Kebijakan publik adalah proses pengambilan keputusan oleh pemerintah yang didasarkan oleh kebutuhan dan dorongan dari publik terkait dengan bidang tertentu. Kebijakan yang dibentuk bisa berupa formal atau informal yang dibentuk berdasarkan dua faktor, yaitu Pemerintahan dan Tata Kelola Pemerintah dan Pengaruh Internasional. Meskipun begitu, tidak semua permasalahan dapat ditanggapi dengan merancangkan kebijakan publik. Kebijakan yang akan dirancang harus memenuhi syarat berikut,
- Kebijakan diharuskan untuk menyelesaikan permasalahan di lingkungan masyarakat dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
- Kebijakan harus dibentuk sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
- Kebijakan publik harus bisa fleksibel untuk beradaptasi dan mempertimbangkan kemungkinan di masa depan.
- Terdapat proses sosialisasi agar kebijakan dapat diterima dengan baik, dan
- Adanya evaluasi yang dilakukan setelah implementasi kebijakan.
Berdasarkan kebutuhan kebijakan yang telah disebutkan di atas, ada salah satu isu yang sempat merekah dan banyak diperbincangkan yaitu terkait dengan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah sebuah tindakan kekerasan yang melibatkan kontak fisik atau verbal yang tidak diinginkan dan merujuk ke ranah seksual. Isu kekerasan seksual adalah isu yang sudah lama diperbincangkan dan selalu menjadi topik yang tidak pernah habis dibahas. Namun, selain dengan banyaknya isu yang menjadi topik perbincangan, nyatanya kekerasan seksual juga marak terjadi di sekitar kita. Kasus kekerasan seksual biasanya menargetkan perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan manula karena mereka dianggap rentan dan cukup mudah untuk dijadikan korban. KOMNAS Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2012, sudah terjadi 4.336 kasus kekerasan seksual yang mana 2.920 kasus terjadi dalam ranah publik. Banyaknya kasus yang terus meningkat dengan minimnya tindak lanjut menunjukkan bagaimana sulitnya penghapusan kekerasan seksual pada masa itu, mengingat bahwa masih tingginya sifat patriarki ditambah dengan kebiasaan menyalahkan korban yang membuat seakan tidak mungkin ada solusi atau jalan keluar.
Tujuan yang diharapkan dari adanya kebijakan publik ini dapat dilihat dari keinginan untuk mengurangi kekerasan seksual dan dapat memberikan sanksi yang sepadan terhadap pelaku. Nilai, kesempatan, dan keadaan yang diharapkan adalah keamanan, kesejahteraan, dan keadilan. Rumusan operasional dan tujuan masa depan yang diharapkan adalah adanya penurunan terhadap pelaporan kasus kekerasan seksual, tingkat keberanian masyarakat untuk melaporkan kekerasan seksual, dan juga pemberian sanksi yang sesuai untuk pelaku kekerasan seksual. Dalam perencanaannya, sebenarnya rancangan kebijakan ini tidak memakan banyak biaya, tetapi, dalam pelaksanaannya cukup memakan biaya karena adanya restitusi untuk korban yang diberikan oleh pelaku yang bersangkutan.
Derajat urgensi dari diberlakukannya kebijakan ini adalah untuk mencegah adanya penambahan atau peningkatan pelaku kekerasan seksual, mengingat bahwa semakin tahun semakin tinggi tingkat kekerasan seksual yang dialami oleh masyarakat terutama perempuan, anak-anak, manula, dan penyandang disabilitas bahkan di tempat umum. Metode perumusan yang digunakan pemerintah dalam melakukan formulasi kebijakan ini adalah dengan melakukan pemantauan data dari KOMNAS perempuan terkait dengan korban pelaku kekerasan seksual sekaligus dengan memantau respon masyarakat luas selaku pendorong kebijakan publik. Selain itu, pemerintah juga melakukan evaluasi terkait dengan rancangan kebijakan yang masuk dalam daftar prioritas dan darurat. Hal ini dilakukan oleh pemerintah karena kebijakan yang dirancangkan adalah kebijakan yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Kebijakan ini akhirnya dapat disahkan melalui waktu yang sangat panjang. Pada tahun 2012, KOMNAS Perempuan melaporkan bahwa sudah ada 4.336 kasus kekerasan seksual yang terjadi. Hal ini mendorong KOMNAS Perempuan untuk mengajukan rancangan kebijakan ini dengan mulai menulis draf Undang-Undangnya pada tahun 2014. Pada tahun 2016, rancangan kebijakan ini akhirnya masuk kedalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas, yang berarti bahwa rancangan ini adalah salah satu prioritas untuk disahkan. Pada tahun 2017, akhirnya naskah ini diubah menjadi Rancangan Undang-Undang insiatif dari DPR dan sudah disetujui oleh 70 anggota DPR.
Namun, tahun 2018 keberlanjutan dari rancangan ini sempat terhambat, mengingat bahwa pada tahun 2019 akan terjadi pemilu yang membuat berubahnya kabinet dan anggota-anggota dari DPR yang akan membahas dan bahkan fokus dari pemerintahan sudah berubah menjadi kegiatan politik. Selain dari maraknya politik dan kegiatan pemilu, pada tahun 2019 juga terjadi penolakan karena banyak orang yang berspekulasi bahwa pembahasan mengenai seks masih sangat tabu dan apabila RUU ini disahkan, maka orang-orang akan semakin gencar dan merasa biasa dalam membicarakan topik tersebut, yang secara tidak langsung seakan-akan mempromosikan kegiatan zina. Setelah proses yang panjang, akhirnya pada tahun 2019 RUU ini dicabut dari daftar Prolegnas Prioritas dan bahkan RUU tersebut dihapuskan, sama sekali. Banyak pihak yang menganggap bahwa topik yang dibahas dalam RUU ini terlalu liberal dan sangat tidak sesuai dengan adanya hukum yang berlandaskan dengan Pancasila.
Setelah panjangnya proses demonstrasi dan banyaknya kritikan dan dorongan publik, akhirnya DPR mempertimbangkan ulang untuk memasukkan kembali RUU ini menjadi sebuah rancangan kebijakan. Mempertimbangkan banyak kritik, dorongan, dan dengan bantuan konsultasi dari banyak pakar dan ahli, maka pada 2020 RUU ini akhirnya Kembali menjadi salah satu rancangan kebijakan. Setelah melakukan evaluasi dan melihat kembali daftar rancangan kebijakan prioritas, pihak DPR akhirnya kembali memasukkan rancangan kebijakan ini dalam daftar rancangan Prolegnas Prioritas lagi. Hal ini juga akhirnya membantu pihak DPR dalam mengembalikan eksistensi dan akuntabilitas dari hukum dan keadilan di Indonesia. Hasil akhir dari proses rancangan ini berakhir baik dengan hasil disahkannya RUU ini menjadi kebijakan yang resmi dan sah berlaku mulai tahun 2022.
Kendala yang dihadapi dalam rancangan kebijakan ini sangat beragam, dimulai dengan hambatan sosiokultural dimana kebanyakan sifat masyarakat yang sering menyalahkan korban dengan berbagai alasan, ada juga masyarakat yang menganggap bahwa hal ini justru memberi 'panggung' untuk perbuatan zina dan sebagaimana topik ini masih menjadi tabu, lalu bagaimana masyarakat LGBT (Lesbian, Gay, Bi-sexual, and Transgender) dapat menggunakan kebijakan ini sesuai dengan keinginan mereka, hambatan waktu yang sangat lama baik karena faktor politik dan sosial, dan bahkan masih ada juga pandangan patriarki yang cenderung mendahulukan laki-laki dan membungkam perempuan.
Efek samping dari diberlakukannya kebijakan penghapusan kekerasan seksual ini sangat beragam, sangat banyak respon pro dan kontra yang diterima. Tetapi, kebanyakan dari efek samping yang terjadi adalah hal yang positif. Efek samping dan resiko kurang baik yang mungkin terjadi adalah secara personal dalam masyarakat, karena dengan adanya rancangan kebijakan yang baru ini semakin mendorong masyarakat atau korban yang pernah mengalami kekerasan seksual akan melapor. Dengan pandangan masyarakat yang masih konvensional, partriaki, dan cenderung menyalahkan atau menyudutkan korban, maka bagi korban sendiripun masih ada perasaan ketakutan atau kemungkinan resiko yang mungkin dialami.
Sumber:
Kartini Haniandaresta, S. (2024). Formulasi Kebijakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jurnal Integrasi Ilmu Sosial Dan Politik, 2. https://doi.org/10.62383/sosial.v1i2.215