Mohon tunggu...
tatang budimansyah
tatang budimansyah Mohon Tunggu... lainnya -

lahir di subang, numpang hidup di purwakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Titik Balik Sang Penggelisah

1 Januari 2014   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Siapa yang tak mengenal Supat. Dia adalah seorang pemberontak. Seorang penggelisah yang merasa berada dalam kungkungan situasi di mana tatanan hidup tak sejalan dengan nuraninya. Dia adalah seorang lelaki yang pernah tak mandi selama setahun hingga rambutnya bau dan gimbal. Lebih gimbal daripada Bob Marley, si Raja Reagae. Supat adalah simbol perlawanan.

RUMAH Supat tak pernah sepi. Setiap hari ada saja sekelompok anak muda berkunjung ke rumah yang terletak di pinggir sawah itu. Para anak muda yang berkunjung ke rumah Supat, adalah mereka yang merasa termarjinalkan. Tapi siapa yang menyangka kalau mereka adalah sosok-sosok kreatif. Mereka menjadi tutor service komputer, tutor budidaya jamur tiram, sampai tutor budidaya lele.

Padahal dulunya arah hidup mereka tak jelas. Ada yang doyan berkelahi, judi, atau tukang bikin onar. Ada kesamaan dari mereka: tak merasakan pendidikan tinggi. Sebagian besar hanya tamat SMP, sebagian lagi tamat SLTA. Hanya satu orang yang bergelar sarjana, Namanya Heri Muryanto. Dia berhasil merampungkan kuliah akhir tahun 2013 silam di IKIP PGRI Semarang.

Saat bergabung bersama Supat, mereka merasakan hidup lebih bermanfaat. Para anak muda itu bangga jika bisa berbagi manfaat dengan sesama. Tak peduli apa dikerjakannya tak menghasilkan uang, “Yang penting kami ingin membuktikan bahwa kami juga bisa berbuat sesuatu untuk masyarakat,” kata Heri mewakili teman-temannya. Pengabdian mereka tak main-main. Lihat saja Suwarno, misalnya. Dia harus merelakan kehilangan empat jari tangan kirinya. Suwarno adalah tutor budidaya lele. Dan jari-jari tangannya putus dilibas pisau mesin pembuat pakan beberapa bulan silam.

Lantas, siapakah Supat? Untuk apa dia gemar mengumpulkan anak-anak muda? Supat lahir di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, 21 Mei 1979. Pria tamatan SMP ini tercatat sebagai Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Upat Upat Bumi, sebuah lembaga pendidikan nonformal. PKBM ini menjadi wadah kreatifitas anak-anak muda yang berdomisili di Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora. Melalui Upat Upat Bumi, para pemuda penganggur yang tadinya cuma bikin rese, sekarang menjelma menjadi sosok-sosok kreatif.

saya berkesempatan mengunjungi PKBM Upat Upat Bumi akhir Desember 2013. Lembaga tersebut terletak di Desa Dalangan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Supat menjadikan rumahnya yang berhalaman luas menjadi sekretariat PKBM, sekaligus untuk sentra kegiatan. Di bagian samping areal rumah itu, ada taman Bacaan Masyarat (TBM), kolam budidaya ikan lele, dan rumah jamur tiram. Sedangkan di bagian depan terlihat mesin jahit, sejumlah etalase, dan ruang laboratorium jamur.

Supat tak pernah menyangka dia bakal mendirikan PKBM Upat Upat Bumi. Jalan hidupnya mengalir begitu saja. Dulu, Supat muda kerap membuat ibunya menangis. Ya, menangis karena melihat anak kesayangannya berpola hidup tak karuan. Di Desa Dalangan, dulu Supat dikenal sebagai sosok yang suka bikin onar. Dia berbaur dengan para tukang judi dan pemabuk.

Hidupnya memang tak karuan. Dia dianggap sebagai sosok pemberontak dan menentang arus dari tatanan hidup masyarakat yang sudah mapan. Tak salah jika masyarakat setempat menilai Supat sebagai seonggok sampah. Dan Supat tak peduli itu. Dia membiarkan stigma itu terpatri dalam benak masyarakat. Cemoohan dan cibiran menjadi santapan sehari-hari. Para orang tua di Desa Dalangan akan marah besar jika anak-anak mereka bergaul dengan Supat. Supat tak boleh didekati. “Aku tak boleh marah. Toh pada akhirnya lambat laun mereka tahu bahwa aku bukanlah sampah. Biarkan saja,” kata Supat.

Setahun Tak Mandi

Kendati cenderung memberontak, Supat tak setuju jika dia dikatakan sebagai seorang pemberontak, “Mungkin karena sikap saya yang kritis, ceplas ceplos dan suka memprotes, mereka anggap aku pemberontak. Jujur saja, saya memang tak bisa diam jika melihat ketidakadilan. Misalnya, saya protes melihat sistem birokrasi yang korup, atau melihat kenyataan yang kaya makin kaya, yang miskin semakin terpuruk. Saya menilai banyak kemunafikan tumbuh subur di tengah masyarakat. Dan sayangnya sikap itu masih dipelihara,” imbuh dia.

Dulu, sikap protesnya diejawantahkan dengan sikap yang oleh masyarakat umum disebut sebagai kegilaan. Ya, Supat tak betah tinggal di rumah. Apa saja dilakukannya. Nongkrong bareng teman-teman sambil mengkonsumsi minuman keras, menjadi kernet, atau mengamen., pernah juga dia menjadi tukang kayu. Yang lebih ekstrem, Supat pernah keluar rumah tanpa tujuan. Badannya tak pernah diguyur air, “Rambut saya gimbal karena tak mandi setahun. Rambut itu masih ada sampai sekarang, disimpan istri saya,” tutur lelaki yang memiliki dua puteri ini.

Titik balik terjadi pada saat usianya 21 tahun. Supat mengaku sudah merasa jenuh, “Saat itu saya mulai berpikir, hidup hanya menunggu mati. Jadi, saya harus berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain sebelum ajal tiba. Setelah melalui proses perenungan yang dalam, akhirnya saya semakin bijak mengendalikan diri sendiri. Saya mulai berhenti meminum minuman keras. Merokok pun sekarang sudah tidak lagi. Saya memulai dengan membuka perpustakaan kecil-kecilan di depan rumah. Saya mengoleksi buku dengan aacara meminta dar temanteman. Buku-buku itu saya biarkan dibaca oleh masyarakat,” terang Supat.

Atas usul seorang teman, Supat akhirnya melegalkan perpustakaannya menjadi Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Supat mengurus izin danmengajukan proposal untuk legalitas TBM ke Dinas Pendidikan setempat. Namun nyatanya izin mandek, tak pernah keluar, “Mungkin karena orang-orang dinas melihat yang mengajukan izin adalah Supat. Mereka tak mau member legalitas,” katanya. Supat tak berhenti berjuang. Bersama Dian yang kini menjadi tutor budidaya jamur tiram, Supat nekat berangkat ke Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Jarak Blora-Jakarta ditempuhnya dengan menggunakan sepeda motor, “Saya dibonceng Dian. Berhari-hari saya di Jakarta, luntang lantung demi untuk memperoleh legalitas TBM. Saya tidur di jalan-jalan, termasuk di kawasan Monas,” kenangnya.

Upaya Supat berhasil. Tak begitu lama sejak kedatangannya ke Jakarta, Dinas Pendidikan Blora mengeluarkan izin, “Orang Dinas Pendidikan Blora ditelepon oleh orang kementerian,” ujarnya. Dan TBM yang dikelolanya menjadi Juara I Lomba Perpustakaan tingkat Kabupaten Blora pada 2008 lalu. TBM itu menjadi embrio lahirnya PKBM Upat Upat Bumi. Setapak demi setapak, Supat dan belasan anak muda yang tergabung dalam lembaga tersebut, terus berkreasi. Mereka dilirik ITB yang berkenan memberikan pelatihan jamur dan biogas, “Hingga sekarang orang-orang ITB sering berkunjung ke sini,” kata Supat.

Supat mengakui bahwa kendati sudah menunjukkan kiprahnya, tak semua masyarakat Kecamatan Todanan bersikap permisif. Dia menjelaskan, masih ada sebagian warga yang melontarkan cibiran dan mengumbar kata-kata propokatif yang dialamatkan kepada Upat Upat Bumi, “Sekali lagi, biarkanlah mereka. Saya tak merasa terganggu. Saya membalasnya dengan karya,” imbuh dia.

Selain memberdayakan para pemuda dengan program-program life skil, Supat juga membuka koperasi simpan pinjam dengan bunga rendah. Saat ini sudah lebih dari 200 warga yang tercatat sebagai anggotanya. Dia ingin membantu warga sekitar yang mengalami kesulitan ekonomi, “Lucunya, ada warga yang tadinya menentang PKBM Upat Upat Bumi, sekarang pinjam uang ke koperasi saya. Tentu saja yang datang ke sini bukan dia, tapi anaknya. Mungkin dia malu,” kata Supat.

Sekarang, ibu Supat juga masih kerap menangis. Tapi, menangis karena haru dan bangga sebab anaknya menjadi bermanfaat bagi sesama. Menangis karena menyesal dulu dia tak mampu menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun