Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat Museum Nasional Mengajak untuk Menjadi Indonesia yang Seutuhnya

2 Desember 2016   20:09 Diperbarui: 2 Desember 2016   21:15 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa dan bagaimanakah Indonesia itu? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting akhir-akhir ketika mulai timbul gejala perpecahan di antara anak bangsa. Kini, Museum Nasional Indonesia (MNI) berusaha menyajikan jawabannya. Walaupun bukan secara khusus diadakan untuk mengatasi masalah gejala perpecahan itu, namun tampaknya saat yang tepat ketika MNI menyelenggarakan pameran bertajuk "Jadilah Indonesia – Pameran Storyline Museum Nasional Baru.”

Buku panduan pameran storyline
Buku panduan pameran storyline
Pameran tersebut diadakan sejak 1 sampai 22 Desember 2016, di MNI yang juga dikenal dengan nama Museum Gajah karena adanya Patung Gajah hadiah dari Raja Siam (Thailand) yang berkunjung ke tempat itu ratusan tahun lalu.

Pameran itu dibuka oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, dan pengguntingan rangkaian melati oleh mantan Direktur Jenderal Kebudayaan, Prof. Dr. Edi Sedyawati. 

Kedua nama itu adalah orang-orang yang ikut berperan dimulainya pembangunan gedung baru MNI, melengkapi gedung lama yang telah berusia lebih dari 230 tahun. Bangunan baru yang disebut Gedung B itu akhirnya diresmikan pada 2007, setelah dimulai sejak 1994. Kini, sedang dilakukan pembangunan Gedung C yang menurut rencana akan selesai 2 atau 3 tahun lagi.

Perluasan MNI memang sudah dirasakan sejak akhir 1980-an. Semakin banyaknya koleksi museum, hampir-hampir tak dapat tertampung lagi dengan luasnya bangunan lama yang disebut Gedung A MNI. Bahkan karena demikian banyaknya koleksi, sampai-sampai cukup banyak yang terpaksa harus berdiam di gudang dan tidak dipamerkan kepada pengunjung.

Kini, dengan bertambahnya luas MNI, pihak MNI yang kini dipimpin oleh Dra. Intan Mardiana, M.Hum, bertekad untuk menyempurnakan dan menata kembali koleksi-koleksi yang ada. Sehingga benda-benda yang dipamerkan dapat lebih jelas dimengerti pengunjung. Sebagai uji coba, pihak MNI menyelenggarakan pameran storyline atau alur cerita, yang nantinya akan diterapkan untuk pameran tetap museum itu.

Pameran bertajuk “Jadilah Indonesia" dibagi dalam tiga subtema yaitu, “Menjadi Indonesia”, “Pusaka Indonesia”, dan “Lestari Indonesia”. Pengunjung yang datang, diharapkan dapat memperoleh gambaran cukup luas tentang Indonesia dengan menyaksikan alur cerita yang disajikan MNI.

Dimulai dari zaman prasejarah dengan menampilkan temuan dari zaman ribuan tahun lalu itu, kemudian memasuki zaman pengaruh agama Hindu-Buddha, pengaruh Islam, masa kolonialisme, sampai saat ini. Diharapkan melalui pameran itu, pengunjung dapat memahami sejarah panjang yang telah dilalui bangsa Indonesia.

Pelana kuda, tombak, dan tongkat milik Pangeran Diponegoro. (Foto: BDHS)
Pelana kuda, tombak, dan tongkat milik Pangeran Diponegoro. (Foto: BDHS)
Ada turun naiknya, ada gelombang, namun yang tetap mempersatukan Indonesia adalah kearifan lokal seluruh anak bangsa yang menjunjung dasar negara Pancasila dengan slogannya, “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu tujuan. Perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, tidaklah harus menjadi perpecahan. Sebaliknya, perbedaan yang ada justru membuat bangsa dan negara ini menjadi unik dan kaya, baik dalam bentuk hasil bumi, juga dalam seni, budaya, termasuk bahasa dan lainnya. Kekayaan yang sulit diraih oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Untuk memperkuat alur cerita “Jadilah Indonesia” itu juga ditampilkan arca Garudha yang menjadi cikal bakal lambang negara kita, Garuda Pancasila. Juga dipamerkan, pelana kuda, tombak, dan tongkat dari Pangeran Diponegoro, salah satu pahlawan nasional Indonesia.

Banyak lagi benda-benda koleksi lain yang ditampilkan. Termasuk replika biola milikWage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Lagu yang pertama kali berkumandang di muka umum, ketika Supratman menggesek dawai biolanya pada Kongres Pemuda II yang menghasilkan “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928, di gedung yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

"Indonesia Raya/merdeka merdeka/hiduplah Indonesia Raya”, begitu lirik akhir lagu kebangsaan kita, dan melalui pameran alur cerita di MNI, diharapkan membantu pengunjung mendapat tambahan pengetahuan dan wawasan, untuk bersama-sama tetap menjaga Indonesia sebagai negara merdeka dan terus hidup selama-lamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun