Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 68

4 Februari 2015   04:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:52 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14217582741237221344

Kisah sebelumnya: (Bagian 67)

(Bagian 68)

Setelah usai menceritakan mengenai latar belakang ketiga wanita yang kini dekat dengannya, Rangga meminta pendapat dari Mr. Chang. Orangtua itu tampak tertarik dengan kisah Rangga, tetapi ia lebih tertarik kenapa Rangga malah bingung memilih. Maka, ia menanyakan pertanyaan krusial.

“Well, what’s your heart tell you?”

Rangga kebingungan menjawab pertanyaan sederhana tetapi dalam maknanya itu. Ia malah menjawab dengan penuh keraguan.

“Honestly, my heart silent now. I don’t know what to do with this… silly situation…”

Mr. Chang tersenyum bijak. Ia tampak jelas tidak ingin menghakimi.

“Maybe you should purify your heart, so you can hear your heart ‘s voice more clearly…,” sarannya penuh makna. Tapi itu malah membuat Rangga tambah bingung.

“Purify my heart? Do you mean I should take way of ascetic people, something like that?” tanyanya mencoba memperjelas. Ia membayangkan dirinya disuruh bertapa di gunung oleh Mr. Chang yang penampakannya memang seperti seorang suhu kungfu handal. Pemurnian hati merupakan satu istilah dalam yang bermakna luas.

Mr. Chang lagi-lagi tersenyum bijak. “Not exactly like that… You just need to send your conscience to it’s deepest stage. Then you could understand that your choice will be shown automatically below your conscience.”

Nah lo! Rangga garuk-garuk kepala. Kenapa penjelasannya malah bukan membuast tambah jelas ya? Malah ia merasa tambah tidak mengerti.

“Please pardon me Mr. Chang, could you explain in English, please...”, Rangga meminta Mr. Chang menyederhanakan ‘bahasa tinggi’-nya.

“Hahaha… I must simplify those for you, huh? OK… listen. Just listen. Who between those three girls who you feel the most comfortable whenever you close to them…”

Kali ini Rangga mengerti, ia diminta memilih wanita yang paling membuatnya nyaman saat berada di dekatnya. Sebagai tanda kemengertiannya, Rangga mengangguk-anggukan kepala.

“So, it’s not enough time to explore everything. I just meet all three of them,” jelas Rangga.

Mr. Chang tampak mengernyitkan dahi. “Wait a minute, you just explained that you meet them at not too long time ago… But IfI don’t misunderstand, two of them are your old friend, right? One of them, the French one, is your work mate. And the other, the one whose has the same nationality with you, is your high school friend… Am I right?”

Rangga kagum pada pengamatan dan daya ingat Mr. Chang. Cuma dengan sekali cerita yang cepat dan singkat, ia bisa mengasosiasikan ketiga orang yang diceritakan Rangga.

“Yes Sir. But I mean… I just know them better as a closer friend… Cinta… the one whose stay in my country, never meet me for… about twelve years.”

Giliran Mr. Chang yang mengangguk. “Oh, I see… You just meet them as the new personality, as your special girlfriends. So, you feeling like just knowing them lately…”

“That’s right, Sir…,” Rangga membenarkan.

Mr. Chang tampak berpikir sesaat. Ia lalu berkata sambil menghela nafas.

“Listen young man. I want to tell you a story. This is a kind of folklore…. someday, the most senior student of Shaolin Temple being asked by his kungfu master to explore the garden. Only one message ordered to him: take the most beautiful flower he found. But with only one condition whenever he walk, he doesn’t allowed to turn back or step back after leaving one flower. Thinking that task is easy, the most senior student walking around the flower garden.Not too far from the point he started, he find one kind of beautiful flower. He touch it and smell it, but he think he will find more beautiful flower if he continuing his journey. But, afterexploring the garden which has circle shaped, he just found that more far he walk, less beautiful flower he got. Until he reach the finish point whenever his master standing and waiting, he finally pick up the worst flower he found. It’s near dead, ugly shape, and has a bad smell. Frustated, the student gave flower to his teacher which smiling. Do you got the moral of the story?” tanya Mr. Chang mengakhiri cerita panjangnya.

Tidak ingin terlihat bodoh, walau sebenarnya masih agak bingung, Rangga pun menjawab lirih, “Yeah… I think I got it…”

Mr. Chang tertawa puas, “Good. So, you could go home now with calm heart. You know your best choice already, right?”

“Well… I’m not so sure… but I will thinking about it…,” ujar Rangga.

“Take your time Rangga. Don’t be so hurry to make decision for something important to your life…,” ujar Mr. Chang sambil mengambil kembali cangkir tehnya. Ia mempersilahkan Rangga meminum tehnya lagi.

Setelah beberapa menit masih berbasa-basi, akhirnya Rangga berpamitan untuk pulang. Ia menyalami Mr. Chang, tetapi orang tua itu malah memeluknya hangat. Punggung dan bahu Rangga ditepuk-tepuknya seperti seorang ayah menenangkan putranya. Meski berusaha tetap tahu diri pada posisinya yang sejatinya hanya tetangga, Rangga begitu berbesar hati dan merasa sangat dihargai. Rangga hendak berpamitan dengan mengepalkan kedua tangan di dada dan menunduk, tetapi Mr. Chang malah merangkulnya dan mengajak berjalan ke gerbang.

“Well… Rangga… your problem wrongly seems by skeptical person as easy problem. But this is a choice of life. You are at the crucial point, don’t take the wrong turn…,” pesannya terakhir kali ketika mereka berdua sudah sampai di gerbang. Mr. Chang membuka sendiri gerbang itu. Rangga memberi hormat terakhir kali dan berpamitan.

Sekeluar dari gerbang, Rangga melihat jam tangannya. Hampir jam setengah sembilan pagi. Kalau ia bergegas, ia akan bisa tiba di kantor pukul sepuluh. Cuma terlambat satu jam. Rangga tidak menyangka, perbincangan yang semula direncanakan berlangsung ringan dan sebentar ternyata memakan waktu hingga lebih dari satu jam, malah hampir satu setengah jam karena Rangga sampai di rumah Mr. Chang pada jam tujuh kurang.

Sambil berjalan kembali ke rumahnya, Rangga memikirkan moral cerita panjang Mr. Chang. Intinya, ambillah bunga yang pertama dilihat. Karena bisa jadi itu adalah yang terbaik yang ada, tak perlu lagi melihat alternatif bunga lain setelah mengambil yang pertama. Tetapi dalam kasus ketiga orang gadis yang kini dekat dengannya, ketiganya sama-sama bisa dipersepsikan sebagai “bunga yang pertama dilihat”. Cinta, adalah orang yang paling lama dikenalnya dan pertama kali dikenalnya sebagai “bunga” di hatinya. Jeanette, bisa jadiadalah orang pertama yang jadi “bunga mekar” di kota ini, New York. Juga “bunga” yang pertama kali ditemuinya di perjalanan karirnya sebagai jurnalis. Sementara Carla, adalah “bunga pertama” yang menunjukkan perhatian dan ketulusan luar biasa. Kemauannya mengurusi kasus Adrien merupakan satu tanda ia memilki hati yang sangat mulia.

Meski masih belum yakin, Rangga merasa ada secercah sinar terang. Petunjuk samar itu bisa dilakukannya untuk menguji hatinya sendiri nanti. Sekarang, ia harus bergegas pergi ke kantor.

*******

[Café di areal pusat perbelanjaan di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat]

Sudah sekitar setengah jam Alya duduk menunggu sendirian di café Senin soreitu. Ia menunggu kedatangan dua orang. Cinta dan Basuki. Ia sengaja mengatur agar Cinta datang lebih dulu sekitar satu jam lebih awal. Barulah setelah itu ia berencana pulang bersama Basuki, kekasih barunya.

Alya tentu tahu Basuki dan Alya satu kantor. Jadi tidak masalah tentunya bila nanti Basuki bertemu Cinta saat menjemputnya. Tapi ia tahu Cinta perlu waktu bicara berdua saja dengannya . Dan ia pikir satu jam memadai untuk itu.

