Saat ingin menuliskan cerita ini aku sedang bersiap untuk menghadiri kegiatan diskusi "berat", tentang pekerja anak, tetapi karena masih ada sekian waktu, kalau cuma jadi tulisan pendek, bisalah (mulai sombong deh ini).
Buku antologi yang cukup lama aku nantikan karena sebenarnya buku di batch berikutnya malah sudah tayang lebih dahulu. Buku ini aku nantikan karena temanya yang khas, perempuan. Aku pakai kata perempuan saja ya, selama ini lebih akrab dengan istilah itu.
Tak dipungkiri kalau tema ini bisa dibawa melow, galau sekaligus menunjukkan keberdayaan sosok perempuan. Kami yang diberi anugerah sebagai perempuan juga dibekali sifat dan kemampuan extra. Apa laki-laki tidak? Kali ini aku mau membahasnya dari kaumku, perempuan yang dengan tuntutannya seabreg, tetap harus punya akses untuk mengembangkan dirinya. Paling tidak itu menurut kacamataku, yang melihat ada banyak perempuan tidak bisa "obah" (bergerak) karena ikatan-ikatan yang ada dalam dirinya.Â
Ada banyak perempuan yang tidak bisa berekpresi, ada yang memang tidak boleh menunjukkan dirinya siapa, kemampuannya apa dan bahkan berbicara pun, terbatas. Sebuah webinar yang aku ikuti, memberikan pengalaman baru bahwa ada perempuan-perempuan yang ingin berdaya dan mengembangkan diri melalui tulisan. Kalau pakai istilah keren, literasi.
Salah seorang ibu mengatakan, dirinya bisa makin kaya ide dan semangat menjalani hari-harinya dengan menuangkan tulisannya. Awalnya ragu, tetapi ternyata media ini menjadi wadah dirinya berdaya, makin mengetahui diri dan kemampuannya. Dunia menjadi terang dan terbuka lebar.Â
Seorang ibu yang berada di foto yang aku sematkan ini adalah sosok guru di sebuah MI yang berlokasi di Desa Bagon, Jember. Dirinya bisa menyampaikan gagasannya sebagai pendidik di zaman kekinian, bahwa menjadi perempuan, apalagi guru, harusnya bisa menjadi model bagi siswanya. Kegemarannya menulis menjadikan beberapa buku antologi dan buku solo juga menjadi apresiasi bagi diri sendiri. Siapapun  bisa mewujudkan karya dan hasil itu bisa menularkan semangat literasi bagi anak-anak didiknya.Â
Buku yang aku pegang adalah bukti bahwa kekuatan mengenalkan literasi sejak diri mampu membuka pengalaman anak dan bisa menjadi bagian pencapaiannya, meski bukan prestasi akademik. Buku yang cantik karena ditulisi siswa-siswi secara natural membuktikan, anak punya kelebihan, potensi, minat, dan kemampuan jika diberikan akses dan pendampingan.Â
Perjalanan kali ini sangat sesuai dengan tema buku antologi Wanita-wanita Kuat yang mengisahkan perempuan dengan segala kerempongannya tetapi tetap bisa menyematkan karya walau hanya selembar.
Sosok perempuan yang kuat bisa jadi ada dalam diri kita, lo. Mungkin tertutup dengan kebisingan diskusi yang tak memberi ruang mereka bicara yang berkreasi. Buku, tulisan, coretan curhat atau sekadar puisi kegalauan nampaknya bisa jadi teman berekspresi, bahwa perempuan kuat itu mampu memikul tanggung jawabnya, tak lupa tugas utamanya tetapi tetap punya ruang bagi batinya untuk berteriak, "AKU MAMPU."
Salam literasi dari desa, kutunggu karyamu selanjutnya.
Perempuan kuat dari tiap-tiap rumah, tersenyumlah!