Globalisasi menggambarkan peta baru bagi perpindahan penduduk antarnegara. Untuk Indonesia, yang dahulu melihat perpindahan penduduk keluar negeri sebagai pencari nafkah sebagai pekerja rumah tangga (TKW), kini potret itu telah berubah. Profesi yang dimiliki diaspora Indonesia atau pekerja migran telah menjangkau semua ranah profesional, dan akan terus bergerak maju seiring kemudahan menuntut ilmu di era globalisasi.
Penyebaran penduduk atau yang sering disebut diaspora, menjadi simbol keberhasilan globalisasi. Saat ini, penyebaran penduduk Indonesia di berbagai negara terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak hanya itu, di berbagai kota internasional telah muncul istilah pemukiman Indonesia atau kampung Indonesia, atau menjamurnya toko kelontong Indonesia, tempat-tempat peribadatan Indonesia, dan berbagai rumah makan Indonesia. Meskipun perpindahan penduduk terus meningkat secara drastis, namun pendataan yang sempurna bagi kedutaan-kedutaan Indonesia di berbagai negara belum ada. Di Amerika Serikat bagian timur, menurut percakapan dengan pihak KJRI New York yang tidak ingin dikutip, kira-kira "angka kasar" ada 14.000 orang, sementara KJRI Los Angeles memberikan "angka kasar" sebesar 15.000 orang. Saya masih menunggu data formal daftar diri yang akan dirilis oleh KJRI Los Angeles.
Setelah 25 tahun pascaeksodus tragedi 1998, banyak warga Indonesia yang menetap di kota-kota besar internasional dan membentuk komunitas atau perkampungan. Menurut laporan kinerja KJRI LA; di wilayah LA telah beberapa kali mengajukan permohonan untuk menjadi kota kembar. Berikut kutipan laporan KJRI LA 2022:
"Kerja sama Sister City yang berada di bawah pengawasan KJRI LA termasuk MoU Sister City Jakarta-LA (ditandatangani tahun 1991), MoU Sister City BaliHawaii (2014), dan MoU Sister Province California-Yogyakarta (1993). Namun demikian, hingga saat ini kerja sama sister city/provice tersebut "mati suri" atau tidak diikuti inisiatif pembuatan program kegiatan yang konkrit dan implementatif. Istilah "sister city" dalam Bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan menjadi "kota kembar". Konsep ini merujuk pada hubungan resmi atau kemitraan antara dua kota di negara yang berbeda, sebagai upaya untuk mempromosikan budaya dan kerja sama ekonomi."
Hal-hal di atas cukup menggambarkan perkembangan diaspora Indonesia di LA, New York, dan berbagai kota besar lainnya di AS.
Pertanyaan yang sering tersirat di benak banyak orang adalah, setelah tinggal di negara lain dan  beranak-pinak; apakah nasionalisme masih membara di sanubari mereka, ataukah telah redup? Mereka yang eksodus dan hijrah pasca tragedi kerusuhan '98, apakah mereka berhijrah dari kekisruhan atau berhijrah ke alam pro-kapitalisme dan modernisme? Atau mereka yang memilih mencari nafkah di negara lain, apakah mereka tidak lagi mencintai tanah air hingga rela meninggalkannya? Ditambah lagi mereka yang mendapat beasiswa untuk masa depan bangsa, baik dari pemerintah maupun PBB dan tidak pernah kembali ke tanah air, apakah masih ada nilai-nilai Pancasila yang tersisa di lubuk hati mereka? Kita sering menghindar membahas soal nasionalisme, sehingga pertanyaan-pertanyaan ini akan tetap menjadi misteri.
Survey yang dirilis baru-baru ini untuk siswa SMA tentang ideologi Pancasila yang tidak lagi permanen membangkitkan trauma masa lampau tentang hantu-hantu yang membayangi kesaktian Pancasila. Bangsa ini dipaksa untuk kembali menggali segala diskusi tentang Pancasila dan nasionalisme serta berbagai pembekalan nilai-nilai kebangsaan bagi generasi muda. Lantas, bagaimana dengan generasi diaspora? Akankah nasionalisme mereka luntur ketika menyeberangi lautan? Akankah anak-anak mereka tidak lagi menjunjung tinggi Pancasila? Akankah mereka mengenang leluhurnya, menghargai pahlawannya, dan merayakan hari kemerdekaannya?
Jika para diaspora Indonesia telah meninggalkan negaranya lebih dari lima tahun, lebih dari satu dekade, atau ada yang lebih dari 25 tahun, lantas apa arti "keindonesiaan" bagi mereka? Apakah itu bahasanya, makanannya, budayanya, atau apakah mereka masih memiliki cita-cita luhur bersama sebagai bangsa Indonesia untuk masa depan yang lebih baik? Lantas, upaya apa yang dilakukan diaspora Indonesia untuk mewujudkan cita-cita bersama bangsa Indonesia? Apakah itu sumbangan dana bencana, uang zakat dan infak yang disalurkan ke Indonesia, investasi properti dan bisnis di Indonesia, atau tabungan rupiah mereka yang membuat mereka sering dipuji oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai pahlawan devisa? Namun, selain itu semua, bagaimana partisipasi diaspora dalam menghadapi pesta demokrasi Indonesia, yakni pemilu?
Dalam pertemuan sosialisasi pemilu dengan Panitia PPLN dari wilayah KJRI New York pada malam Sabtu menjelang Minggu pagi di Masjid Al-Falah Philadelphia, Ketua PPLN New York Bapak Indryo Sukmono menyatakan bahwa pendaftaran terakhir untuk peserta pemilu akan jatuh pada tanggal 20 Juni. Ini adalah kunjungan pertamanya ke Philadelphia tahun ini sejak terpilih kembali dalam seleksi administratif KJRI New York pada Januari lalu, untuk menjadi Ketua PPLN New York . Yang menurut postingan Facebook mereka mencakup 13 negara bagian yaitu New York (NY), Connecticut (CT), Maine (ME), Massachusetts (MA), New Hampshire (NH), Rhode Island (RI), Vermont (VT), Delaware (DE), New Jersey (NJ), Pennsylvania (PA), North Carolina (NC), South Carolina (SC), Virginia (VA), dan West Virginia (WV).
Ketika diminta keterangan berapa jumlah yang sudah terdaftar, beliau tidak bisa memberi keterangan, namun berdasarkan asumsi dari pengalaman 2019, angka di Philadelphia sekitar 246 orang dan di New York City sekitar 700 orang. Sementara dari negara bagian tempat dia berdomisili, Connecticut, dia mengatakan ada 5 pendaftar. Ketika diminta keterangan lebih lanjut tentang jumlah penduduk Indonesia di wilayah Connecticut, dia menjawab ada sekitar 600 penduduk. Jumlah pendaftar yang hanya 5 menjadi angka yang jauh dari harapan untuk wilayah kediaman Ketua PPLN tersebut. Dan ketika beliau ditanya berapa jumlah penduduk Indonesia di 13 negara bagian yang di-naungi  PPLN New York, dia tidak memiliki data dan berjanji akan berkoordinasi dengan pihak KJRI untuk menerbitkan data tersebut, namun hingga 14 hari kemudian belum ada kabar.Â
Dalam obrolan via telepon yang tidak mau dikutip, pihak KJRI New York memberikan gambaran ada sekitar 14.000 orang untuk wilayah East Coast (Pantai Timur AS) untuk 13 negara bagian, sementara di West Coast (Pantai Barat AS) ada sekitar 15.000 orang.
Ketimpangan antara jumlah warga Indonesia yang tinggal dengan jumlah warga yang terdaftar menjadi pemilih sangat signifikan dan seharusnya menjadi perhatian. Baik dari pihak Ketua PPLN yang telah menjadi ketua beberapa kali, seharusnya ada evaluasi dari tiap pemilu. Seperti yang saya sampaikan kepada pihak Humas KJRI New York, jika ada satu negara bagian yang hanya memiliki 5 pendaftar, seharusnya itu menjadi perhatian dan disampaikan ke Pokja PLN (Kelompok Kerja Pemilih Luar Negeri) agar mereka bisa mengevaluasi apakah ada kesalahan dalam sosialisasi, atau ada kesulitan dalam pendaftaran, atau ada permasalahan lainnya.
Masalah terbesar dalam fenomena ini adalah ketika berbagai pihak melihat minimnya antusiasme untuk mencari informasi soal pendaftaran pemilu sebagai hal yang wajar dan tidak ada respon tahun ke tahun. Seolah-olah mereka yang menyeberangi lautan telah tercuci nasionalismenya dan luntur ideologinya dan partisipasi mereka hanya terbatas pada mengimbangi neraca dagang dengan mengirimkan tabungan mereka ke Indonesia.