Alya masih memainkan gawainya saat Cinta tiba-tiba duduk di hadapannya sambil menghela nafas keras. “Gila! Setiap Senen emang semacet ini ya? Masa’ dari kantor gue ke sini selama itu sih? Bete! Tau gitu tadi gue naik ojek aja…”

Alya mengangkat wajah dan menatap Cinta yang tampak jengkel dan lelah. Sambil tersenyum maklum, ia menyodorkan gelas es teh manis miliknya yang tinggal setengah. Tanpa ba-bi-bu, Cinta meneguknya hingga tandas. Dan ia baru sadar.

“Eh, sori, gue abisin nih!”

Alya tertawa. “Hahaha… Maklum lah… abis ada yang macul sawah. Yuk, pesen lagi aja…,” Alya pun celingukan mencari pelayan. Dan begitu menemukan, ia melambai memanggilnya. Mereka berdua pun memesan du a gelas es teh manis lagi. Minuman sederhana yang mempunyai efek menyegarkan.

Setelah pelayan pergi, Alya langsung bertanya, “Kenapa lu? Kok kayaknya antara bingung sama bête gitu? Yang mana?”

Cinta menundukkan kepala, mengusap wajah dan memijat pangkal hidungnya dengan telunjuk, jari tengah dan ibu jari. Tampaknya ia merasa pusing sehingga perlu melemaskan sedikit kepalanya dengan memutar-mutarkannya. Alya memandangi tingkah sahabatnya itu dengan sabar. Ia sudah mafhum tabiat Cinta yang cenderung mudah terpengaruh emosinya. Mudah sediih, mudah marah, juga mudah senang. Moody.

Beberapa menit melakukan itu, Cinta tampak lebih tenang. Kebetulan bersamaan dengan pelayan yang mengantarkan pesanan minuman mereka. Cinta langsung menenggak setengah isi gelasnya. Sementara Alya cuma menepikan saja gelasnya dan memilih menunggu sahabatnya bicara.

“Alya, gue kayaknya bakal bikin Carmen marah deh…,” ujar Cinta tiba-tiba setelah melepaskan sedotan dari mulutnya. Ia menggigit bibirnya dan menatap nanar kepada Alya.

Tentu saja sahabatnya itu tidak mengerti apa maksud Cinta. “Gue gak ngerti… Gimana sih ceritanya?”

Menghela nafas dan menghenyakkan punggung ke sandaran kursi, Cinta menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue pasti bakal dianggep temen makan temen, pengkhianat sahabat, yah… gitu deh!”

Alya mengernyitkan dahi. “Masih gak ngerti gue… Coba-coba… maksud lu tuh apa? Coba kalem dulu….”

Cinta menggembungkan pipinya seperti balon, lalu menghembuskan udara itu keras-keras. Seakan mencoba melepaskan beban yang menghimpit. Tubuhnya lalu maju ke depan. Kedua tangannya menggenggam tangan Alya.

“Alya, gue mau lu janji. Apa pun yang gue bakal ceritain, jangan marah sama gue. Oke?”

Meski belum tahu duduk perkaranya secara jelas, Alya memilih menganggukkan kepala tanpa suara.

“Oke, gini. Singkat aja deh… Gue yakin di pikirannya dia... gue…,” Cinta memikirkan kalimat yang tepat, Alya tampak membelalakkan mata tanda bertanya, sebelum akhirnya Cinta melanjutkan, “ngerebut gebetannya.”

Alya langsung melongo. “Ha? Kok bisa? Gebetan yang mana?”

Cinta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum masam. “Yah, siapa lagi?”

Untuk kedua kalinya Alya kembali melongo, kali ini malah suaranya lebih keras. “Ha? Jadi maksud lu…”

Cinta mengangguk.

Komunikasi aneh yang niscaya akan membingungkan orang lain yang mendengarnya itu ternyata sudah dimengerti keduanya dengan baik. Alya pun menutup mulutnya dengan raut wajah panik.

“Oh Tuhan… Kok bisa gitu sih Ta?”

Cinta menggelengkan kepalanya cepat-cepat. “Yah… mana gue tahu Ya… Kan hati dan perasaan gak bisa diatur-atur… terjadi gitu aja.”

“Tapinya… tapinya…,” Alya menggigit bibir, memikirkan apakah akan melanjutkan pertanyaannya. Tapi karena ia yakin sudah mengenal Cinta sangat dalam, maka dilontarkan jugalah pertanyaan yang menohok hati itu, “Lu… gak ada maksud nyakitin Carmen kan? Lu gak ada niat ngerebut… Borne kan?”

Cinta menghela nafas, menghembuskannya dari mulut keras-keras, lalu sambil mengangkat bahu dan mengembangkan tangannya lebar-lebar berkata, “Fuuuuh…. Yah, gue juga gak tahu kalo… kalo… kalo itu bakal nyakitin Carmen.”

Alya tampak berpikir sesaat. Lalu ia mengajukan pertanyaan yang juga menggantung di benaknya. “Eh, lu tahu dari mana Carmen kayak gitu?”

“Kayak gitu gimana?” Cinta balik bertanya.

“Yaaa… kalo Carmen juga naksir Borne,” Alya memperjelas pertanyaannya.

Cinta kembali menghembuskan nafasnya dengan berat. “Fuuhh….. gue telepon Milly tadi siang.”

“Ha? Kok Milly bisa tahu? Carmen cerita ke dia?” Alya bingung bagaimana Milly yang biasanya paling terakhir tahu kini malah bisa tahu lebih dulu daripada dirinya.

“Yah… jadi, kemaren pas kita ketemuan gak sengaja di mall itu… Mereka udah lama di situ… Lu juga sempat makan bareng mereka kan?” tanya Cinta.

Alya menolaknya, “Gak… gue sama Mas Bas kebetulan masuk ke tempat makan yang sama. Mereka udah kelar, gue baru masuk. Tapi mereka mau gabung ke meja kita, cuma nemenin duduk. Tapi… terus… Carmen kayak… gak tahu deh. Kayak liat hantu gitu… Terus buru-buru ngajak Milly pulang… Yah… masa’ mau gue larang kan?”

Mata Cinta berkerjap. Ia tampak curiga. “Bentar… lu gak liat gue sama Borne pas lagi makan kan?”

“Nggak…,” tukas Alya cepat, lalu menambahkan, “Ya ketemu lu pas di escalator aja. Eh, bentar… jadi.. lu kira… Jadi… hantu itu…”

Cinta memotong, “Ya. Kayaknya hantu yang ngebuat Carmen buru-buru ngajak Milly pulang itu gara-gara ngeliat gue jalan berdua sama Borne. Emang tadinya kita turun ke bawah mau keluar mall, mau cari makan di luar. Tapi pas sampe bawah, gue kok ngerasa gak enak dan gak mood keluar lagi cuma buat cari makan doang. Jadinya, gue sama Borne naik lagi… Nah, terus ketemu lu berdua Mas Bas deh…”

Potongan mozaik itu pun lengkap sudah. Baik Cinta maupun Alya kini bisa menyatukan kepingannya. Tinggal konfirmasi dari Carmen saja yang belum.

Catatan Khusus:

Kisah “Ada Asa Dalam Cinta: Episode 1” ini akan segera berakhir... beritahukan teman-teman Anda agar segera turut membacanya di Kompasiana ya… ;)

Segera setelah pemuatan di Kompasiana ini berakhir, akan masuk tahap penyuntingan (editing) akhir dalam proses pencetakan menjadi buku. Versi buku akan berbeda dalam beberapa detail dibandingkan versi di Kompasiana ini. Karena itu, tetap beli bukunya nanti saat sudah terbit ya :)

(Bersambung besok)

Catatan Tambahan: Karena sempat terjadi kegagalan pengunggahan beberapa kali, maka untuk memenuhi target pemuatan, mulai hari ini Minggu, 1 Februari 2015 hingga Jum’at, 6 Februari 2015 serial novel AADC akan dimuat dua kali sehari.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis  & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu M.H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun