Fenomena brain drain, dimana semua orang-orang yang cerdik pandai di serap oleh kota-kota metropolis besar dan di berikan imbalan dan tunjangan hidup diatas rata-rata, merupakan masalah kompleks global yang masih sulit untuk di pecahkan, dan untuk mengurut akar permasalahan nya pun juga sulit, apakah permasalahan nya ada di nasionalisme para pekerja asing, atau permasalahan ada di Negara kelahiran pekerja asing karena tidak tercipta infra- struktur yang sehat untuk mengembangkan kemampuan dan prestasi-nya, atau iklim politik yang penuh konflik dan perpecahan, atau system ekonomi yang tidak ada apresiasi terhadap kelompok skill worker tersebut, atau sekedar terlampau, terbelakang secara teknologi.
Lantas dalam situasi yang kompleks ini, ketika genderang marching band menggemuruhi pesta, dan letupan kembang api memenuhi angkasa, sorak-sorai gembira masyarakat dengan bendera dan umbul-umbul memeriahkan suasana, dan para pekerja immigrant di paksa untuk berefleksi tentang arti perbedaan antara tanah air dan tanah kelahiran, refleksi tentang sumbangsih kita terhadap bumi yang kita pijak dan sumbangsih kebijakan Negara timpat tinggal kita terhadap kelangsungan hidup kita. Dan sebagian mereka telah berasimilasi dengan warga local, dan memiliki istri dan anak-anak kelahiran negri sebrang, dan mereka di hantui pertanyaan, "where is home, is it here or there or both".
Sebagian memilih untuk berpindah kewarga negaraan dan di hantui rasa bersalah, sebagian tetap menjaga kewarga negaraan dan di ikuti rasa menyesal, dan sebagaian sudah meninggalkan tanah air terlalu lama sudah terlalu bingung untuk mencerna makna rasa bersalah atau penyesalan.
Buat bangsa pengelana dan para musafir, pola perpindahan penduduk dan perpindahan pengabdian pada wilayah-wilayah baru adalah hal yang biasa, namun untuk bangsa Indonesia hal-hal ini masih mengundang berjuta tanda tanya. Kita tak henti-henti nya melantunkan slogan tentang nenek moyangku seorang pelaut, dan para pelaut bugis telah menciptakan kampung bugis di berbagai wilayah dunia, atau perginya berapa sheikh-sheikh asal tanah air ke kerajan-kerajaan timur tengah dan mengabdi di sana, dan banyak dari kita mengagung-agungkan mereka bagai pahlawan.
Namun usai penjajahan belanda, ketika muncul karya-karya sastra semacam "salah asuhan" karya Abdul Muis, cerita melayu klasik Malin kundang yang di release, atau cerita Tanduk Majeng asal Madura. Ada kesan di nilai-nilai masyarakat bahwa kepergian mereka yang merantau dan tak kembali adalah sebuah fenomena kisah Malin Kundang dan pengkhiantan terhadap ibu pertiwi.
Ketika stigma-stigma ini yang terbangun namun di balik stigma tersebut ada sumbangan devisa yang cukup besar dari mereka-mereka yang menamai dirinya pekerja migrant dan diaspora, mungkin perlu ada kajian lebih lanjut apakah tindakan mereka adalah sebuah pengkhiantan atau kepahlawanan, dan mereka yang tiap tahun mencoba melobby para pengambil kebijakan untuk di terbitkannya kewarganegaraan ganda, mungkin juga perlu di tinjau kembali, sehingga permasalahan stigma, brain drain, dan investasi diaspora bukanlah permaslahan yang mengguncang nasionalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H