kemudian, Mr. Chang keluar membawa dua cangkir teh yang tampak berasap, mengepul karena panasnya air yang digunakan untuk menjerangnya. Ia membawa dua cangkir itu dengan tatakannya saja tanpa baki. Sesampai di meja, ia meletakkan satu di depan Rangga dan satu lagi untuknya sendiri. Sambil duduk santai, Mr. Chang yang masih mengenakan kaos oblong dan celana setengah betis –di sini biasa disebut celana pangsi- menyesap tehnya yang masih panas.