Sudah beberapa kali hari ini, Kamis, 20 Oktober 2016, saya membuka Kompasiana. Alih-alih meneruskan janji saya untuk membuat serial tulisan menyambut peringatan Hari Sumpah Pemuda, saya justru hanya membaca-baca saja isi Kompasiana. Padahal, sudah sejak pukul 13.30 WIB, saya mempunyai waktu luang. Dapat membuka komputer jinjing saya, dan... tak tahu apa yang ingin ditulis.
Kemarin siang (Rabu, 19 Oktober 2016), saya mendapat pesan melalui WA, “Berth, besok ada pembukaan pameran Muwardi di Mus Sumpah Pemuda jam 9, diundang gak?” Pesan itu datang dari sahabat saya yang juga seorang Kompasianer, Djulianto Susantio. Saya jawab tidak dan dia meneruskan pesannya, “Lo kalo ada waktu datang aja ya… gw diundang pake nama komunitas… gw juga kenal ama kepala museumnya.”
Itulah sebabnya, Rabu pagi saya sudah mengarah ke Museum Sumpah Pemuda yang terletak di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. Dalam perjalanan, tiba-tiba ada pesan WA lain masuk. “Selamat pagi mas Berthold (resmi nih). Mohon maag telat menginfokan. Hari ini ada Ceramah Ilmiah ttg Situs Trowulan dr Mbak Watty Joesman. Tempat di Adt Gedung B MNI pk 09.30....“
Pesan tersebut mengajak saya ke Museum Nasional Indonesia (MNI) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Namun, karena saya sudah janji dengan Djulianto, saya pun mengarahkan kendaraan ke Museum Sumpah Pemuda. Saya berencana cukup satu jam saja di Museum Sumpah Pemuda dan dari situ ke MNI.
Tak berapa lama, acara pun dimulai. Ketika sedang mengikuti rangkaian acara pembukaan pameran, teman dari KPMI memberi tahu bahwa jalan ke arah Istana Negara macet, karena ada demonstrasi alias unjuk rasa yang kabarnya terkait dengan dua tahun pemerintahan Jokowi-JK. Mengingat MNI berada di Medan Merdeka Barat dan dekat dengan Istana Negara, dan daripada nanti terjebak macet di sana, saya memutuskan tidak jadi ke MNI.
Lagi pula, saat itu waktu sudah sekitar pukul 10.00 WIB. Kalaupun saya memaksakan diri ke MNI, paling cepat mungkin sampai sekitar pukul 10.30, berarti sudah satu jam sejak pelaksanaan ceramah ilmiah di sana. Daripada terlambat dan tidak dapat mengikuti keseluruhan acara, saya memutuskan untuk tetap di Museum Sumpah Pemuda saja.
Bagi saya pribadi, kehadiran menyaksikan pameran bertajuk “Pameran Tokoh Dr. Moewardi – Pengabdian Seorang Dokter Nasionalis” yang berlangsung sebulan penuh sejak 20 Oktober 2016 ini juga penting. Bukan berarti bahwa seminar tentang Situs Trowulan tidak penting. Walaupun lebih banyak penelitian dari naskah teks, skripsi saya sebagai Sarjana Arkeologi dari Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia puluhan tahun silam, sedikit banyak juga terkait dengan Trowulan, situs bersejarah dari zaman Kerajaan Majapahit, yang terletak di Jawa Timur. Skripsi saya “Nagarakrtagama, Sebuah Tinjauan Jurnalistik” membahas dan menelaah naskah Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca, berupa laporan perjalanan sang pujangga – Mpu Prapanca – mengikuti perjalanan dinas Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang terkenal itu.
Namun kini, bagi saya sosok Dr. Moewardi juga tak kalah menarik untuk diamati. Sebagai seorang anggota Gerakan Pramuka dan pemerhati sejarah kepanduan di Indonesia, saya melihat Dr. Moewardi merupakan tokoh kepanduan di Indonesia yang tak dapat dilupakan namanya.
Saya sendiri sudah menulis beberapa artikel tentang Dr. Moewardi, yang dalam salah satu tulisan saya telah digadang-gadang sebagai Bapak Pandu Indonesia, melengkapi Bapak Pramuka Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang telah ditetapkan secara resmi (baca juga di sini).