Mohon tunggu...
Fidel Hardjo
Fidel Hardjo Mohon Tunggu... -

pegawai swasta, bekerja di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PEMBANTUKU ADALAH PAHLAWANKU

15 November 2012   08:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:19 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fidel Hardjo

Jarum jam di tembok kelasku menunjukkan pukul 07.15. Itu berarti, sebentar lagi, anak-anak menenteng tas berat, masuk ke ruanganku. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Lembut sekali hentakan ketukannya.

Sebentar aku menoleh. Kulihat seorang siswi melongok, muridku juga. Dia dengan senyum lebar mendekati mejaku. Ia sodorkan tulisannya di sebuah kertas yang lesuh. Sepertinya, helai kertas itu dikucek-dikucek.

Aku sengaja membolak-balik kertas lesuh itu, sambil menatap mukanya. Anehnya, anak itu tak sedikit pun terlihat ekspresi kwahatir. Kwahatir, jangan-jangan aku marah.Sebaliknya, dia berdiri tersipuh. Diam sejenak.

Aku pelan-pelan membaca tulisan itu. Tetapi, ekor mata kiriku selalu mengawasi diam-diam apa yang terjadi dengan anak ini. Baru baca satu paragraf, aku tarik napas. Kini giliranku diam. Kok, tulisannya mengharu.

Aku dibikin kagok oleh tulisan bocah ini. Judul tulisannya, “Pembantuku adalah Bundaku”. Ini sebenarnya PR satu hari sebelumnya. Saking penasaran, bola mataku enggan melepas huruf yang berjejer tak rapi itu.

Habis, tulisannya berkelok-kelok. Maklum, dia menulisnya di kertas A4 putih polos. Tetapi, isi dan jalan ceritanya sungguh mengharu biru tiada duanya. Ia memulai tulisannya begini, pembantu itu bukan babu bodoh.

Kalau ada yang katain pembantu bodoh, aku tidak setuju. Pembantu itu Bundaku, tulisnya. Aku semakin penasaran. Aku mulai bertanya dia. Apa maksudmu, pembantu itu Bundamu?Abis, aku sayang dia, Sir.

Kok bisa?, tanyaku dengan sedikit merendah. Iya-lah Sir. Pembantuku sudah lama hidup dengan aku. Dia pun menyayangiku lebih dari ibuku. Oh begitu, ya. Lalu, aku lanjut membaca. Karena, tidak puas, aku pinta.

Bolehkah kamu menulis lagi masa lalumu, sampai kamu bisa mengatakan pembantumu adalah bundamu. Eh..terkejut ada isak tangis. Aku kaget. Shok. Takut. Dengan suara agak datar, aku bilang, Don’t cry!

Bocah ini langsung mengucek-ngucek air matanya. Aku pikir, stop sampai di sini. Aku pura-pura menengok Blackberry-ku yang kelap-kelip. Sambil baca pesan di BB-ku, aku cari akal, agar dia lekas tinggalin aku.

Tahu-tahunya, dia malah ambil napas berkata, “Sir, please don’t talk about my past”. Aku hanya bisa mengangguk. Takut dan gelap deh.Sekejap aku dibikin galau. Lalu dia geserkan kaki kanannya mendekat.

Mendekati aku dan berbisik setengah suara. “You know, Sir”. Why, sahutku. Mataku terpana pada mulutnya yang sedang berbicara. Since I was a baby, my Mom and my Dad had been divorced. Kayak petir deh.

Saat dia mengatakan itu, rasanya petir menghantam ubunku. Oh begini alasanya, sampai dia menulis Pembantuku, Bundaku. Aku diam merunduk. Kali ini aku menengok sepatunya, ikatannya terlepas terurai.

Ini trikku saja. Agar, dia rileks. Lanjutnya, “Ayahku sudah punya istri baru. Ibuku sudah punya suami baru”. Kamu tinggal dengan siapa kalau begitu, tanyaku. Aku diberi rumah oleh ayah dan dua orang pembantu.

Sejak saat itu aku merasa, kedua pembantuku adalah bundaku. Oh gitu, ya, responku ala kadar. Biar terkesan nyambung. Padahal, hati kecilku bergelora. Sampai teganya kedua orangtua anak ini meninggalkannya.

Aku mulai kurious tulisan bocah ini.Sekarang aku merasa lebih berani bertanya. Terus, siapa yang membiayai kamu? Makan, jajan, dan uang sekolah? Lalu, dia jawab sangat singkat, Ayahku. Ayah sering nelponku.

Hah? Sering nelpon, gugatku dalam hati. Aku punya dua bunda. Satu mobil kijang. Satu anjing kesukaanku. Sekarang aku diajarin sama bundaku (baca:pembantu) untuk tidak boleh marah sama ayah dan ibu.

Ayahku sudah tinggal dengan istri barunya. Ibuku, kata papa juga sudah punya suami barunya.Terus mengapa, kamu tak tinggal bersama ayah saja? Tanyaku serius. “Aku ogah jadi anak tiri”, sahutnya penuh pilu.

Pas aku mau tanya lagi, tiba-tiba bel masuk kelas berdering. Akhirnya, gadis ini dengan tergesa-gesa pamit dan lari menuju pintu keluar ruangan kelasku. Apalagi, ruangan kelasnya ada di dua lantai ke bawah.

Bel sial, tegasku. Kenapa saat asyik bicara, tiba-tiba diputus. Dan kini aku mulai mengajar. Tetapi, pikiranku tidak pernah tenang. Karena curhat anak tadi, seperti menggangu pikiranku. “Pembantu, Bundaku”.

Bocah tadi tentu tidak sendirian. Ada banyak anak di Jakarta dan kota besar lainya juga punya tren orangtua menyiapkan pembantu spesial untuk care anak-anaknya. Bahkan, segala urusan pendidikan diemban.

Pembantu di Republik pasti banyak. Mulai dari gedung istana sampai di rumah warga kampung, pembantu bertebaran. Nasib mereka tidak diperhitungkan. Tapi mereka punya andil besar menentukan jiwa negara ini. Salah satunya adalah pendidikan anak-anak di rumah-rumah bos.

Pembantu yang dulu hanya mengurusi masak, cuci, dan bersihkan rumah, kini sudah berubah. Pembantu menjadi “babu pendidikan”. Kadang alasan masuk akal. Orangtua sibuk mencari duit sepanjang hari.

Hampir setiap anak di sekolah “bermerek”, semua anak hampir memiliki pembantu. Setiap pagi, pembantu menghantar anak bosnya ke sekolah. Keluar dari mobil, tasnya ditenteng oleh pembantu sampai di pintu kelas.

Setelah usai kelas di sore hari, sejam sebelum bubar kelas, pembantu berjejal di depan pintu gerbang sekolah menanti anak asuhan mereka. Kadang masalah anak di sekolah dititip kepada pembantu. Kan, dibayar.

Sampai di rumah, anak-anak mengerjakan PR. Pembantu stand by menolong. Anak ada berantem, pembantu lekas melerai dan menasihati. Anak-anak sedih, dihiburi, juga tugas pembantu. Anak ribut, ditegurin.

Anak ganti pempes, pembantu sudah pasti siap gesit. Anak pengen makan sate, dimasakin. Bahkan, mengajarkan tentang impian masa depan anak,pembantu. Apa-apa pembantu, ipi-ipi, opo-opo pembantu.

Aku tidak bisa kebayang jika anak-anak di kota besar tanpa pembantu. Mungkin kacau balau, macet sana-sini. Tetapi, bagaimana peran pembantu melukis jiwa anak Jakarta, mana care dalam kamusRI raya.

Jangankan RI perhatikan, bos majikan. Tidak peduli. Paling bayar gaji selesai. Padahal, tugas mereka seperti kata muridku, pembantuku adalah bundaku. Nah, ibunya, tidak kenal. Mungkin dibilang tamu lagi.

Akhirnya, mungkin para pembantu yang merayap sana-sini di kota besar dengan segudang duka laranya tidak pernah disebut-sebut dalam pidato presiden atau bahkan tidak diangkat oleh media sebagai penjasa Republik ini untuk diusung sebagai pahlawan tapi aku tidak mengubah konsepku: Pembantu adalah pahlawanku, mereka adalah Silent Hero.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun