Pengantar: Menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober mendatang, saya mencoba menurunkan rangkaian tulisan yang berkaitan dengan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia tersebut. Awalnya, saya berangan-angan ingin membuat 28 tulisan sampai 28 Oktober 2016, angka yang sesuai tanggal peringatan Hari Sumpah Pemuda.
Namun terpikir lagi, bahwa itu terlalu ambisius, karena berarti dalam 10 hari ke depan harus menghasilkan 28 tulisan atau berarti sekitar 3 tulisan setiap harinya. Akhirnya saya memutuskan untuk menulis saja, berapa pun jumlah tulisan dibuat, yang penting ikut memperingati dan merayakan Hari Sumpah Pemuda. Berikut ini tulisan pertama saya dalam rangkaian Hari Sumpah Pemuda tersebut.
+++
Sejak beberapa dasawarsa lalu, peringatan Hari Sumpah Pemuda selalu dirayakan juga dengan Bulan Bahasa selama sebulan penuh pada Oktober setiap tahunnya. Dari catatan yang berhasil dikumpulkan, Bulan Bahasa ditetapkan pertama kali pada 28 Oktober 1980, tepat pada Hari Sumpah Pemuda ke-52 atau 36 tahun lalu.
Bulan Bahasa diselenggarakan untuk memperingati salah satu butir penting dalam Sumpah Pemuda, yaitu “menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Di samping “bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia” dan “berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Mengingat ada lebih dari 400 bahasa daerah dan dialek di Indonesia, penggunaan bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia menjadi penting.
Namun mungkin sebagian dari kita mengira karena sudah sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia, jadi semua sudah memahami arti tiap kata dan kalimat yang ada dalam bahasa persatuan bangsa Indonesia ini. Kenyataannya, kita masih cukup sering dibingungkan dengan arti kata yang sebenarnya dalam Bahasa Indonesia.
Contoh terkini adalah ketika di kalangan penggiat museum, pemerhati dan pencinta museu, serta ahli museologi (studi tentang museum), membahas mengenai arti “Bapak Museum” dan “Bapak Permuseuman”. Hal itu terjadi saat penyerahan “Museum Awards” baru-baru ini di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Komunitas Jelajah bekerja sama dengan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) dan TMII, seperti dikemukakan pada banyak media massa, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberikan penghargaan sebagai Bapak Permuseuman Indonesia (baca di sini: artikel satu). Kalangan museum kaget, karena cukup banyak yang tahu bahwa sebenarnya ada nama Moh Amir Sutaarga yang telah dikenal sebelumnya sebagai Bapak Permuseuman Indonesia (baca di sini: artikel dua).
Belakangan, Komunitas Jelajah menjelaskan bahwa penghargaan yang diberikan kepada SBY adalah Tokoh Peduli Museum, bukan Bapak Permuseuman Indonesia (baca di sini: artikel tiga). Sedangkan mengenai penyebutan Bapak Permuseuman Indonesia, pihak Komunitas Jelajah meminta untuk menanyakan kepada AMI yang menyebutkan hal tersebut pada malam puncak “Museum Awards” 2016 di TMII.
Dari pertemuan dengan AMI, dijelaskan bahwa mereka pun sepakat bahwa Bapak Museum Indonesia adalah Amir Sutaarga. Sedangkan kepada SBY yang diberikan adalah penghargaan sebagai Bapak Permuseuman Indonesia 2016, jadi ada angka tahun di belakang sebutan Bapak Permuseuman Indonesia. Hal ini untuk menunjukkan bahwa di masa depan, AMI mungkin saja memberikan gelar Bapak Permuseuman Indonesia lagi kepada yang dianggap berjasa (baca di sini: artikel empat).
Saya sendiri percaya bahwa baik Komunitas Jelajah maupun AMI bermaksud sangat positif, memberikan penghargaan kepada tokoh yang dianggap berjasa membantu pengembangan permuseuman di Indonesia, dan kali ini kepada SBY. Namun persoalan istilah “Bapak Museum” dan “Bapak Permuseuman” tampaknya memang perlu dikaji lebih dalam.