Mengalur dalam perjalanan politis, mencoba untuk membuka mataku terhadap dunia. Sejak SMP, aku menyingkap segala ajaran atau pemahaman yang terkesan memaksa, doktrin, dan menyempitkan ruang imajinasiku.
Aku pernah menulis pandanganku mengenai G30S saat masih duduk di bangku SMP. Mencoba untuk mengontradiksi kawan-kawan sebaya yang tampak normie bagiku.
Contohnya, mereka berlagak menjadi fasis atau nazi karena ideologi tersebut yang menjadi lawan ideologi komunis atau bahkan hanya karena mereka menghabisi Yahudi.
Aku terus menjelajahi bagian dunia lain yang gelap dan terabaikan, tidak terjamah kurikulum sekolah atau terjamah dengan cara yang salah.
Meski aku menyadari tidak dapat menjalani garis hidupku sepenuhnya dengan pengetahuan tersebut, tetapi setidaknya aku memiliki bekal dan wawasan akan kehidupan.
Memasuki bangku SMA, aku merasa beruntung ditemukan dengan guru-guru muda yang meninggalkan pikiran-pikiran golongan tua yang memenjarakan isi kepala.
Mereka paham betul bahwa pengetahuan bukanlah kejahatan, dan memberikan hal tersebut pada murid-murid mereka ini adalah sebuah amal yang diperlukan.
Membeberkan kebenaran pahit saja tidak akan membuat seseorang melupakan rekayasa manis yang telah lama mereka tinggali. Melainkan sebuah tolak ukur atau pembanding yang tidak mutlak.
Kasus-kasus pelanggaran HAM semacam pembunuhan, penculikkan, korporat keparat, dan sebagainya telah menjadi makanan bagiku atau siapapun yang merelakan telinganya terbuka bersama dengan pikiran dan hatinya.
Kisah tersebut tampak klise dalam lembar sejarah, tetapi pembuktiannya mudah saja dengan membandingkan apa yang terjadi di masa saat ini.
Aktor-aktor yang berperan, terlibat, dan turut andil masih memiliki kendali di negeri ini. Tidak lain dan tidak bukan segala kisah serupa belakangan ini merupakan perbuatan mereka atau setidaknya adalah akibat daripadanya.