Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rega: Ketika Bermusik dari Hati Begitu Berharga

21 Februari 2015   04:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:47 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_398308" align="aligncenter" width="489" caption="Suasana acara Kompasiana Ngulik (Foto: Bhayu)"][/caption]

Acara darat (off-air event) Kompasiana pada hari Jum’at, 13 Februari 2014 lalu terasa istimrewa. Bukan saja temanya yang tidak biasa, tetapi juga penataan ruangan dibuat bak panggung untuk pentas. Tak mengherankan, karena pada hari itu digelar Kompasiana Ngulik alias Ngobrolin Lirik. Tema yang diusung adalah “Kompasiana Ngulik: Ngobrolin Cara Membuat Lirik Bareng Rega”. Tak kurang dari 25 orang Kompasianer hadir. Termasuk pula COO Kompasiana Pepih Nugraha yang tampak antusias mengikuti acara yang unik ini.

Lirik & Nada: Ruh Musik & Lagu

Musik adalah bahasa universal. Bahkan meskipun kita tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam lirik, kita tetap bisa menikmati musik.

Tak terkecuali dengan lagu-lagu besutan anyar yang mewarnai blantika musik Indonesia, ternyata masih mengharu-biru dengan tema-tema cinta. Tema yang memang universal dan mudah diterima siapa saja.

Proses penciptaan musik dan lagu merupakan sebuah inovasi kreativitas yang tidak mudah dan tidak boleh dipandang remeh. Pencipta lagu kerap kali harus menelan “pil pahit” saat lagu karyanya meledak, tetapi ia sendiri tidak mendapatkan royalty. Faktornya bisa beraneka ragam, bisa dari pembajakan atau faktor kontrak yang kurang menguntungkan.

Tujuh nada dalam birama pentatonic atau di Indonesia sering disebut “solmisasi”, merupakan satu keajaiban Tuhan. Dari tujuh nada telah tercipta ribuan karya musik dan lagu. Dan itu tidak hanya berasal dari satu genre saja. Ada beragam aliran lagu di dunia, mulai dari yang beringas dan cadas seperti heavy metal, yang keras tapi enak seperti rock, atau yang lembut mendayu seperti pop. Malah, negeri kita punya dua jenis musik khas, yaitu dangdut dan keroncong. Tentu selain musik dan lagu daerah yang sangat banyak. Temanya pun bisa beragam. Mulai dari cinta yang paling populer, lingkungan, atau kejadian sehari-hari seperti lagu The Beatles atau Koes Ploes . Demikian pula nuansa yang dibawakan, bisa membawa pada suasana hati yang berbeda. Bisa gembira, bersemangat atau sedih. Ibaratnya, lirik dan nada adalah ruh musik dan lagu.

Hanya saja, teringat sekali komentar salah satu juri kompetisi nyanyi di televisi, Beby Romeo, bahwa orang Indonesia itu punya ciri khas saat membeli suatu lagu. “Orang kita itu kalau lagi sedih, lagi galau, pasti gampang beli lagu. Lagu cepet lakunya kalau yang mellow…”

Bisa jadi, Rega pun mengamati fenomena itu. Sehingga lirik lagunya terasa begitu menyayat hati. Simaklah bait-bait lagu single “Takkan Lagi” yang dibesutnya:

Dalam langkahku terasa, bekas lukaku

Akan pernah hadir dirimu

Dalam langkahku terasa, terasaku merana

Tak kan lagi kurasa, tak kan lagi kurasa

Mungkin engkau kan kembali, kembali dlm pelukku

meski tak mungkin tak mungkin terulang lagi

ku tak kan terjatuh lagi, terjatuh lagi dan lagi

tak kan kembali, tak tersakiti, kau telah pergi kasih

Bagi yang sedang mengalami “problema hati”, bisa jadi akan tambah “berdarah-darah” mendengar lagu yang bak “menangiskan seribu sungai” itu.

Memang, dalam diskusi yang digelar setelah mempersembahkan performa apiknya, Rega sang penyanyi mengakui kalau ia menciptakan lagu tersebut “dari hati banget”. Ungkapan ini dilansirnya menjawab pertanyaan moderator Nadia Fatira, yang juga berprofesi sebagai penyanyi dan pencipta lagu. Jawaban yang bisa ditakar kadar ketulusannya dari penampilan yang tidak dipoles berlebihan dan jujur apa adanya. Tetapi mempersembahkan kemampuan terbaiknya untuk menghibur pendengar dan penggemar.

Kepiawaian Rega dalam menciptakan lagu sempat “diuji” oleh Kompasianer yang hadir. Adalah Muthiah Alhasany yang beruntung menyodorkan puisi untuk digubah oleh Rega menjadi lirik lagu. Meski belum berbentuk notasi dan masih berupa senandung, tetapi puisi itu sudah mendapatkan ruhnya yang baru. Maka mengalunlah bait-bait itu dengan merdu:

Mengapa kau masih bermain ilalang.

Padahal taman bunga itu ada di hatimu.

Angan-anganmu telah tersesat.

Pada masa gelap yang panjang.

Kemampuan Rega menciptakan lagu dengan cepat diberinya istilah “the power of kepepet”. Ia sendiri mengaku bisa menciptakan lagu dalam berbagai kondisi, baik dengan alat musik maupun tanpa bantuannya. Dengan memanfaatkan teknologi, Rega pun kerapkali merekam lebih dulu lagu yang tiba-tiba didapatkan inspirasinya, baru kemudian diolah lebih lanjut. Dengan kapasitas ganda ini, baik sebagai penyanyi maupun pencipta lagu, Rega bak menantang para seniornya yang telah lebih dulu malang-melintang. Sebutlah seperti Ahmad Dhani, pentolan grup musik Dewa 19 dan pemilik Republik Cinta Management itu adalah penyanyi dan pencipta lagu handal, sekaligus juga bertangan dingin dalam menelurkan penyanyi baru dan mengorbitkan lagu favorit. Salah satu lagu ciptaan Ahmad Dhani yaitu “Risalah Hati” bahkan diakui Rega sebagai inspirasi bagi lagu “Takkan Lagi” yang diciptakannya.

Rega Sang Penantang

[caption id="attachment_398310" align="aligncenter" width="236" caption="Ghiea Poetra alias Rega (Foto: Bhayu)"]

14244417681182101658
14244417681182101658
[/caption]

Nama Rega bisa jadi masih asing di telinga. Tetapi niscaya, dengan talenta yang dimilikinya, dalam waktu tak lama ia bisa membahana.

Sebenarnya, “Rega” adalah “nama panggung”. Karena nama asli pria ini adalah Ghiea Poetra. Nama “Rega” semula adalah nama group band-nya.  Mahasiswa jurusan arsitektur Itenas (Institut Teknologi Nasional) Bandung ini sempat mengambil analogi dari bidang ilmu yang dipelajarinya untuk menggambarkan karir bermusik yang ditekuninya. “Lirik dan nada itu ibarat fondasi dalam bangunan lagu. Ia merupakan dasar yang harus dimengerti semua pemusik,” ujarnya.

Saat di awal acara mempertunjukkan kemampuan olah vokalnya, Rega mampu membius hadirin dengan “suara emas”-nya. Penampilan “musik hidup” atau “live” ini membuktikan, bahwa sang solois memang punya talenta mumpuni. Bukan “abal-abal” atau “hasil mixing” di studio belaka. Sudah menjadi “rahasia umum” bahwasanya ada saja penyanyi yang sebenarnya bersuara “pas-pasan” tapi “disulap” begitu rupa sehingga terdengar indah dalam rekaman. Sehingga, saat “manggung” ia kerapkali menggunakan pola “lyp-sync” karena hanya memutar rekaman saja. Padahal, yang boleh diputar ulang dengan rekaman di panggung seharusnya hanyalah latar belakang musiknya, terutama bila musiknya mengusung genre “techno-house” yang rumit atau menggunakan orchestra lengkap yang sulit ditampilkan di panggung. Metode ini disebut “minus one” dalam dunia musik.

Penampilan Rega yang berkacamata dan “imut” membuat penikmatnya bisa mudah teringat kepada Afghan. Tetapi sebenarnya warna vokalnya lebih dekat dengan Cakra Khan. Dan hal itu diakui juga oleh Aldy Lauda dari Alfa Records selaku manager Rega. Pria yang akrab disapa “Mas Ayi” itu mengatakan justru hal itu yang membuatnya tertarik kepada Rega. “Waktu itu dia sebenarnya punya band. Dan band-nya menang kompetisi yang kami buat. Tetapi saya lantas hanya mencomot vokalisnya saja, ya dia ini…,” akunya.

Ada pun mengenai liriknya, kategorinya memang “easy listening pop”. Liriknya tidak terlalu puitis seperti tembang-tembang Dewa ciptaan Ahmad Dhan, Kahitna ciptaan Yovie Widianto, atau KLa Project ciptaan Katon Bagaskara, tetapi tetap enak dicerna. Bisa jadi, ini karena selera pasar musik Indonesia saat ini memang seperti itu. Model “easy listening pop song” ini sebagai contoh juga diusung oleh grup musik Indonesia lainya seperti Bagindas, D Massive, atau Armada.

Dengan warna vocal khas dan kemampuan olah suara prima ditambah kemampuan menciptakan lagu, Rega berdiri tegar sebagai penantang. Ia memang merupakan pendatang baru di jagat musik tanah air. Tetapi kehadirannya tak bisa dipandang sebelah mata, apalagi diusung oleh Meet The Labels.

Meet The Labels: Mengusung Idealisme Bermusik

Blantika musik di seluruh dunia sempat mengalami goncangan besar ketika Napster merajai peta musik. Situs internet yang dibesut oleh Shawn Fanning, John Fanning dan Sean Parker itu mengunggah file musik berbagi pakai secara bebas antar pengguna. Tetapi, tindakan itu melanggar hak cipta dan Napster pun kemudian diperintahkan ditutup oleh pengadilan A.S. Meski begitu, merek dagangnya selamat karena perusahaan tersebut menyatakan bangkrut dan dibeli oleh perusahaan lain.

Meski masa kejayaan Napster berakhir pada 2001, tetapi perkembangan digitalisasi audio tak terelakkan. Dengan dikembangkanya standarisai MPEG (Moving Picture Experts Group) yang dikerjakan bersama oleh para insinyur dari Fraunhofer IIS, University of Hannover, AT&T-Bell Labs, Thomson-Brandt, CCETT, dan sejumlah institusi lainnya, kini rekaman audio bisa lebih dipadatkan. Era pita magnetic pada kaset perlahan tapi pasti digantikan cakrat padat atau compact disc. Hingga kini, kita sudah mengenal hingga MP4, walau MP3 masih lebih banyak dipergunakan karena ukuran datanya yang lebih kecil.

Pengguna bisa mengunduh berbagai file melalui internet. Apabila legal, tentu harus membayar sejumlah uang untuk membeli. Tetapi sayangnya pembajakan tak terhindarkan. Teknologi digital bak pisau bermata dua. Dan oleh karena itulah industri musik pun menyiasatinya.

Untunglah prakarsa inovasi bersambut. Penyedia layanan berbagai pakai ternyata juga mau berbagi laba. Youtube sebagai situs penyedia layanan berbagai pakai format video ternyata mau membagi keuntungan yang didapatnya dari iklan kepada pengunggah. Dengan demikian, maka label pun bisa mempromosikan materinya di sana. Kita malah melihat fenomena seperti Psy atau Justin Bieber yang ngetop pertama kali dari sana.

Di Indonesia, sejumlah label rekaman pun bergabung membentuk “Meet The Labels”. Mereka adalah 267 Records, Sony Music Entertainment, Alpha record, E-Motion Entertainment, Seven Music, Universal Musik Indonesia, dan Warner Music Indonesia. Pada tahun 2011, didukung oleh merek rokok “LA-Lights”, pertama kali diadakan kompetisi untuk menyaring talenta bermusik. Bedanya dengan kompetisi serupa yang diadakan televisi adalah di sini penyanyi dituntut memiliki kemampuan menguasai panggung. Dan memang pesertanya rata-rata sudah punya pengalaman bermusik cukup lama, bukan sekedar coba-coba. Tiap tahun, dipilih 10 finalis dan akan diberikan kesempatan rekaman.

Nah, Rega ini adalah salah satu pemenang di tahun 2013. Tetapi, oleh pihak Alfa Records seperti sudah dijelaskan di atas, band Rega tidak diambil, melainkan hanya vokalisnya yang ditawari kesempatan rekaman dan diorbitkan. Hal ini, menurut Aldy Lauda karena “faktor x” yang ada di dalam diri sang vokalis.  “Saya tertarik terutama karena suaranya yang khas dan faktor pendukungnya seperti dia bisa menciptakan lagu. Pokoknya, ada unsur-unsur yang sulit dijelaskan tetapi potensial untuk membuatnya ngetop,” jelas Aldy.

Strategi Promosi & Penjualan

[caption id="attachment_398306" align="aligncenter" width="497" caption="Rega bersama Aldy (Foto: Bhayu)"]

14244416012060409259
14244416012060409259
[/caption]

Dalam wawancara khusus dengan penulis seusai acara, Aldy Lauda dari Alfa Records yang sekaligus bertindak sebagai manager Rega mengungkapkan beberapa hal yang tidak dibicarakan dalam forum terbuka.

Aldy juga mengungkapkan adanya dukungan dari sejumlah pihak saat proses perekaman lagu maupun pembuatan video clip Rega. Ia mengatakan bahwa video tersebut dibuat di Singapura dan Tangerang. Khusus untuk yang di Singapura, ia mendapatkan izin dan dukungan dari Singapore Tourism Board. Maka, kita bisa melihat Rega diambil gambarnya di lokasi-lokasi strategis di negeri singa itu. Bahkan, ia tampak menumpang “bis tingkat khusus pariwisata” beratap terbuka.

Khusus untuk Rega, Aldy sangat mengandalkan promosi melalui Youtube. Di samping itu juga mengadakan roadshow termasuk ke radio-radio. Kemungkinan adanya kerjasama dengan Event Organizer (E.O.) agar Rega bisa “manggung” juga terbuka. Demikian pula penjualan RBT atau Ring Back Tone bekerjasama dengan operator telepon selular pun bisa menambah jalur promosi dan penjualan.

Aldy sendiri yakin, dengan pengalaman pribadinya maupun jaringan dari Meet The Labels, Rega akan sukses diterima khalayak pecinta musik Indonesia. Usia yang masih muda, penampilan yang bagus, ditambah jelas kemampuan mumpuni menjadi kuncinya.

Rega sendiri dengan rendah hati mengakui ia tidaklah bermimpi terlalu besar. Pada tahap awal ini, dengan peluncuran single ia hanya berharap dapat diterima oleh penggemar. Dengan itu, diyakini setahap demi setahap ia akan menancapkana eksistensinya di blantika musik Indonesia.

Selamat datang Rega. Selamat berkarya. Jadikanlah musik Indonesia tuan rumah di negeri sendiri.

Buktikanlah bahwa bermusik dari hati itu begitu berharga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun