Mohon tunggu...
Fidel Hardjo
Fidel Hardjo Mohon Tunggu... -

pegawai swasta, bekerja di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sanksi Warga Golput?

24 Maret 2014   03:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395579585748052178

SANKSI WARGA GOLPUT?

[caption id="attachment_316717" align="aligncenter" width="559" caption="http://santrehkonah.wordpress.com/2012/12/04/golput/golput/#main"][/caption]

Fidel Hardjo

Jumlah caleg begitu banyak. Ada kecemasan. Caleg bakal mengantongi suara sedikit. Sebab warga terbelah dalam bendera setiap calegnya. Kecemasan ini lebih dipertajam. Muncul isu golput (golongan putih) yang masif di media sosial. Ada wacana DPR untuk memberi sanksi kepada group bandel golput (Kompas, 13/2/14).

Sanksi

Pernyataan sanksi kepada grup golput keluar dari mulut Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja. Menarik untuk didalami awasan Wakil Ketua Komisi II DPR ini. Rupanya mereka(baca: anggota DPR) lupa bertanya diri. Mengapa rakyat memilih golput? Pertanyaan ini “mesti” dijawab dulu. Sebelum gertak memberi sanksi golput.

Kalau saja rakyat “dizinkan” untuk nimbrung memberi sanksi. Katakan ada keadilan distributif sanksi. Bagaimana jika anggota DPR tidak memenuhi janji politiknya? Apakah rakyat bisa memberi sanksi? Jelas tidak. Karena tidak ada sanksinya, tidak heran ada anggota DPR ngotot tampil lagi. Indikator alasan tampil lagi juga tak jelas.

Indikator ini tidak terjamah. Sudah lama masalah ini di-diam-kan.Tidak ada “rapor” khusus buat DPR untuk meniliai kelayakan kompetensi tampil berdasarkan kinerja mereka. Paling-paling habis periode jabatan, tamat pula tugasnya. Tidak ada evaluasi. Apalagi kita mengharapkan inisiatif DPR bisa membuat UU khusus buat ini.

Jangan harap. Sebab, mereka “tidak cukup berani” menjerat diri mereka sendiri. Selagi tidak ada indikator jelas evaluasi kinerja DPR(D), maka masalah “distrust” warga yang hadir secara kasar lewat golput menjadi masalah tanpa solusi. Partai politik yang menjadi “sarang induk” caleg pun tidak bisa berbuat apa-apa soal golput.

Padahal, publik berharap partai politik bisa menjadi “ibu partai” yang terus mengasuh putra-putrinya yang unggul. Harapan kita kandas. Sebab partai politik juga lebih bermain politik instan. Ingin partainya populer secara instan. Tidak aneh kalau partai politik lebih memilih caleg selebriti dan berduit daripada mengkaderkan anggotanya.

Oleh karena itu, kalau ada wacana memberi sanksi kepada warga golput, maka seyogianya wacana itu perlu disanding adil dengan wacana memberi sanksi kepada anggota DPR yang tidak memenuhi janji politiknya. Itu baru adil. Sebab golput itu bukan sebab. Dia hanya aksi akibat dari kinerja DPR yang tidak bersentuhan rakyat.

Siapa yang Rugi?

Golput memang memberi rasa resah dan gelisah tersendiri bagi kandidat caleg yang sedang menunggu hari-hari pencoblosan. Keresahan itu berangkat dari spekulasi pemilih yang terkotak-kotak. Bayangkan saja. Satu kampung ada 10 orang caleg yang menjajakan dirinya. Artinya, setiap caleg siap mengantongi sedikit saja pemilih.

Sudah jumlah pemilih sedikit akibat kehadiran caleg yang banyak, ada lagi warga golput. Tambah repot. Pertanyaannya adalah siapa yang rugi di balik aksi golput?Yang pasti merasa rugi adalah caleg yang bakal kalah. Mereka merasa ada suara yang tergelincir liar. Inilah salah satu alasan penyebab kegagalan mereka kemudian.

Lain halnya caleg yang menang. Aksi golput justru melihat sebagai berkah. Sebab, dengan keabsenan sebagian warga ikut pemilu akan membantu mereka menang. Karena caleg ini sudah mengantongi pemilih tetap. Di sini ada tendensius terjadi modus penggelembungan suara besar. Modus ini yaitu strategi instan mau menang.

Apakah warga tidak rugi secara politik? Kerugian politik tetap ada. Besok-besok muncul DPR(D) baru. Kinerjanya tetap sama. Justru kita yang tidak memilih stres. Sebab, sudah tidak dapat nasi bungkus saat kampanye, hasil kinerja Pak Dewan juga nol, maka lengkap sudah stres itu. Alasan ini mungkin “guyonan” tapi serius lho.

Lebih baik memilih daripada tidak memilih sama sekali. Ingat tanpa kita memilih pun pemilu caleg tetap berjalan. Anggaran negara untuk urusuan pemilu caleg pun tetap dieksekusi. Biaya triliunan. Uang triliunan itu membiaya pemilu sampai ongkos hidup DPR adalah uang pajak kita. Tidak memilih berarti tidak menghargai uang pajak kita.

Akumulasi kerugian itu menumpuk pada negara. Sebagai negara besar kita hanya menang nama besar pecandu demokrasi tetapi seberapa besar kualitas demokrasi membawa negara ini kepada kesejahteraan tidak menjadi perhitungan dan target kita. Negara lain bergerak jauh meninggalkan kita dengan demokrasi kesejahteraan.

Kita masih bereforia dengan pesta demokrasi. Demokrasi tanpa subtantif. Demokrasi yang berpusat pada pesta. Setelah pesta selesai pula demokrasi itu. Jadi kita sendiri memilih untuk tidak maju. Selain kerugian akibat munculnya golput, juga akibat ketidakseriusan kita mendesain demokrasi yang berbobot dan berdaya guna.

Boleh jadi tidak merasakan kerugian politik ini secara langsung. Sebab, ada atau tidak ada pemilu, kitatetap harus bekerja. Kita tidak merasakan terlibat secara emosional dalam pemilu. Pemilu adalah urusan angka-angka. Tidak terlihat kebersentuhan angka-angka itu mengubah kehidupan. Pemilutanpa gregetan rasa.

Politik Angka

Kualitas politik kita sudah terlanjur diukur berdasarkan perhitungan kuantitatif. Suara banyak menentukan kualitas politik itu. Saking gila demokrasi(mayoritas), maka perkara kesejahteraan-kemiskinan pun dihitung berdasarkan angka. Terjadilah politik angka. Pendidikan, kesejahteraan, keadilan, dan lain-lainitu diangka-angka.

Politik angka ini jelas berorientasi angka-angka. Pemilih diangka. Hasilnya pun diangka. Apapun dikalkulasi secara angka. Lihat saja. Partai politik kita banyak sekali. Soal angka partai lebih penting. Sampai warga mabuk degan begitu banyak partai. Tidak stop di situ. Partai pun menurunkan kandidat caleg berdasarkan angka.

Seakan-akan angka banyakcaleg bertarung menjamin menang dan kualitas partai. Justru logika partai yang menurunkan kandidat calegnya 2-5 di wilayah yang sama tidak masuk akal. Jika berorientasi partai menang. Mengapa tidak pilih satu atau dua saja? Tapi caleg itu benar-benar “berdaya jual”. Ini tidak. Orientasinya “main” angka.

Konsisten

Oleh karena itu, wacana memberi sanksi terhadap warga golput adalah wacana yang sama pentingnya memberi sanksi kepada partai politik atau caleg yang tidak mampu memenuhi janji politiknya. Masih baik jika ada caleg yang memiliki janji dan strategi politik jelas tetapi ada lagi yang tidak punya janji. Tunggu jadi DPR dulu deh.

Golput ideologis(rasional) akan tidak muncul jika kepercayaan warga kepada DPR dijalani sesuai dengan harapan warga. Selagi, DPR lebih mengabdi kepada kepentingan partai daripada kepentingan warga, maka sebenarnya yang membuka pintu gerbang golput itu bukan warga tetapi anggota DPR sendiri. Bereskan dulu itu.

Karena itu, bereskanlah dulu tingkah DPR sebelum beresin tingkah warga golput. Konsisten. Jika mau konsisten mengadili warga golput, maka mulailah dengan mengadili dulu anggota DPR yang lebih banyak bohong dengan janji politiknya. Sampai sekarang, tidak ada sanksinya. Kapan DPR bikin UU sanksi untuk dirinya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun