Siang itu, mata pejamku terbuka karena panas kamar tak berkipas angin seolah mengetuk tidurku. Bangunkan aku seperti memaksa menendang-nendang. Aku bangun, bergegas menatap jam dinding yang saat itu menunjuk hampir ke angka 12. Punggungku terasa basah karena keringat. Juga keningku, harus basah karena luapan keringat. Benar, siang itu teramat panas. Sepertinya sistem pertahanan atap rumahku berhasil dilumpuhkan panas. Panas berhasil merebut tirani kesejukan dalam kamar kala itu.
Bergegas aku bangun dari kasur kapuk tak beranjang yang menjadi teman setia saat indah terlelap. Teko alumunium di dapur adalah tujuan pertamaku. Ya, tanpa ampun kuhabiskan 2 gelas air putih kala itu. "Ah mantabbsss..," pikirku sesaat setelah meredam deruan dahaga dengan 2 gelas air putih tersebut.
Tapi kau tahu? sepi. Benar, rumahku terasa sepi. Tak ada siapa-siapa di rumah. Sepi! Benar, aku tak mendengar deru laju mesin, ceria bebek-bebek bernyanyi milik paman atau pun riuh gembira anak-anak di halaman depan rumahku.
Pintu dapur yang bisa menembus ke halaman belakang kubuka. Aku berjalan sejauh 20 meter ke arah jalur pipa gas milik Pertamina yang difungsikan juga sebagai jalan setapak yang sering dilalui kendaraan roda dua. Aku pandang sekelilingku, sejauh mungkin kutugaskan mataku untuk melihat. Tapi gagal, mataku tak berhasil menangkap objek bergerak satu pun. Baik manusia maupun hewan, tak berhasil kulihat. Pangkalan ojeg yang jaraknya sekitar 50 meter dari tempatku berdiri terlihat kosong-melompong. Tak ada satu tukang ojeg pun menjajakan jasa kuda besinya. Warung di samping pangkalan ojeg pun tutup. Pun dengan jalan aspal kampung di depannya, tak ada satu kendaraan lewat. "nggak mungkin," sudah sekitar 5 menit aku berdiri, menatap panik ke sekeliling arah, aku tak melihat siapa-siapa.
"Nggak mungkin kayak gini. Ini pasti mimpi!" kepanikan memaksaku kembali ke dalam rumah. "28 Day's Later, gila... ini kayak 28 Day's Later!" pikirku semakin panik di balik pintu dapur yang baru saja kututup.
"Keluarga," kata itulah yang terlintas. Aku periksa seluruh ruangan dalam rumah. Bersama keringat ketakutan, aku lantang berteriak memanggil setiap anggota keluarga. "Ngehe...! Pada kemana semuanya nih...!" Aku tendang dengan keras salah satu pintu lemari yang terbuka. Tetap saja, rumahku sepi. Tak ada seorangpun di rumah kecuali aku, satu-satunya makhluk hidup diantara riuhnya benda mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H