Mohon tunggu...
Andi Muchtar Makkuasa
Andi Muchtar Makkuasa Mohon Tunggu... profesional -

petani

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia Mekanis

27 April 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:20 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejenak Ia memandangi pintu kamar di depannya, masih tampak kokoh seperti hari yang sama beberapa tahun lalu.Pintu yang berukuran satu kali dua meter,terbuat dari kayu ulin yang banyak tumbuh liar dan dibudidayakan di pulau Kalimantan, dan dilapisi cat bening sejenis cairan untuk mengkilapkan kayu tanpa merubah warna dan motif aslinya.Tak ada aksesoris yang memperindah pintu kayu itu selain gagang kunci yang mirip dan berukuran lebih kurang seukuran bagian bawah botol bir, terpasang tepat dibagian kiri tengah pintu.Ia mendorong pintu yang tidak terkunci dengan ujung kaki kanannya yang masih mengenakan sepatu panthouvel tiga perempat berwarna hitam.Pintu kemudian terbuka setengah, dan ia bergegas kebelakangnya.Dengan sedikit membungkuk tangan kanannya meraih sebotol minuman lokal berkadar alkohol dua puluh empat persen.Pada labelnya terdapat gambar orang tua dengan janggut berwarna putih sepanjang dada seolah menunjukan batas usia yang mampu dijalani manusia.Orang tua yang berdiri tegak dengan tongkat kayu oak berwarna putih setinggi tubuh pada tangan kanannya.Mungkin digunakannya sebagai tongkat berjalan, mungkin digunakannya sebagai penyanggah tubuh saat berdiri lunglai, atau mungkin untuk tujuan lain.Yang jelas tongkat tersebut memberikan kesan ketangguhanyang mampu menjadi penyanggah kerapuhan,gambaran berlebihan untuk lebel minuman keras.

Tanpa melepas sepatu dan seragam kerja yang dikenakannya, Ia duduk dan menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar berwarna putih bersih mirip warna dinding rumah sakit pada umumnya.Sigap seteguk minuman telah melewati kerongkongannya yang sedari tadi terasa kering, mendesak keluar semua lelah dan penat yang menguasai dipenghujung hari.Minuman itu Ia pilih menjadi teman pasifnya selama bertahun-tahun, untuk menampung semua kelelahan dan kepenatan jiwa.Semenit kemudian seteguk besar minuman kembali melewati kerongkongannya, hanya saja kali ini terasa lebih nikmat dan hangat.Ia masih duduk bersandar, diam tak bergerak, bernafaspun pelan dan panjang, mencoba membiarkan kenikmatan dan kehangatan minuman terasa lebih lama ditenggorakannya bercampur dengan aroma kuat dan cita rasa cerutu lokal yang Ia isap.

Kembali ia mengisap cerutunya, isapan yang dalam dan panjang. seolah ingin menarik masuk semua bion energy positif dan semangat hidup yang terlepas dari orang-orang lelah dipenghujung hari itu.

“ survive..survive..survive “ teriaknya dalam hati mencoba menggemakan semangat hidup yang mulai meredup.Belasan kali ia berteriak dalam hati sampai terasa sensasi lembut disekujur tubuhnya.

Uzzzzzhhhhh…. Kepulan tebal asap cerutu dihembus keras melalui mulutnya, menjejal paksa keluar semua kepenatan dan kecemasan yang tersisip dihatinya.Kepenatan karena rutinitas yang menjadikannya manusia mekanis, dan kecemasan akan kehilangan kemanusiaannya di lingkungan dan system kerja kapitalis.

Setiap hari kejadian ini berulang.Kepenatan dan kecemasan yang menguasai sepanjang hari, kelezatan minuman dan aroma cerutu yang melegakannya di ujung hari, terus berulang setiap hari sepanjang tahun.dan Ia masih mendapati dirinya duduk sendiri di ruang yang sama.

Sembari menghelah nafas panjang dan keras, Ia beranjak berdiri, melepas semua pakaian yang dikenakannya dan bergegas ke kamar mandi yang jaraknya lebih kurang dua meter tepat di depan pintu kamarnya dalam keadaan tanpa busana, hanya ada sehelai handuk kecil berwarna putih dikalungkan di lehernya.

Sesaat kemudian diselah suara kucuran air terdengar Ia bersyair…..

Demi masa dipenghujung hari,

Saat malam mempusakai siang disisi satunya

Sungguh aku bersumpah

Ada nikmat dan sesal diatas nampang yang disajikan

Saat kabut malam perlahan menghampiri dengan langkah gontai

Demi masa diawal malam

Saat siang berlindung sisi gelapnya

Sungguh aku bersumpah

Ada gelap dan terang pada masa yang sama

Diatas nampang yang disajikan

Saat kesadaran berdegub di titik diamnya

Syairnya tiba-tiba terhenti.Mungkin Ia akan menggosok gigi, mungkin Ia telah selesai mandi atau mungkin Ia “…………….”

Entahlah, hanya Bessila sendiri yang tahu apa yang menghentikan syairnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun