Mohon tunggu...
Beta Firmansyah
Beta Firmansyah Mohon Tunggu... Guru - Hidup dengan menebar manfaat dan kebahagiaan

Seorang guru di sekolah swasta. Katanya sih jurusan Ilmu al-Qur'an & Tafsir (IAT) dan Akidah dan Filsafat Islam (AFI), soalnya tidak terlalu mencerminkan hhee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasa Memiliki, Sumber Kerusakan

3 April 2021   13:24 Diperbarui: 3 April 2021   13:23 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


"Merasa Memiliki adalah Sumber Segala Kerusakan." (Basudewa Krisna)

Kepemilikan menjadi isu hangat dalam beberapa disiplin ilmu, satu di antaranya filsafat. Kepemilikan termasuk aksiden bukan substansi. Karena dia tidak ada jika tidak ada substansi. Saya bicara filsafat biar keliatan pernah belajar filsafat. Bukan berarti menguasai. Ini biar keliatan keren aja.

Kepemilikan berarti merelasikan diri kita dengan sesuatu yang lain. Diri kita seolah menguasai sesuatu yang lain. Nah permasalahannya, apa dasarnya kita dikatakan memiliki? Apakah kepemilikan itu objektif ataukah hanya sebatas subjektif relatif? Bukankah secara fakta, diri kita itu terpisah dengan yang lainnya? Apa yang mendasari kita merelasikan diri kita dengan sesuatu yang lain? Jelas itu lahir dari konsepsi kita, i'tibari.

Yah, merasa memiliki terkadang membutakan seseorang. Bahkan jika kepemilikan itu adalah sesuatu yang sakral. Katakanlah klaim kebenaran  paham agama. Orang yang merasa memiliki kebenaran pemahaman agama siap untuk mempertaruhkan jiwa raganya jika memang agamanya terancam. Bahan tidak jarang beragama dengan anarkis pun dilatarbelakangi perasaan kepemilikan terhadap kebenaran.

Padahal, kalo kita analisis kepemilikan mereka itu bukanlah kebenaran secara objektif, tetapi hakikatnya yang mereka miliki adalah klaim atau anggapan kebenaran yang sifatnya i'tibari/relatif. 

Klaim kepemilikan kebenaran itu muncul dari pikirannya. Pikirannya menganalisis dan menyimpulkan bahwa klaimnya yang benar. Lalu bisa dipastikan? Jelas semua tidak bisa memastikannya. Ini problem hermeneutis. Sekali lagi, kalo istilahnya agak aneh, itu hanya keren-kerenan aja.

Begitupun terhadap sesuatu lain, karena merasa memiliki sesuatu itu, dia berusaha mengambilnya sekemampunnya.  Konsekuensinya, jika apa yang dianggap kepemilikannya hilang, seolah sebagian dirinya hilang. 

Mungkin benar pula anjuran agama, bahwa jika sesuatu hilang atau lenyap dari kita maka harus menerima (qana'ah), sabar dna tawakal. Memang kita tidak bisa memastikan apakah ini hanya hiburan semata ataukah yang lainnya. Yah, mungkin filosofinya karena kepemilikan itu tidaklah substansial. Hanya anggap kita saja. Maka kehilangannya pun tidak akan mengurangi substansi kemanusian kita.

Sehingga tak usah kita terlalu memiliki segala hal yang kita punya. Menjaganya memang rasional, tapi untuk menganggapnya bagian dari substansi diri, itu absurd.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun