Mohon tunggu...
Andi Muchtar Makkuasa
Andi Muchtar Makkuasa Mohon Tunggu... profesional -

petani

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Maaf, Tak Ada Tawa)

26 April 2011   08:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“ Bintang malam katakan padanya, aku ingin mengukir sinarmu di hatinya, embun pagi katakan padanya biarerat kudekapwaktu dingin membelenggunya……” sayup terdengar suara wanita belia bernyanyi.Jelas itu suara wanita berusia lebih kurang delapan belasan tahun, pengalaman membuat saya cukup handal untuk mengetahui hal itu.Nyanyiannya terdengar dari balik dinding kamar sebelah rumah singgah yang menampung sementara para tunawisma dan musafir termasuk saya…hehehe.Rumah singgah yang terhitung mewah untuk orang-orang yang tidak pernah menikmati kemewahan fasilitas kamar hotel berbintang melebihi jumlah bintang di tanda pangkat jenderal penuh.Penghuni bilik sebelah menyanyikan sebagian lirik pada bait pertama lagu yang sedang di gandrungi banyak orang di negara ini, termasuk saya.

Tidak seperti biasanya, lagu ini terlebih dinyanyikan seorang wanita, selalu saja menyentuh hati dan berhasil membuat perasaan syahdu rada-rada melankolis yang berujung pada imajinasi sosok wanita ideal dengan kepasrahan cinta yang disajikannya diatas nampang tanpa sungkup.Tapi sungguh kali ini berbeda, lagu itu malah membuatku teringat pada seorang sahabat, sosok pria yang bercharacter kuat sebagai seorang pemimpin dengan gaya hidup bersahaja.Ditambah lagi perawakan proporsional dan corak wajah yang sepenuhnya berwibawa.Memiliki Intelektualitas memadai, komunikasi yang lugas, dan track record social politik dengan integritas tanpa cacat. DIAN TOANRIHA, kawan-kawan biasa memanggilnya Toan.

Tepatnya lima belas tahun lalu di salah satu perguruan tinggi favorit yang menjadi penampungan mahasiswa yang bernasib MUJUR lulus dalam UMPT”…”,sewaktu kami mengawali pembelajaran character intelektualitas dan ilmu kanuragan.Ya benar….intelektualitas dan ilmu kanuragan.Kampus ini selalu saja, selain berhasil mencetak kaum intelektual dengan objektifitas dan daya analisa yang handal lebih dari sekedar memadai,tapi juga berhasil mencetak para pendekar dengan ilmu kanuragan yang mumpuni.Jelas tidak termasuk mata kuliah dalam curiculum yang disajikan persemester tapi setiap semester selalu saja ada peristiwa rutin yang mengasah dan membangun kemampuan kanuragan.Seolah kesepakatan atau kesenangan bersama berdasarkan kesamaan character.Tapi entahlah saat ini, mungkin telah terjadi banyak “perubahan”.

Yang luar biasa menurut saya dan banyak kawan Toan, Dian Toanriha salah satu diantara sedikit orang yang mampu mengorganisasi kaum intelektual dan pendekar dalam satu wadah kepemimpinan.Mungkin karena Toan memiliki kedua character itu…mungkin..hehehe.

Toan memiliki visi ideal tentang tatanan masyarakat dan pemerintahan.Visi ini dibangun dalam waktu yang panjang melalui pergumulan ide, intuisi dan pengalaman banyak kawan.Visi yang selanjutnya menjadi komitment jangka panjang didalam dan di luar kampus.Jelas terbukti dan tidak diragukan konsistensi Toan dan kawan-kawannya pada komitment tersebut. Sebagian besar waktu dalam interval tujuh tahun digunakan untuk mewujudkannya dengan menanggung semua resiko termasuk resiko tertinggi untuk status mahasiswa dan Toan bersama beberapa kawannya mengambil resiko tertinggi tersebut untuk komitment yang telah dibangun.

Karya Toan dan kawan-kawannya nyata dan berpengaruh nyata pada spectrum social politik yang luas.Setidaknyapada zaman itu telah menegasi bahawa Jakarta dan sekitarnya adalah satu satunya sentrum pergerakan kemahasiswaan.

Kejadian itu lima belas tahun lalu.Mungkin saat ini Toan dan kawan-kawannya sedang menikmati masa tua dengan menggenggam komitment yang masih belum terwujud, atau tidak mampu lagi diwujudkan, atau pura-pura lupa …… hehehe.Ya, semoga Toan dan kawan-kawannya sedang menikmati masa tua dalam kelimpahan financial, seminimalnya dengan itu masih dapat menyantuni fakir miskin di lingkungan rumah mewahnya.Atau mungkin Toan dan kawan-kawannya sedang berkompromi dengan keindahan kapitalis orthodox,tapi itu masih lebih manusiawi meski tidak wajar dibandingkan bersembunyi dari tuntutan komitment masa lalu dalam kondisi yang sangat payah.

Sebenarnya lebih kurang setahun yang lalu, disalah satu kabupaten di timur Indonesia, kabupaten yang memiliki kaitan historical yang sangat erat dengan pemerintahan hindia belanda,saya pernah bertemu dengan Toan dan beberapa kawannya.

“ Kita mampu mewarnai negeri ini, teman-teman memiliki idealisme dan kemampuan itu jauh diatas kemampuan orang-orang yang berkuasa saat ini, hal itu telah teruji dan terbukti di masa lalu, kita mulai saja ditempat ini “ tutur Toan dengan penuh semangat yang kemudian menjadi tema hangat dan serius pada perbincangan yang sarat nuansa nostalgia sepanjang malam itu.Ya…sepanjang malam itu..hehehe…dan kalau tidak salah bernostalgia adalah salah satu hal yang sangat disukai orang berusia lanjut…hahaha.

Toan dan kawan-kawannya telah melewati masa lima belas tahun.Setengahnya dilalui dengan indah dan ideal,setengahnya lagi dibiarkan berlalu apa adanya.Tapi pada prinsipnya hal itutidak lagi jadi masalah, Toan dan kawan-kawannya masih memiliki waktu sepanjang masa yang akan datang.

“…..Tahukah engkau wahai langit,kuingin bertemu membelai wajahnya.Kan kupasang hiasan angkasa yang terindah, hanya untuk dirinya……. “nyanyian itu kembali terdengar lirih dan pelan dari gadis belia berusia delapan belasan yang berparas cantik dengan character wajah oriental, rambutnya hitam sepanjang pundak sedikit bergelombang, sebagian terurai dipembaringan sebagian lagi terurai menempel ketat dibagian depan tubuhnya dengan ujung-ujung rambut yang basah oleh butiran-butiran keringat di kulit putih bersihnya. Gadis belia itu tidur terlentang hanya mengenakan piyama putih tipis transparan yang sedikit basah oleh keringat membuat lekuk-lekuk tubuhnya tampak jelas, tubuh indah yang sangat proporsional.Ya benar..nyanyian itubukan lagi dari balik dinding bilik sebelah di rumah singgah, rumah penampungan para tunawisma dan musafir, tapi didepanku, berjarak dua meter setengah dari sofa yang sedang saya duduki, tepat di depanku, dipembaringan mewah kamar terbaik salah satu hotel berbintang lima negeri Jiran…..hehehe…jauh lebih parah ya dari Toan dan kawan-kawannya yang tidak ketahuan rimbanya.

Sembari tetap menatap keindahan diatas pembaringan, saya menulis selembar surat untuk kawanku Toan, ini surat pertama yang saya tulis untuknya dengan tinta darah, dengan ujung jari telunjuk kanan.

To my Bro

DIAN TOANRIHA

SUNGGUH DIRIMU MASIH TERLALU BESARJIKA HANYA UNTUK KELUARGA KECILMU YANG BAHAGIA.

Dari,

Kawanmu bessilA.

Ini kali pertama saya menulis surat dengan tinta darah, dengan ujung jari telunjuk. Hanya saja tersisa kebingunggan yang serius.Usai menulis surat, pada jari telunjuk saya tidak terdapat luka sedikitpun, terus darahnya… ??? (maaf, tak ada tawa)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun