Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Politik

Media Massa, Dahulu dan Kini

10 April 2012   02:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:49 1820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap hari di negeri kita tercinta ini, dari Sabang sampai Merauke, pastilah selalu ada kejadian-kejadian, baik kejadian yang baik maupun kejadian yang tidak baik. Wilayah negara yang sangat luas ini, tidak menjadi halangan bagi masyarakatnya untuk mendapatkan informasi tentang kejadian-kejadian tersebut. Hal tersebut terjadi karena media massa di negeri ini sudah berkembang dengan sangat pesat, apalagi sejak era reformasi datang di negeri ini. Kondisi yang sebaliknya terjadi sebelum era reformasi ini datang, setiap informasi yang disampaikan kepada masyarakat sudah melalui sebuah alat filtrasi dari pemerintah. Pada saat itu, prinsip dari pemerintah adalah “all news about goverment must be a good news”.

Era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru, membawa angin segar dalam hal keterbukaan informasi kepada publik, atau masyarakat. Hal ini merupakan bagian terpenting dalam membangun pondasi sebuah negara yang baik, terlebih dengan sistem demokrasi yang memang menjadi dasar di negeri ini. Kebebasan pers, istilah yang kini kita kenal, merupakan sebuah hadiah bagi masyarakat yang telah bersabar, karena harus menerima kenyataan tidak mendapatkan hak atas informasi dalam waktu yang cukup lama. Padahal masyarakat, dalam fungsi pemerintahan ini adalah sebagai pengawas atas jalannya sebuah pemerintahan. Kebijakan melakukan filtasi ketat dalam hal informasi kepada masyarakat akhirnya yang membuat rezim orde baru jatuh, ketidakadaan pengawasan dari masyarakat memunculkan celah yang dimanfaatkan oknum pemerintah untuk bertindak korup.

Kondisi saat ini, media dalam menjalankan tugasnya mendapatkan perlindungan hukum yang sangat memadai, terlebih dengan keberadaan dewan pers. Media diberikan akses untuk meliput apapun kejadian di negeri ini. Hanya membutuhkan hitungan menit saja bagi media untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa yang terjadi kepada masyarakat, bahkan rapat kabinet, rapat paripurna, sampai sidang suatu perkara disiarkan secara live di televisi. Kondisi seperti ini seakan memanjakan masyarakat dalam mendapatkan informasi atau berita.

Lalu muncul pertanyaan, sudah idealkan kondisi saat ini? Benarkan media sudah berperan sesuai dengan fungsinya? Rasanya belum. Dalam hal apa media belum berperan sesuai fungsinya? Jawabannya adalah dalam hal independensi. Independesi merupakan modal utama bagi media massa dalam menjalankan fungsinya, hal ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara berimbang, dan tidak memihak.

Dulu, pada rezim orde baru, media yang digunakan sebagai penyampai informasi adalah TVRI untuk media televisi dan RRI untuk media radio, yang notabene merupakan media massa ber-plat merah, milik pemerintah, sehingga informasi yang disampaikan mungkin terasa tidak berimbang. Namun keuntungannya, masyarakat akan lebih terkontrol, pemerintah sadar bahwa masyarakat Indonesia masih sangat mudah menerima provokasi, people power menjadi momok yang sangat menakutkan.

Sekarang, TVRI dan RRI memang masih ada, namun mungkin sudah banyak masyarakat yang sudah beralih kepada media televisi atau media radio swasta, yang terus bertambah setiap tahunnya. Dengan munculnya media massa swasta, khususnya media televisi, sudahkan hal ini membawa semangat independesi dalam memberikan informasi?, kita pasti kemudian akan tersenyum karena sama-sama mengetahui jawabannya, masih tetap tidak independen.

Apakah faktor yang menyebabkan media televisi swasta pun tidak dapat menegakkan semangat independensinya? Tidak lain tidak bukan karena kepentingan yang dibawa oleh pemilik masing-masing. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di negeri ini ada dua group media massa yang sangat vokal dalam mengkritisi apa yang dilaksanakan oleh pemerintah. Bukan sesuatu yang buruk memang memberitakan tentang aktivitas pemerintahan, karena informasi yang disampaikan kepada masyarakat akan menjadi alat pengawasan yang baik bagi jalannya pemerintahan, sesuatu yang tidak ada pada rezim orde baru. Lalu apa masalahnya? Masalahnya adalah ke-vokal-an media televisi tersebut dalam mengkritisi pemerintah sering tidak konsisten ketika sang pemilik memiliki kepentingan pada suatu hal. Misalnya, salah satu media televisi yang biasanya sangat anti pemerintah, dan sangat pro terhadap aksi masyarakat menentang pemerintah, tiba-tiba berubah haluan dalam kasus PSSI, yang notabene bagian dari pemerintah, media televisi ini menjadi berpihak kepada PSSI. Kenapa demikian? Karena sang pemilik merupakan kolega dari sang ketua umum yang sedang digugat mundur. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus lumpur Lapindo.

Salah satu media televisi yang lain pun demikian, sang pemilik sudah diketahui bersama baru saja membentuk sebuah partai baru, yang dengan efektifnya disiarkan secara gencar melalui media televisi miliknya. Media televisi ini bahkan lebih kritis lagi dalam menyikapi semua kejadian dalam pemerintahan, bahkan lebih cenderung menjatuhkan. Entah apa niatan dibalik semua hal tersebut, memang hanya sang pemilik dan stafnya yang tahu.

Secara keseluruhan, media massa saat ini memegang prinsip “bad news is a good news”, yang artinya semua hal yang mengandung informasi yang tidak baik, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, malah akan menjadi berita yang baik, dalam hal akan mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat. Sebuah iklim yang pastinya akan memunculkan kondisi yang tidak kondusif karena media massa kemudian akan cenderung mencari-cari kesalahan.

Kita pasti menyadari, kecenderungan dari media massa yang hanya menyampaikan informasi tidak baik, akan menciptakan ketidakseimbangan pemberitaan di negeri ini. Masyarakat akan terus tersugesti bahwa pemerintah yang ada di negara ini sangat buruk dalam menjalankan fungsinya, karena hanya itu informasi yang masyarakat dapatkan. Sudah sangat jarang kita mendengar tentang kesuksesan program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah. padahal dukungan masyarakat merupakan motor penggerak utama yang menentukan berhasil atau tidaknya tujuan ingin dicapai oleh pemerintah.

Sampailah kita pada sebuah pertanyaan, lalu mana yang lebih baik, media massa dulu atau kini? Karena keduanya membawa efek yang berbeda, memiliki keuntungan namun tetap membawa kerugian masing-masing. Apakah artinya tidak ada jalan yang dapat diambil untuk memperbaikinya? Mari jangan cepat berputus asa, bila kita mau berpikir dan berusaha pasti akan ada hal positif yang didapatkan. Faktor kunci dalam permasalahan ini sebenarnya bukan pemilik media massa, atau siapa yang ada dibelakangnya, faktor kuncinya adalah masyarakat. Siapa masyarakat yang dimaksud? Itu adalah kita, ya benar, kita semua. Kita harus yakin bahwa kita tidak bodoh, kita dapat menelaah dan menganalisa informasi yang disampaikan di media massa apakah relevan dan logis atau tidak, dengan cara itu. Ketika memang benar terjadi propaganda dari media massa, kita sudah tahu dan tidak perlu repot memikirkannya, jadi kesimpulannya, apapun kata media massa, tetap kitalah yang berhak memutuskan, apa yang harus kita tahu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun