Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ndalem Mbagusan

13 September 2013   12:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:57 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ndalem Mbagusan

Merantau, jauh dari orang tua, bukanlah hal yang gampang, kita harus ngurus sendiri semua hal, dari yang sepele sampai hal yang penting sekali pun. Hal ini akan terasa lebih berat lagi kalau sebelumnya kita termasuk anak yang manja, kebayang gimana beratnya adaptasi di tanah perantauan tanpa orang tua di deket kita. Tapi dari pengalaman yang gue pernah alami, ternyata jadi anak perantauan, anak kos, enggak terlalu susah selama kita bisa nemuin lingkungan yang nyaman. Gue termasuk orang yang beruntung bisa ada di dalam lingkungan yang nyaman itu, di tengah temen-temen kos yang nyenengin, dan rada sakit jiwa.

Gue tinggal satu kos sama tujuh orang yang secara sifat, tampang, dan nasib beragam banget, tapi kami punya satu kesamaan, kami rada sakit jiwa. Tindak tanduk dan polah kamilah yang mengindikasikan kesehatan mental dan jiwa kami yang sebenarnya justru sakit itu. Sebagai salah satu contohnya aja, gue inget banget, gimana tiba-tiba muncul ide brilian buat namain kos kami, dengan tujuan biar lebih gampang diinget orang dan keuntungan lainnya, penamaan tersebut kelak menjadi doa bagi kami dan berujung pada pengakuan dari orang-orang.

Kami sengaja menamakan rumah kos kami ‘Ndalem Mbagusan’, yang artinya rumah yang isinya orang-orang ganteng. Agak kontroversial memang, tapi berhubung kita ada di Indonesia, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, enggak ada yang bisa protes. Alhasil, tujuan kami tercapai, kosan kami jadi terkenal, dan juga, mau enggak mau meskipun dengan berat hati, setiap orang nyebut kami anak-anak ‘Ndalem Mbagusan’ alias rumahnya orang-orang ganteng. Berdasarkan penamaan kos kami ini, sebenarnya perlu dicermati lagi siapa yang bener-bener sakit jiwa, kami atau mereka yang rela dan ridho manggil kami Ndalem Mbagusan. Soal nama udah, sekarang beranjak pada persoalan lain yang sangat kosawi, atau khasnya dialami anak-anak kos. Eits! Lagi-lagi enggak protes ya.

Hal yang erat banget dengan derita anak kos itu adalah soal makan. Dulu, waktu gue di rumah, gue enggak pernah menganggap soal makan itu berat. Gue laper, gue tinggal makan, udah ada Mama yang nyiapin. Sekarang, jadi anak kos semuanya berubah drastis, kalau gue diem aja, ya gue enggak akan makan, yang ada gue bisa kena liver. Enggak tau juga deh ada hubungannya apa enggak laper sama liver. Tapi sekali lagi, penghuni Ndalem Mbagusan ini memang penuh dengan kegiatan akal-akalan. Gue inget banget, setiap jam makan, entah itu pagi, siang, atau pun malem, secara kompak delapan orang di rumah kos ini saling nunggu, ngelihat sinyal siapa yang kira-kira mau beli makan. Sedikit aja ada yang nunjukin tampang laper dan pengen beli makan, bisa secara refleks penghuni lain langsung membombardir dengan kata,” Nitip…!”. Kita sebut aja si orang yang dititipi dengan sebutan ‘korban’.

Beruntungnya, gue mungkin punya bakat akting, setiap jam-jam rawan itu, gue selalu pura-pura sibuk, dan masang tampang enggak laper padahal cacing dalam perut udah bergembus ria. Gara-gara teknik gue itu, gue jadi jarang banget kena ‘giliran’ dititipin makan, singkatnya gue jarang jadi korban. Gue bukannya anti sosial enggak mau dititipin makan, tapi pengalaman sebelum-sebelumnya, anak-anak itu kalau nitip enggak pakai perasaan. Mereka enggak nanya dulu kita mau beli makan dimana, eh udah diberondong aja sama pesenan mereka. Masalahnya, titipan makan mereka itu bisa jadi (dan seringnya) di tujuh tempat yang berbeda, bisa jadi delapan kalau yang si korban juga beda kepengenannya. Kebayang kan, kita udah capek-capek dititipin, masih harus pindah-pindah tempat sesuai pesenan. Nah, ini masih diperparah kondisi kami di rumah kos yang enggak ada kendaraan, artinya kemana-mana si korban harus jalan kaki, lebih kejam dari romusha memang. Gimana enggak, lah wong laper mau makan eh malah masih harus jalan kaki sana sini.

Bersyukurnya, kami semua menyikapi kegiatan ‘bullying’ ini sebagai kegiatan lucu-lucuan, jadi sejauh ini enggak pernah ada masalah di kemudian hari. Malahan, ada cerita lucu juga waktu gue nemenin salah satu penghuni yang jadi korban dititipin. Waktu itu gue sama Gigih mau beli nasi goreng pertama kalinya di tempat yang konon katanya nasi gorengnya paling enak. Sesampainya di sana, Gigih yang pesen, si ibu penjual dengan sigapnya kemudian memainkan wajan sama sodetnya, bikin masterpiece yang udah terkenal itu. Tapi anehnya, justru bukan nasi gorengnya yang menyita perhatian gue, tapi justru gue terpesona sama ibu penjualnya. Gue lirik Gigih, dia juga kayaknya mikir hal yang sama, dan ini malah bikin gue mau ketawa, tapi enggak mungkin gue lakuin, bisa-bisa gue dilempar nasi beserta wajannya sama itu ibu tukang nasi goreng. Tapi gue emang paling lemah iman dalam urusan nahan ketawa. Sepuluh menit berikutnya jadi sepuluh menit yang berat banget buat gue selain nongkrong di wc padahal lagi sembelit. Tobat!

Nasi goreng udah di tangan, kami berdua pun melangkah pulang ke kos, kira-kira dua puluh meter dari tempat nasi goreng, gue sama Gigih secara bersamaan ketawa. Kami tertawa seakan-akan kami telah menuju nirwana. Lepas dan terpingkal-pingkal plus terjungkal-jungkal. Penasaran kenapa Gigih juga ketawa, gue tanya ke dia.

“Gih, kenapa ketawa? Jangan-jangan kita mikir hal yang sama ya?”

“Ha ha ha, pasti gara-gara ibu penjualnya kan?” jawab Gigih.

“Iya, apa tuh judulnya?”

“Iya bener, apa ya judulnya, bentar gue inget-inget dulu.” kata Gigih.

Beberapa menit kemudian, kami serentak berteriak.

“Oh iya, Ten Brothers…!” itulah judul film yang ngingetin kami berdua ke ibu tukang nasi goreng tadi.

Bukan bermaksud jahat, tapi ibu penjual nasi goreng tadi memang ngingetin kami berdua ke salah satu karakter di film Cina yang judulnya Ten Brother, si mulut besar. Jadi, sepuluh menit tadi, kami berdua ternyata mikir hal yang sama, dan sama-sama harus nahan jangan sampai ketawa di sana. Setelah sampai di kos, kami ceritain pengalaman kami tadi, dan sesuai dugaan semua anak kos yang gue ceritain ketawa menuju nirwana. Mulai saat itu juga, kami nyebut warung nasi goreng itu, nasi goreng Ten Brothers.

Enggak cuma nitip beli makan, lama kelamaan kegiatan nitip ini berkembang sampai ke nitip nyetrikain baju kuliah. Biasanya ini bisa dilakukan kalau yang lagi nyetrika si Eko. Awalnya Gue heran kenapa Eko mau dititipin, tapi setelah gue pikir-pikir, mungkin Eko kena sindrom suka nyetrika, gue yakin itu, soalnya mana mungkin ada orang normal yang dengan lapang dada mau dititipin setrikaan? Tapi di hati kecil gue, gue yakin itu sindrom enggak bahaya. Justru bakal bahaya kalau sampai sembuh, gue terancam pakai baju kusut, soalnya gue lah yang paling sering nitip setrikaan.

Seakan kosan kami sangat lekat dengan hal-hal berbau nitip, puncak kekonyolan soal nitip di Ndalem Mbagusan ini muncul waktu Anto lagi nyuci. Entah sengaja atau enggak, ada celana dalam yang masuk di rendaman cucian Anto. Berhubung Anto hafal semua cuciannya, dia nemuin keanehan, karena ada barang tak dikenal di dalem rendaman cuciannya.

“Eh, sempak (celana dalam) siapa nih? Kok masuk di dalem rendeman bajuku?!” kata Anto penuh penasaran layaknya Conan yang sedang berusaha memecahkan kasus.

Kami semua kebetulan memang ada di kos waktu itu. Pertanyaan Anto tidak menemui jawaban, enggak ada satu pun di antara kami yang ngaku. Semua hening. Gue jelas bukan, gue soalnya hafal banget semua sempak gue, dan kalau pun itu ternyata punya gue, gue juga enggak bakal ngaku sih, he he he. Keheningan itu akhirnya menemui titik terang pas Brus (bukan nama sebenarnya, dipanggil brus soalnya gaya rambutnya mirip Bruce Lee) penasaran dan ngeliat lebih deket benda asing itu.

“Oh, sori, To, itu sempak-ku ternyata, enggak tahu kok bisa gabung ke situ!” kata Brus dengan muka merah.

“Ahh, ada-ada aja lo Brus!, masa sempak bisa jalan-jalan sendiri!” respon Anto sambil nyelepetin sempak basah berbusa.

Kejadian ini bikin kami semua ketawa ngakak, tapi yang bikin kami hampir resmi ngontrak sementara di Grogol adalah setelah Anto tahu siapa pemilik sempak itu, dia memilih untuk tetep ngelanjutin nyucinya, dan sempak itu tetep dia cuci, amazing!. Anto memang berhati mulia, gue jadi kepikiran buat ngelakuin hal yang sama kayak Brus lain waktu, tapi bukan cuma sempak, gue mau nitip singlet beserta miniset gue, eh?!.

Rumah kos Ndalem Mbagusan ini memang selalu penuh dengan kejadian-kejadian konyol, wajar memang, karena penghuninya pun enggak ada yang waras. tapi ternyata, selain banyak kejadian konyol, rumah kos ini juga jadi saksi bisu kejadian yang langka, yang mungkin enggak akan terjadi di tempat lain. Dari awal masuk di kos ini, kami langsung membagi jadwal untuk beberapa hal, dari mulai bersihin WC, nyapu rumah, bayar listrik, sampai soal ngunci pintu gerbang. Kejadian langka ini terjadi tepat waktu jatah gue sama Mono (yang ini nama sebenarnya kok) yang kebagian jatah ngunci pintu gerbang. Entah kenapa, malam itu gue ngantuk banget, dan begitu juga semua penghuni kos ini, enggak kayak biasanya yang justru tidur sebelum subuh karena begadang semalaman. Tapi kali ini herannya, kami semua baru bangun waktu jam udah nunjukin angka enam pagi.

Belum ngumpul nyawa gue, kami udah denger teriakan dari Galih yang lagi ada di luar buat buang sampah.

“Hei…! Liat keluar deh, samping rumah ada rame-rame tuh!”

Kami pun buru-buru lari keluar rumah, dan ternyata sebelah rumah memang udah banyak orang pada ngumpul. Entah antrian imunisasi posyandu atau mereka emang lagi pada hang out aja pagi-pagi buta.

“Kenapa Lih?” tanya Adit.

“Sebelah rumah kita kemalingan tadi malem, lewat jendela yang deket sama rumah kos kita.” Jelas Galih.

“Bukannya pagar rumah sebelah itu tinggi ya? kan susah manjatnya.” tanya Adit lagi.

“Iya memang bukan manjat pagar sebelah itu, tapi lewat rumah kos kita ini, tuh, pintunya enggak dikunci.”

Gue sama Mono yang awalnya masih ngantuk-ngantuk tiba-tiba langsung melek, kami baru sadar kalau jatah ngunci pintu gerbang malam tadi itu kami berdua dan kami lupa. Secara enggak langsung kami yang bantuin itu maling masuk ke rumah sebelah.

“Tapi katanya sih enggak ada berhasil diambil kok, soalnya jendelanya ada teralisnya.” Penjelasan Galih yang bikin gue tenang.

“Alhamdulillah!” teriak gue sama Mono, sebagai orang yang merasa jadi antek maling itu.

“Lho, kok malah kalian yang seneng?” tanya Adit keheranan.

“Ya gimana lagi, gue sama Resa yang lupa ngunci pintu soalnya.” Jelas Mono.

“Wah, pantesan aja kalian berdua dari tadi diem aja, ternyata ketakutan ya! ha ha ha!” ejek Galih.

Enggak ada yang dicuri, itu yang bikin kami semua tenang, terutama gue sama Mono. Kami pun masuk ke rumah. Karena penasaran, gue ngecek lagi TKP si Maling manjat, masih kelihatan bekas jendela yang sempet dibobol. Pas gue mau masuk ke rumah, ada satu benda yang menyita perhatian gue, benda yang sebelumnya enggak pernah gue lihat, sendal jepit butut.

“Eh, ini sendal siapa? Kok ditaruh disini!” teriak gue dari luar.

Enggak lama, anak-anak kos beriringan nyamperin gue.

“Sendal apaan sih?” tanya Anto, yang baru bangun.

“Ini nih, sendal siapa?” kata gue nunjuk ke arah sendal ‘asing’ itu.

Yang mengherankan, enggak ada yang ngaku punya sendal itu. Aneh banget, sendal ini bukan milik salah satu dari delapan orang di rumah kos.

“Terus punya siapa dong?” tanya Eko.

Gue mencoba menganalisis, dan setelah gue lihat dari letak dan posisi sendal itu, gue baru sadar, sendal itu punya si maling. Gue yakin setelah tahu dia gagal nyolong, mungkin dia panik dan kabur gitu aja tanpa inget masih ada sendalnya yang ketinggalan. Waktu gue jelasin analisis gue, semua anak kos setuju, karena cuma itu alasan satu-satunya yang masuk akal.

“Jadi, kasian banget ya, udah lah gagal maling, eh malah kehilangan sendal tu maling ya!” seloroh Brus. Sontak kami pun ketawa ndengerinnya.

“Eh, atau jangan-jangan dia cuma nitip aja? Jadi nanti kalau udah tahu caranya bobol teralis jendelanya, dia balik lagi, sambil bawa lagi sendal itu.” Kata Gigih.

Ketawa kami tiba-tiba berhenti dan mendadak pucet. Bener juga, jangan-jangan maling itu memang cuma nitip ke kami. Ya, lagi-lagi ini soal nitip, seakan kosan Ndalem Mbagusan ini enggak bisa jauh dari hal berbau nitip. Tapi masalahnya ini maling yang nitip, kalau begini caranya, gue lebih mending dititipin beli makan, setrika, atau bahkan gue lebih milih dititipin nyuci sempak aja daripada dititipin sendal sama maling.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun