Mohon tunggu...
Beryl Lumenta
Beryl Lumenta Mohon Tunggu... Guru - Belajar menulis

Husband, father, teacher, friend, in that particulair order

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Negeri Harapan Bukan Negeri Ratapan

17 Agustus 2016   14:16 Diperbarui: 17 Agustus 2016   14:31 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini terinspirasi dari doa yang dibawakan oleh seorang siswa pada Upacara Peringatan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di sekolahnya, salah satu sekolah swasta di Tangerang Selatan. Saya adalah salah seorang guru dari sekolah tersebut. Saat doa tersebut dinaikkan, ada satu kalimat yang membuat saya sangat tersentuh. Sayapun meminta ijin kepada murid saya tersebut untuk mengutip beberapa kalimat dalam doanya tersebut dalam tulisan ini.

“Bapa, di tengah   segala konflik dan pertentangan politik, agama dan kepentingan golongan yang berkecamuk di negeri ini yang sering kali membuat kami putus asa. Tapi kami yakin Engkau tak menjadikan kami sebagai bangsa yang putus asa. Sejak awal, Engkau mendirikan Republik ini dengan jutaan harapan bukan dengan ratapan”

Itulah sekelumit doa yang dipanjatkannya. Hati saya sontak bergolak. Ya, Indonesia adalah Negeri Harapan, Indonesia dibangun atas dasar harapan para pejuang kemerdekaan. Mereka rela mempersembahkan nyawanya, karena mereka meyakini satu harapan, bahwa satu saat nanti negeri ini akan merdeka. Mereka tidak meratap, mereka berharap. Indonesia adalah Negeri Harapan, bukan Negeri Ratapan.

Saya harus akui, saya bukan orang yang tidak pernah meratap. Ketika hal-hal buruk menimpa, sering kali saya meratapi nasib saya. Saya menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengasihani diri saya, bukannya memanfaatkan waktu untuk berusaha bangkit kembali. Seandainya para pahlawan kita dahulu menghabiskan waktu untuk meratapi nasib mereka yang kehilangan harta benda, sahabat dan bahkan keluarga dalam perjuangan merebut kemerdekaan, maka sangat mungkin negeri ini tidak terlahir. Kita bersyukur, bukannya menghabiskan waktu untuk meratap, mereka bangkit dengan satu harapan akan kemerdekaan. 

Orang bijak berkata manusia tidak dapat hidup 1 bulan tanpa makanan, atau 3 hari tanpa minuman, atau beberapa menit tanpa oksigen. Namun tanpa harapan, orang tidak dapat bertahan hidup sedetikpun! Dan harapanlah yang membuat mereka, para pahlawan kita dapat terus berjuang bahkan ketika raga mereka tidak lagi mampu menanggung penderitaan. Harapan akan harta yang paling indah yang dapat dimiliki suatu bangsa; Kemerdekaan.

Doa murid saya ini memaksa saya untuk merubah pola pikir saya. Saya sudah terlalu banyak meratap. Kini saatnya saya berhenti meratap, dan mulai berharap. Kita meratap ketika kita melihat sesuatu yang buruk. Kita berharap ketika kita melihat sesuatu yang baik. Saya memutuskan untuk berhenti melihat hal-hal buruk, dan mulai melihat hal-hal baik yang ada dibaliknya. Beberapa orang melihat duri pada setangkai bunga mawar, tapi saya memutuskan untuk melihat bunga mawar ditengah semak berduri. Ini adalah masalah mengalihkan fokus perhatian kita, dari duri ke bunga mawar.

Negeri Indonesia adalah Negeri Harapan, bukan Negeri Ratapan. Sudah saatnya kita berhenti meratap, dan mulai berharap. Hal-hal buruk akan selalu ada. Namun kita bisa selalu melihat hal tersebut sebagai suatu kesempatan untuk memperbaikinya. Satu contoh kecil, sepulang Upacara di sekolah, saya mengikuti kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan tempat tinggal saya. Seperti biasa, dimana ada orang berkumpul, di situ pula sampah bertebaran. Saya merasa kesal dalam hati saya, dan mulai meratap, bahkan menghujat mereka yang tidak peduli terhadap lingkungan. Bukan tempat sampah yang tidak tersedia, namun kesadaran akan kebersihan lingkunganlah yang belum mereka miliki. Saya bisa melihat hal ini sebagai masalah dan mulai meratap. 

Namun saya juga bisa melihat ini sebagai suatu kesempatan untuk menggugah kesadaran mereka, dan mulai berharap satu hari mereka akan mulai peduli terhadap lingkungan. Saya memilih pilihan terakhir. Saya dan anak saya pun mulai memunguti sampah yang kami bisa pungut, dan memasukkannya ke dalam tempat sampah yang tersedia. Memang, sampai acara berakhir tengah hari, sampah yang dibuang sembarangan tidak berhenti. Namun begitu juga harapan saya, tidak berhenti.

Masalah selalu ada di bangsa ini, kemiskinan, carut marut dunia pendidikan, korupsi, degradasi moral, pengangguran, narkoba, pembakaran hutan, pencemaran lingkungan, dan segudang masalah lainnya. Saat Presiden ketujuh Republik Indonesia terpilih, saya menaruh harapan besar di pundak beliau untuk dapat mengatasi masalah-masalah tersebut. Setelah beberapa tahun berjalan, ternyata masalah-masalah tersebut tidak hilang. Beberapa orang mulai meratap, dan bahkan menghujat. Tentu saja, kritik bukan barang tabu dalam negeri demokrasi, bahkan itu adalah suatu keniscayaan. 

Pemerintah yang anti kritik, akan bertumbuh menjadi pemerintah yang otoriter.Pemerintah yang otoriter akan melahirkan pemimpin diktator, yang ujung-ujungnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat kebanyakan. Namun kritik yang dilayangkan dengan penuh kebencian, tanpa solusi dan hanya berdasarkan emosi, tak ubahnya seperti hasutan, yang sangat berpotensi menjadi pemecah belah bangsa ini. Kita harus bijak dalam menyampaikan pendapat kita, jangan sampai menimbulkan kebencian dan perpecahan. Ketika kita melihat masalah, lihatlah itu sebagai suatu kesempatan, kesempatan untuk memberikan sumbangsih kita kepada Republik yang membesarkan kita ini.

Saya sangat berharap murid-murid saya kelak dapat menjadi bagian dari generasi yang memberikan solusi. Tugas saya dan seluruh guru-guru di negeri ini adalah membukakan mata mereka akan kondisi bangsa ini, dan juga membukakan mata mereka terhadap potensi mereka, yang Tuhan tempatkan dalam diri mereka. Saya yakin kita semua berada di negeri ini bukan karena kebetulan, namun memang diperlengkapi khusus untuk menangani suatu hal khusus di negeri ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun