Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seberapa Sering Anda ke Perpustakaan?

11 Oktober 2015   22:11 Diperbarui: 11 Oktober 2015   22:22 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gedung Perpustakaan Nasional RI (Foto: Perpustakaan Nasional RI)"][/caption] Pernahkah Anda ke perpustakaan? Seberapa seringkah Anda ke perpustakaan? Kalau pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada saya, maka dengan mudah saya menjawab, “Tentu saja pernah, bahkan saya sering ke Perpustakaan”. Bila dhitung pada Oktober 2015 ini saja, dari tanggal 1 sampai hari ini 11 Oktober 2015, paling sedikit saya telah tiga kali mengunjungi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI.

Perpusnas memang yang paling sering saya kunjungi dari berbagai perpustakaan yang pernah saya datangi. Sejak SMA dan kemudian mahasiswa, saya sudah cukup sering berkunjung ke Perpusnas yang saat itu mengisi salah satu ruangan di gedung Museum Pusat atau Gedung Gajah, yang sekarang dikenal dengan nama Museum Nasional, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Apalagi ketika mahasiswa, sebagai mahasiswa jurusan Arkeologi Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universita Indonesia, untuk mencari bahan kuliah atau melihat langsung tinggalan sejarah dan purbakala yang ada di sana, minimal seminggu sekali saya bertandang ke Museum Nasional. Sudah tiba di sana, sekaligus saja ke Perpusnas. Apalagi di Perpusnas, cukup banyak referensi dan literatur yang berkaitan dengan studi arkeologi.

Dari Medan Merdeka Barat, Perpusnas pindah ke Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Saya pun masih sering ke Perpusnas. Apalagi sejak saya sudah tidak bekerja tetap lagi, dan hanya menjadi pewarta lepas. Ke Perpusnas adalah ibarat prajurit bersenjata tetapi tak mempunyai peluru. Maka untuk mengisi “peluru-peluru” itulah, saya datang ke Perpusnas.
Mencari bahan tulisan, dan sering juga mencari foto dan gambar-gambar dari majalah atau terbitan berkala serta buku-buku lama yang ada di Perpusnas. Pelayanannya pun dari tahun ke tahun semakin membaik, dan terlihat nyata sikap “melayani, bukan minta dilayani” dari para pegawai Perpusnas, khususnya yang langsung berhubungan dengan pelayanan publik.

Akhir-akhir ini saya cukup sering ke lantai VII yang memberikan pelayanan peminjaman majalah dan terbitan berkala lama. Sebagai pencinta sejarah dan purbakala, membaca dan mengamati kembali tulisan, foto, serta gambar di majalah-majalah lama, sungguh menyenangkan dan menambah pengetahuan serta wawasan saya. Dari majalah dan terbitan berkala sejak zaman Hindia-Belanda sampai kini, kita juga dapat melihat perkembangan dalam banyak bidang. Contoh yang paling mudah, misalnya perkembangan busana yang dikenakan masyarakat, penggunaan angkutan dan kendaraan, sampai perkembangan pesawat terbang dari masa ke masa.

Terkait dengan angkutan udara atau pesawat terbang misalnya, data-data sejarah yang tersebar di majalah dan banyak dokumentasi di Perpusnas, dapat memberikan gambaran cukup lengkap. ,Di Jakarta contohnya, setidaknya ada dua lapangan terbang atau banda udara (bandara) yang cukup berperan sebelum “diambil alih” perannya oleh Bandara Internasional Soekarno-Hatta saat ini. Keduanya adalah lapangan terbang Tjililitan yang kelak bernama Bandara Halim Perdanakusumah, dan lapangan terbang Kemajoran atau Kemayoran yang kini sudah tak ada lagi kecuali bekas menara pengawas lalu-lintas udaranya.

Sebenarnya, selain lantai VII, hampir semua lantai di Perpusnas merupakan tempat yang patut dikunjungi. Termasuk lobby Perpusnas, yang menyediakan layanan internet tanpa kabel (wi-fi) secara gratis. Di situ juga tersedia beberapa komputer meja. Namun pengunjung dapat membawa sendiri komputer jinjing (laptop) masing-masing, lalu memanfaatkan wi-fi gratis untuk berselancar di dunia maya.

Kecepatan wi-fi di Perpusnas juga bisa diandalkan, dan ini juga yang menyebabkan saya semakin sering datang ke Perpusnas. Dapat mencari literatur dan bila perlu meminta petugas setempat untuk men-scan foto atau gambar penting dengan membayar biaya scan, lalu sekaligus menulis di komputer jinjing menggunakan bahan-bahan yang telah didapat, kemudian mengirimkan melalui email atau meng-upload ke situs-situs jurnalisme warga seperti Kompasiana ini.

Jadi sekali lagi, kalau ada yang menanyakan seberapa sering saya ke perpustakaan, maka pasti jawabnya, cukup sering. Mengapa tidak, kalau di perpustakaan seperti Perpusnas kita bisa memperoleh banyak hal dengan biaya yang tak mahal. Bahkan gratis untuk menggunakan jaringan wi-fi di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun