Apa kabar emakmu? Sudahkah dia bertanya, "Nak kapan kamu jadi PNS?"
Apa kabar calon mertuamu? Sudahkah dia bertanya kabar calon menantunya? PNS atau bukan?
Saya menuliskan ini berawal dari kegelisahan laki-laki yang menyembunyikan saya dari emaknya, mungkin karena saya bukan PNS seperti cita-cita sosial emaknya atau bahkan kemungkinan yang lain.
Kegelisahannya muncul ketika kerap kali emaknya merecoki dengan sejumlah pertanyaan, "Kapan jadi PNS?"
Menjadi PNS, lalu memiliki rumah bertingkat dan mobil, serta menantu yang PNS pula adalah definisi sukses dan bahagia dari sang mamak.
Beberapa kesempatan dia mengeluhkan betapa dia merindukan duduk bersama tanpa embel-embel PNS. Berdialog tentang buku baru ataukah berdebat perihal tulisan siapa yang akan terpilih di media. Yah saya mengakui dia hebat dalam menulis.
Untuk memenuhi definisi sukses emaknya yang harus memiliki mobil dan rumah bertingkat tentu tidak akan cukup ketika mengandalkan kemampuannya memasak kata-kata. Dia mungkin butuh berkali-kali menerbitkan buku untuk memenuhi definisi sukses itu.
Royalti yang tidak seberapa, pajak pun, belum lagi kalau buku-bukunya dibajak dan diobral murah. Sebuah dosa kolektif yang disengajakan oleh orang-orang yang merasa berhak atas jerih payah orang lain.
Kadang-kadang saya iseng menggodanya dengan kalimat "Cita-cita emak kamu atau cita-citamu sih?"
Dia hanya akan tersenyum masam seraya menjawab, "Emak harus bahagia, meski harus membunuh mimpiku."
Pertanyaan retoris memenuhi kepala saya apakah PNS satu-satunya definisi sukses? Mungkin ya mungkin tidak, bergantung dari siapa si subjek itu. Anggap saja PNS adalah bentuk cita-cita sosial yang terbentuk dari konstruksi sosial yang memiliki tujuan sosial.